iklan Ilustrasi.
Ilustrasi. (Net)

JAMBIUPDATE.CO, JAKARTA – Pengaturan pajak pemerintah daerah (pemda) bakal diatur oleh pemerintah pusat dalam Omnibus Law dianggap melemahkan kekuatan pemda dalam mengelola pajak di wilayahnya.

“Pemda tidak mempunyai kekutan dalam bidang pajak sam sekali. Pajak daerah biarkan menjadi kewenangan daerah,” ujar Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Nailul Huda kepada Fajar Indonesia Network (FIN), Rabu (12/2).

Seharusnya, menurut Huda, pemda memiliki kewenangan penuh dalam mengatur pajak di daerahnya. Sebab pemda lebih tahu terhadap daerahnya masing-masing.

“Pemimpin daerah itu adalah hasil dari reformasi tapi malah mau diberedel sama pemerintah pusat sekarang ini,” kata dia.

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, Astera Primanto Bhakti mengungkapkan, pemerintah pusat bakal menetapkan tarif tertentu yang berbeda dengan tarif pajak daerah yang telah ditetapkan dalam Perda.

BACA JUGA: Kelebihan Kapasitas, Rutan Kabanjahe Rusuh

Penetapan tarif tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) dan Pemda wajib menerapkan tarif baru dalam waktu 3 bulan setelah Perpres ditetapkan.

Pasalnya, kata dia, selama ini pemda cenderung memaksimalkan tarif pajak daerah. Padahal, di sisi lain pemerintah tengah mendorong minat investor menanamkan modalkanya di Tanah Air, yakni melalui Omnibus Law.

“Kebanyakan Pemda mengambil tarif tengah atau atas, tidak ada yang ambil bawah. Akhirnya timbul kompetisi pajak,” kata Prima.

Lebih jauh, dia menjelaskan, tarif pajak daerah diusulkan dapat ditetapkan secara nasional dan pemda didorong untuk berkompetisi dalam memberikan pelayanan dan fasilitas untuk meningkatkan investasi di daerahnya.

Di dalam Omnibus Law Perpajakan, terang dia, pemda harus patuh dalam menyampaikan Rancangan Perda kepada DJPK ataupun Kemendagri untuk dievaluasi. Sesungguhnya kewajiban pemda untuk menyetorkan Rancangan Perda kepada pemerintah pusat sudah diatur. Namun, kepatuhan pemda untuk menyampaikan rancangan beleid masih rendah.

“Nantinya bakal ada alert kalau ada perda yang bisa berdampak buruk pada iklim usaha. Kalau misalnya Rancangan Perda-nya bertabrakan dan tetap dilaksanakan maka akan ada sanksi berupa penundaan transfer,” tutur Prima.

Terkait evaluasi, pemerintah memiliki kewenangan untuk mengevaluasi Rancangan Perda pajak daerah serta perda dan aturan pelaksanaan pajak daerah yang telah ditetapkan.

Atas Rancangan Perda pajak daerah, diatur bahwa Rancangan Perda yang telah disetujui oleh DPRD dengan kepala daerah wajib disampaikan kepada menteri keuangan dan menteri dalam negeri untuk dievaluasi.

BACA JUGA: USBN Dihapus, Sekolah Penentu Kelulusan

Dalam hal ini, lanjut dia, menteri keuangan mengevaluasi rancangan perda untuk menguji kesesuaiannya dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kebijakan fiskal nasional.

Selanjutnya, hasil evaluasi menteri keuangan diteruskan kepada menteri dalam negeri dengan dua opsi rekomendasi. Pertama, penetapan rancangan perda dapat dilanjutkan karena sudah sesuai.

Kedua, rancangan perda disesuaikan dengan hasil evaluasi karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kebijakan fiskal nasional.

Menteri keuangan juga melakukan pengawasan dan melakukan evaluasi atas perda pajak daerah yang telah berlaku dan disebutkan apabila hasil evalusasi menyatakan bahwa perda pajak daerah menghambat kemudahan berusaha, maka pemda wajib melakukan perubahan perda ataupun aturan pelaksanaannya paling lama enam bulan setelah terbitnya evaluasi.

Dengan ini, artinya ke depan pemda tidak dapat lagi menaikkan tarif hingga mencapai batas maksimal sebagaimana yang tertuang dalam Undang Udang Pajak Derah dan Retribusi Daerah. Namun, pemda diberikan ruang untuk memberikan fasilitas pajak dalam rangka meningkatkan investasi di daerahnya masing-masing.(din/fin)


Sumber: www.fin.co.id

Berita Terkait