Sebelum jam 12 siang kuota itu biasanya sudah penuh. Saatnya guru memberikan jawaban. Lewat teks. Bukan suara. Seperti membalas WA.
Seluruh kelas di grup itu bisa membaca pertanyaan siapa pun. Juga bisa membaca jawaban dari guru.
Hari ketiga ceramah lagi. Dari guru lain. Untuk mata pelajaran lain. Hari berikutnya tanya jawab lagi. Selang-seling hari. Ceramah dan tanya jawab.
Begitulah seterusnya. Selama satu bulan.
Habis itu Anda pun sudah siap menikah.
Bunyi pertanyaan umumnya yang praktis-praktis seperti ini: bolehkah pihak wanita mengajukan permintaan atas nilai dan jenis mahar (mas kawin).
Jawab sang guru tidak sekedar boleh atau tidak. “Permintaan seperti itu tidak lazim. Juga kurang baik. Bisa menimbulkan kesan kok belum-belum sudah mata duitan,” jawab sang guru. “Tapi, itu boleh saja,” jawab sang guru.
Ada juga pertanyaan unik: janda kawin dengan duda. Masing-masing membawa anak. Anak mereka saling jatuh cinta. Bolehkah mereka kawin?
Jawabnya: boleh. Anak-anak itu tidak memiliki hubungan darah. Bukan muhrim. Tidak saling membatalkan.
Khasbi lulusan pondok pesantren Ploso, Kediri. Ia lahir di Lebak Siu dekat Slawi, selatan Tegal, Jateng. Itulah desa yang terkenal di seluruh Indonesia. Kalau ada orang jual martabak LBS tanyalah dari mana mereka.
Tamat SD Khasbi langsung dikirim ke Ploso –mengikuti jejak anak-anak lain di desa itu.
Sampai umur 20 tahun Khasbi belum punya ponsel. Di pondok Ploso santri tidak boleh memegang ponsel.
Ia bisa mematikan keinginannya memiliki ponsel. Seperti juga mematikan keinginan mencintai sepak bola.
Awalnya ia ingin sekali nonton Liga Italia. Yang lagi top kala itu. “Saya harus mematikan keinginan nonton bola itu,” katanya.
Pun Khasbi bisa mematikan keinginan untuk pacaran.
Dengan istrinya ini pun Khasbi tidak melewati masa pacaran. Bisa dibilang ketemu langsung kawin.
Pertemuan itu terjadi di Seoul, Korea Selatan. Nurul Hidayati lagi kuliah di sana. Tingkat S3. Calon doktor. Bidang nanotechnology.