iklan Pasar eks Mentara Teater. Foto : Rado / Radar Sampit
Pasar eks Mentara Teater. Foto : Rado / Radar Sampit

JAMBIUPDATE.CO, SAMPIT - Pasar eks Mentaya Teater di selatan Taman Kota Sampit, Kalimantan Tengah, mangkrak seperti bangunan di Hambalang, Jawa Barat.

Sudah hampir lima tahunan bangunan itu tidak berpenghuni. Padahal biaya pembangunannya sangat mahal, yakni Rp 25,9 miliar.

Dana pembangunan diambil dari APBD Kotawaringin Timur (Kotim) melalui sistem tahun jamak.

Saat ini bangunan megah itu hanya menjadi tempat buang air kecil dan lokasi muda mudi memadu kasih saat malam.

Berdasarkan pantauan Radar Sampit di lapangan, bangunan itu mulai rusak. Los kios yang ditutupi rolling door mulai hilang dan jebol.

Plafon juga mulai rusak. Sejumlah dinding los dicoret. Bau pesing sangat menyengat.

Lantai di los bagian timur digenangi air hujan. Bangunan itu tidak terurus sama sekali.

Memang ini kerap dimasuki orang. Kencing sembarangan dan dindingnya dicoret dan dirusak, kata salah seorang warga sekitar sebagaimana dilansir laman Prokal, Rabu (15/5).

Selain bau, bangunan itu juga mulai tidak layak ditempati pedagang kaki lima. Kondisi bangunan yang gelap dan pengap membuat pedagang enggan berjualan di sana.

Berdasarkan catatan Radar Sampit, ada 360 lapak dengan ukuran 1,5 x 1,5 meter yang rencananya dibagikan kepada pedagang.

Untuk kios ada 161 unit di lantai satu dan 98 di lantai dua. Dari jumlah itu, sebanyak 74 kios di antaranya telah dibagikan kepada pedagang lama yang sebelumnya berjualan di eks Mentaya Teater.

Pembangunan gedung itu rencana awalnya untuk menata pedagang di sekitar Taman Kota Sampit.

Tahun 2013, DPRD dan Pemkab Kotim menyepakati pembangunannya melalui anggaran tahun jamak.

Pagu yang dialokasikan saat itu sebesar Rp 27 miliar. Namun, dalam proses tender, proyek ditawar menjadi Rp 25,9 miliar yang diposkan di Dinas PUPR Kotim.

Proyek tersebut dimenangi PT Menara Agung Pusaka, kontraktor asal Jakarta.

Bangunan tersebut dikerjakan selama tiga tahun sejak 2013 dan diresmikan pada akhir masa jabatan periode pertama Bupati Supian Hadi pada 2015.

Sebelumnya, DPRD Kotim juga menyoroti keberadaan bangunan itu. Ketua Fraksi PDI Perjuangan Rimbun mendesak pemanggilan pihak terkait, yakni dinas teknis dan dinas pengelolanya.

Perencanaan bangunan itu sebelumnya berada di bawah Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang (PUPR), sedangkan pengelolaannya oleh Dinas Perdagangan Perindustrian dan Pasar.

Beberapa kali jajaran eksekutif hanya sekadar merencanakan fungsionalisasi gedung itu sejak 2017 hingga 2019.

Bahkan, sampai Kepala Disperdagin Kotim Mudjiono pensiun pun tidak mampu memfungsikan bangunan tersebut.

Alasan yang kerap dilontarkan ialah pedagang banyak yang menolak ditempatkan di kios tersebut.

Hampir lima tahun bangunan itu tidak berfungsi. Kami juga merasa bersalah dengan hal ini karena di lembaga ini dulu yang menyetujui pembangunannya. Jadi, tidak salah kami mendesak kapan bangunan itu difungsikan, tegas Rimbun.

Dia mengatakan, apabila Pemkab Kotim tidak sanggup memfungsikan bangunan itu untuk pedagang, seharusnya harus disampaikan sehingga bisa dicari solusinya.

Kalau memang tidak bisa difungsikan, sampaikan juga daripada bangunannya rusak. Cita-cita awal untuk membuat pedagang terlihat lebih tertata dan tertib itu tidak tercapai. Saya lihat tambah kurang baik, tandasnya. (ang/ign)


Sumber: www.jpnn.com

Berita Terkait



add images