iklan Hefri Oktoyoki, S.Hut, M.Si
Hefri Oktoyoki, S.Hut, M.Si

DIAKUINYA secara hukum 5 (lima) hutan adat di Propinsi Jambi oleh Negara merupakan anugerah terindah di penghujung tahun 2016 lalu ditengah tingginya laju kerusakan hutan alam di Propinsi ini. Kini masyarakat adat di Jambi bisa sedikit tersenyum lega. Perjuangan mereka selama puluhan tahun belakangan dalam menuntut pengakuan hukum oleh negara atas hak adat mereka telah membuahkan hasil. Tanggal 30 Desember 2016, di Istana Negara para ketua adat dari propinsi jambi diberikan SK pengakuan hutan adat langsung oleh Presiden. Berikut daftar hutan adat tersebut (Sumber: berita sekretaris kabinet/setkab.go.id)

  1. Hutan Adat Desa Rantau Kermas (130 Ha) Kabupaten Merangin Provinsi Jambi (MHA Marga Serampas).
  2. Hutan Adat Bukit Sembahyang (39 Ha) Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi (MHA Air Terjun)
  3. Hutan Adat Bukit Tinggai (41 Ha) Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi (MHA Sungai Deras)
  4. Hutan Adat Tigo Luhah Permenti Yang Berenam (252 Ha) Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi (MHA Tigo Luhah Permenti)
  5. Hutan Adat Tigo Luhah Kemantan (452 Ha) Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi (MHA Tigo Luhah Kemantan)

Sesungguhnya keberadaan masyarakat adat di Propinsi Jambi adalah keunikan tersendiri bagi upaya pelestarian hutan. Selama ini masyarakat adat seringkali diabaikan, dipinggirkan, dilecehkan dan banyak dianeksasi oleh kapitalisme global, padahal mereka adalah oase ditengah kegagalan pelestarian hutan oleh negara.

Jika kita lihat data laju kerusakan hutan alam di Jambi cenderung semakin tinggi (40% dari 2,1 juta ha luas hutan) menyusul meningkatnya konversi hutan menjadi areal perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI), dan maraknya pembalakan liar. Ditambah lagi kerusakan hutan di Jambi diperparah oleh bencana kebakaran hutan yang terjadi setiap musim kemarau. Kebakaran hutan di Jambi cenderung meningkat akibat maraknya pembakaran untuk pembukaan maupun pembersihan lahan perkebunan.  Untungnya, di Jambi banyak terdapat suku atau etnis yang menggantungkan hidupnya dengan hutan. Misalnya suku Kubu, Melayu pedalaman, dan juga suku Kerinci. Komunitas-komunitas adat inilah yang membantu mempertahankan hutan alam yang tersisa di Jambi. Setiap suku yang ada di dalam dan sekitar hutan memiliki sistem nilai, norma, adat istiadat dan hukum adat yang merupakan manifestasi dari hubungan manusia dengan hutan yang sudah terjalin sejak lama. Hubungan ini terbentuk sebagai upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya serta mempertahankan eksistensinya melalui kearifan pemanfaatan sumberdaya hutan sehingga hutan milik masyarakat adat menjadi lebih terjaga kelestariannya.

Kekuatan Masyarakat Adat dalam Mengelola Hutan

                Banyak hasil penelitian yang mengungkapkan keberhasilan pengelolaan hutan oleh masyarakat adat di berbagai wilayah. Pangkali (2006) dan Kawer (2007) misalnya, menjelaskan bahwa masyarakat adat Jayapura berhasil mengelola hutannya dengan menentukan zonasi-zonasi sehingga hutan dapat dikelola dengan baik. Kajian terhadap masyarakat adat Baduy juga menunjukkan pengetahuan tradisonal yang kuat dan telah diwariskan turun temurun untuk menjaga hutannya (Ramli 2007). Pada masyarakat Rimba Jambi (Suku Kubu) juga memiliki kearifan yang mengatur pengelolaan hutan dan menciptakan prilaku memanfaatkan hutan secara lestari yang telah mengakar dalam sendi sendi kehidupan warganya. Pada masyarakat Kerinci dalam berbagai topik penelitian juga menunjukkan hal yang sama (Sari 2012; Septiawan; Helida; Oktoyoki 2016).

            Jika kita rangkum secara sederhana dari berbagai hasil penelitian tersebut, setidaknya ada tiga hal yang menjadi kekuatan masyarakat adat dalam mengelola hutan yaitu nilai (Value), norma (norm), struktur sosial. Dalam ilmu Antropologi Kehutanan tiga hal tersebut dikenal dengan istilahi kelembagaan.

Nilai (value)

Pada umumnya komunitas-komunitas masyarakat adat penghuni hutan di Indonesia memandang bahwa manusia adalah bagian dari alam yang harus saling memelihara dan menjaga keseimbangan dan harmoni. Atau sering disebut dengan istilah antroposentrisme yaitu percaya bahwa alam harus dilindungi karena nilai-nilainya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Orientasi nilai itulah yang memunculkan keyakinan dan mempengaruhi prilaku masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya hutan secara seimbang sehingga keberadaan hutan tetap terjaga dan memberikan manfaat bagi masyarakat dari waktu ke waktu.

