iklan Ilustrasi.
Ilustrasi. (Net)

Untuk gugatan pada 2015 berjumlah 1.166 perkara, naik pada 2016 menjadi 1.261 perkara. Angka itu merangkak naik menjadi 1.331 perkara pada 2017, kemudian pada 2018 naik lagi menjadi 1.355 perkara. “Untuk 2019 sampai September ada 1.034 perkara gugatan. Masih tersisa tiga bulan, kenaikan bisa saja terjadi,” kata Panitera Muda Hukum PA Bogor Kelas 1A Agus Yuspian kepada Metropolitan, akhir pekan lalu.

Setali tiga uang, tren perceraian karena talak suami juga cenderung meningkat sejak 2015 silam. Saat itu, sambungnya, ada 362 perkara yang kemudian naik pada 2016 menjadi 371 perkara. Pada 2017 kembali meningkat karena ada 385 perkara yang masuk. Lalu naik lagi pada 2018 dengan 393 perkara. “Tahun ini sampai September jumlahnya 298 perkara cerai talak suami,” terangnya.

Jika ditotal, jelas Agus, perkara perceraian yang masuk sejak 2015 berjumlah 7.957 perkara, yang didominasi perkara gugatan istri sebanyak 6.148 perkara. Sisanya 1.809 perkara talak suami. Jika dirata-rata, selama lima tahun ada empat perempuan menggugat cerai suaminya di Kota Bogor.

Beberapa faktor disebut-sebut jadi penyebab perceraian terjadi. Selama bertahun-tahun, faktor ekonomi dan ketidakharmonisan dalam rumah tangga rupanya masih ‘setia’ bertengger di posisi atas. Selama 2019, 543 kasus perceraian terjadi karena alasan tidak harmonis. Disusul faktor ekonomi sebanyak 158 perkara.

Tak cuma itu, faktor ‘orang ketiga’ dan KDRT juga masih terjadi di Kota Hujan. “KDRT secara jasmani terjadi sebanyak sebelas kasus. Ada juga alasan poligami tidak sehat, dua kasus dan pasangan yang murtad dua perkara,” ujar Agus.

Terpisah, Pengacara Kantor Hukum Sembilan Bintang R Anggi Ismail menuturkan, kasus perceraian di Kota Bogor cukup meningkat signifikan. Jangan sampai label ‘Kota Perpisahan’ menempel, sehingga ini hal serius yang harus dipikirkan. Di kantornya saja, ia sudah menangani 41 gugatan cerai istri dan 18 perkara cerai talak, serta lima kasus berujung damai atau rujuk kembali.

Selain itu, ada sekitar 30-an orang yang berkonsultasi soal perceraian, dengan sepuluh laki-laki dan 20 perempuan. Total yang masuk list administrasi berjumlah 94 perkara.

Ia menjelaskan, faktor-faktor yang kerap menjadi sanggahan bagi para pihak yakni faktor ekonomi, pihak ketiga, kepuasan batin hingga persoalan penyakit. “Keterlibatan pemerintah dalam memberikan penyuluhan pranikah dan pascanikah sangatlah penting. Kantor Urusan Agama (KUA) janganlah dibuat pengangguran terstruktur sebagai lembaga yang menyandang moral bangsa. Buat orang-orangnya aktif untuk mendorong dalam mengurangi angka perpisahan di Bogor,” pungkas Anggi. (cr2/ryn/d/els/run)


Sumber: www.jpnn.com

Berita Terkait



add images