iklan Dosen Luar Biasa Fak. Syariah UIN STS JAMBI
Dosen Luar Biasa Fak. Syariah UIN STS JAMBI

Oleh: YULFI ALFIKRI NOER S.IP,.M.AP

Etika adalah salah satu cabang filsafat yang berbicara secara mendalam, radikal    pada wilayah umum filosofi  perilaku, tingkah laku, baik dan buruk perilaku manusia. Bicara sopan santun tata krama pergaulan manusia (etis tidak etis), bukan bicara benar dan salah. Bicara sebaiknya, sepatutnya, sepantasnya;  bukan seharusnya, seyogiaya, semestinya dan lain-lain.

Dengan kata lain, bicara etika berarti bicara nilai, moral  manusia  di berbagai lingkungan pergaulan. Baik pada pergaulan  politik, ekonomi, sosial, budaya, organisasi, adminsitrasi, birokrasi, pemerintahan dan lain-lain. Dalam bahasa akademik dikemas seperti  menjadi: etika  politik, etika pejabat,  etika bisnis, etika sosial, etika budaya, etika organisasi, etika administrasi, etika birokrasi, etika pemerintahan, bahkan pada pergaulan terkecil; etika makan, etika interaksi anak dan orangtua, etika bertetetangga dan lain-lain. 

Pada wilayah praktis, yang sudah terikat ruang dan waktu,  nilai baik dan buruk atau etika itu diterjemahkan melalui perturan yang sepantasnya, sebaiknya dan seharusnya berlaku setelah mempertimbangkan, mendekatkan pada  berbagai nilai baik historis, kekinian maupun desain proyektif, visioner kepada semua masa yang diharapkan dan akan datang.

Persepsi tentang etika cenderung akan berubah-ubah sesuai dengan perubahan zaman, karena membicarakan etika berarti membicarakan persoalan pandangan atau persepsi individu atau sekelompok orang yang erat hubungannya dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan seseorang untuk dapat dikatakan baik atau buruk. Dengan adanya etika dalam sebuah pergaulan masyarakat akan dapat dilihat baik dan buruknya.

Hal itu juga merupakan tolak ukur suatu proses dalam negara, dimana akan terselenggaranya suatu keadilan dan kesejahteraan yang di prakarsai oleh para pejabat-pejabat publik yang nantinya di harapkan membantu kesejahteraan bagi masyarakat banyak.

Pejabat publik merupakan orang-orang yang diserahi tugas dalam jabatan publik untuk melaksanakan tugas bangsa dan negara berdasarkan aturan yang ada. Mulai dari eksekutif, legislatif, yudikatif, pejabat pusat, pejabat daerah, dan pejabat lembaga negara lainnya. Semuanya memegang posisi yang penting bagi tujuan negara. Karena dari kebijakan merekalah tujuan negara bisa dijalankan.

Itulah sebabnya masyarakat memilih mereka, karena percaya dengan kemampuan untuk menjalankan tugas penting tersebut. Wajar jika orang-orang pilihan ini menjadi panutan bagi masyarakat umum. Namun, sejak dulu hingga sekarang kita selalu dihadapi dengan problem kronis, yakni praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di kalangan pejabat publik.

Bertahun-tahun masalah korupsi menjadi kontroversi, tapi tidak pernah terselesaikan secara tuntas dan memuaskan. Masalah utama sulitnya memberantas praktik korupsi tak lain adalah relasi kekuasaan tanpa kontrol. Bahkan tidak ada instrumen hukum yang secara efektif dapat mencegah praktik tercela ini karena hukum pun telah diperbudak dan menjadi lumpuh oleh dahsyatnya pengaruh politik uang.

Tidak hanya kasus korupsi yang menjadi pertimbangan masyarakat dalam menilai para pejabat publik di masa sekarang, yang dianggap telah melanggar etika sebagai seorang pejabat publik.kita bisa melihat bagaimana moral yang di tunjukkan oleh para pejabat sekarang yang seenaknya mengandalkan jabatan dan uang mereka untuk memanipulasi sesuatu yang mereka anggap benar walaupun sudah bertentangan dengan Undang-Undang. Sering kali pejabat publik tersandung kasus yang akhirnya memperburuk citranya di mata masyarakat. Mulai dari kasus biasa sampai luar biasa. Mulai dari pernyataan anti korupsi dan penanda tanganan pakta integritas untuk tidak korupsi (pada akhirnya korupsi juga) dan harus mundur jika jadi tersangka, perebutan harta, tahta, dan wanita, sering menyeret pejabat publik untuk meninggalkan nilai-nilai moral.

Terkadang semuanya dilakukan tidak saja melanggar hukum tapi melanggar nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Hal ini menandakan lemahnya moral pejabat publik yang tersandung kasus. Banyak pejabat-pejabat public di negara ini yang sudah menyandang status tersangka tetapi tanpa malu-malu masih mempertahankan kedudukannya dengan berlindung dibalik asas praduga tak bersalah. 

Fenomena ini berbanding terbalik dengan pejabat-pejabat di negara lain. Dimana   dalam kehidupan sehari-hari mereka, etika dan moral sering kali disandingkan dalam menjalankan tugas dan perannya sebagai seorang pejabat. Hal itu juga dapat menentukan apakah pajabat itu layak untuk dikatakan baik atau pun sebaliknya. Mereka tidak sungkan untuk mundur dari jabatannya apabila tersandung kasus apalagi menyandang status tersangka.

Bahkan tidak hanya di kalangan pejabat saja mengenai etika dan moral itu tersosialisasikan, di kalangan sekelompok masyarakat kecilpun etika dan moral selalu di nomor satukan dalam menjalankan suatu tindakan yang nantinya akan menetukan kebaikan dari suatu tindakan tersebut.

Namun, pertanyaan besarnya, Apakah moral setiap orang akan merubah ketika uang dan jabatan mulai mereka dapatkan? Kita lihat dari berbagai kejadian-kejadian yang ada di negara kita mulai dari kasus Nazaruddin dan juga kasus-kasus pejabat-pejabat negara lainnya yang sedang ramai diperbincangkan semua orang sungguh membenarkan adanya pertanyaan di atas dimana kekayaan dan jabatan bisa menghilangkan nilai moral yang ada di diri seseorang walaupun sebenarnya mereka mengetahui hal itu adalah suatu perbuatan yang jauh dari kebenaran dan menyimpang dari etika dan moral sebagai pejabat publik.

Moralitas publik tampaknya sudah tergerus oleh mentalitas korup dan kewibawaan jabatan sehingga yang muncul adalah perlombaan untuk memperkaya diri dan tanpa malu mendemonstrasikan kemewahan, sekalipun jalan yang ditempuh adalah mencuri uang rakyat. Sebuah fakta tentang moralitas yang tak terukur dengan sebuah kebenaran yang sebenar-benarnya. Padahal, etika dan moralitas adalah benteng terakhir dalam membangun kejujuran.(*)


Berita Terkait



add images