Norma (norm)/ aturan

            Aturan adat yang berlaku di masyarakat adat pada dasarnya tidaklah tertulis tetapi ini menjadi acuan bagi masyarakat dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Bahkan norma adat dianggap hal yang paling penting dan wajib untuk ditaati oleh seluruh masyarakat adat. Menurut mereka hukum adat adalah hukum yang paling kuat dibanding dengan hukum lainnya karena hukum adat tidak bisa dibeli. Aturan-aturan dan larangan tersebut sangat ketat diterapkan oleh lembaga adat. Jika terjadi pelanggaran maka akan ada sanksi yang diberikan. Jenis sanksi bisa berbeda-beda tergantung tingkat pelanggaran terhadap norma dan aturan yang berlaku.

Pada masyarakat adat Kerinci misalnya, apabila sanksi/denda tersebut tidak dibayar oleh si pelanggar maka dalam istilah adat disebut tukok anyut ideak dipinteh, ilang ideak dicari, yang berarti jika pelanggar tersebut meninggal tidak dicari, jika jatuh tidak ditolong. Pelanggar yang tidak mau membayar denda juga akan dikucilkan oleh warga lainnya, jika pelanggar mengadakan hajatan, maka masyarakat tidak mau mendatangi rumahnya (bekambek kijang beayam kuwauw). Menurut warga denda tersebut sangat berat secara sosial, sehingga dengan adanya denda ini masyarakat menjadi sangat menghargai dan patuh terhadap hukum adat dari pada hukum positif. Mereka lebih memilih masuk penjara daripada dikucilkan oleh masyarakat lainnya. Pengaturan ini dapat mengendalikan perilaku individu-individu untuk secara arif dalam memanfaatkan sumberdaya hutan sehingga hutan tetap terjaga dengan baik. Sanksi yang diterapkan dapat mempengaruhi kepatuhan masyarakat. Rasa hormat kepada kaum adat mempengaruhi kepatuhan masyarakat adat terhadap aturan tersebut disamping nilai-nilai dan manfaat dari hutan itu sendiri.

 

Struktur sosial

            Setiap komunitas adat mempunyai sistem kepemimpinan dan struktur sosial masing-masing yang berbeda-beda. Meskipun berbeda namun fungsinya tetap sama yaitu pelayan bagi tujuan bersama yang menjadi nilai bersama. Sistem kepemimpinan adat tersebut bukan hanya wujud sistem pemerintahan saja tetapi juga melaksanakan tugas transfer pengetahuan adat, norma dan aturan, batas-batas wilayah, pengawasan terkait penegakan aturan adat dan hal lainnya dengan tujuan mempertahankan eksistensi sehingga norma dan tata kelakuan bisa bertahan lama. Adanya Organisasi yang jelas, dihormati, dilegitimasi pada komunitas adat dengan berbagai perannya dapat meminimalisir konflik-konflik terkait pengelolaan hutan  sehingga menimbulkan keteraturan di masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan hutan mereka.

Rekomendasi Kebijakan

Kepastian hukum yang diberikan pemerintah kepada komunitas adat di Propinsi Jambi adalah titik terang upaya pelestarian hutan di wilayah ini.Sehingga mulai tahun 2017 ini kita perlu lebih jauh mengenali, memahami, menghormati dan memperkuat keberadaannya, agar terwujud pengelolaan sumberdaya hutan untuk kepentingan kehidupan mereka secara berkelanjutan. Karena sudah saatnya kita mengubah paradigma bahwa yang menjadi subjek pembangunan kehutanan adalah masyarakatnya, bukan hutannya. Masyarakat harus menjadi sejahtera dengan keberadaan hutan yang mereka miliki.

Dalam menyusun perencanaan, pembuatan kebijakan, dan peraturan pengelolaan sumber daya hutan secara lestari, pemerintah propinsi Jambi mesti melihat dan mempertimbangkan kelembagaan adat yang terdapat pada masyarakatnya. Karena devolusi pengelolaan hutan (pemberian kewenangan kepada entitas tertentu) bukan berarti pemerintah menjadi bebas tugas. Pemerintah Jambi harus mampu memahami dan bekerjasama dengan lembaga informal pada berbagai komunitas masyarakat di Jambi sehingga apa yang dibutuhkan masyarakat dalam upaya pengelolaan hutan mendapat sokongan dari pemerintah. Jika pemerintah mampu berperan sesuai kebutuhan entitas adat maka akan terjadi sinergi dan keberlanjutan pengelolaan hutan yang lestari dan mendapat legitimasi yang kuat dari masyarakat.

Penulis: Hefri Oktoyoki, S. Hut, M. Si, merupakan warga masyarakat adat Kerinci.


Berita Terkait



add images