iklan Ilustrasi.
Ilustrasi. (FIN)

JAMBIUPDATE.CO, JAKARTA – Sejak pemberlakukan kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) sebesar 23 persen dan Harga Jual Eceran (HJE) sebesar 34 persen pada per Januari 2020, jumlah pabrik rokok di seluruh Indonesia mengalami penurunan.

Gabungan Pabrik Rokok (GAPERO) mensinyalir pabrik rokok yang mulai bertumbangan lantaran adanya kenaikan CHT dan HJE. Kendati demikian, GAPERO belum bisa menghitung berapa jumlah pabrik rokok yang gulung tikar.

“Jika dilihat dari tren tiga tahun terakhir saja, kenaikan cukai 10 persen berdampak pada penurunan sebesar 1-2 persen,” ujar Ketua Umum GAPERO, Sulami Bahar di Jakarta, kemarin (20/2).

Kenikan tarif cukai yang terjadi setiap tahun membingungkan para pelaku industri. Salah satunya, pengusaha menjadi kesulitan untuk memproyeksikan bisnisnya dalam jangka panjang.

“Investasi rokok ini bukan investasi sembarangan, nilainya besar, namun kondisinya di lapangan justru banyak pembatasan,” kata dia.

Diakui Sulami, produk rokok kerap menjadi sorotan dari bebagai pihak. Ada pro dan kontra atas usaha ini. Sehingga IHT kerap dipersulit oleh banyaknya aturan, seperti mulai dari aturan peredaran, isu pembatasan kemasan, sampai yang paling baru, kenaikan tarif cukai dan harga jual per batangnya.

Meski demikian, GAPERO mendukung kebijakan yang diterbitkan pemerintah. Karenanya, pihaknya misalkan melakukan upaya-upaya edukasi dan sosialisasi agar produk ini dikonsumsi secara bijak oleh orang dewasa.

“Selayaknya hal ini merupakan tanggung jawab bersama yang semua pihak harus ikut mengontrol. Kebijakan yang sangat menekan ini membuat kami bertanya-tanya, apakah IHT masih dipandang strategis atau tidak. Jika iya, tolong diberikan perlakuan yang adil,” ucap dia.

Dia pun menekankan perlunya sebuah kepastian peraturan di masa datang. Yang dimaksud itu adalah pemerintah mau memandang situasi secara adil dan berpihak pada pengusaha yang lebih kecil, termasuk seluruh pelaku IHT di dalamnya.

“Selain itu, kami juga meminta kebijakan penyederhanaan tarif cukai tidak dilanjutkan, Aturan yang ada saat ini sudah sangat menekan pelaku usaha, dampaknya sudah mulai terasa,” ungkapnya.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi, Haula Rosdiana memberikan apresiasi terhadap pemerintah selain memperhitungkan keuntungan di industri rokok, tapi juga masyarakat. Artinya kebijakan itu untuk menekan daya beli masyarakat untuk membeli rokok.

“Karena harga rokok di kita (Indonesia) itu termasuk yang paling murah jadi kalau perokok yang harus dipengaruhi itu adalah affordability (daya beli),” ujar Haula.

Menurut dia, murahnya harga rokok di Indonesia membuat negara ini jadi surga bagi perokok di bawah umur. Kondisi ini sangat berbahaya untuk generasi yang akan datang.

“Instrumen perpajakan bukan kemudian kenaikan pendapatan ya, tetapi sebetulnya juga tadi untuk mencapai tujuan tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah,” ujar Haula.

Sebaliknya, Pengamat Ekonomi, Anthony Budiawan menilai kenaikan cukai rokok malah bakal menambah tingkat kemiskinan masyarakat Indonesia. Kebijakan tersebut saat ini tidak tepat.

“Kalau cukai rokok dinaikkan malah akan menghasilkan kemiskinan yang bertambah di Indonesia. Karena konsumsi rokok lebih banyak di kalangan bawah,” katanya.

Seharusnya, kata dia, pemerintah menaikkan pajak perusahaan rokok. Dengan pajak tersebut, dapat memberikan pengurangan dividen pada para perusahaan rokok ini.

“Cukai rokok bisa saja dinaikkan untuk hal-hal seperti kesehatan dan sebagainya. Tapi masalahnya, kalau untuk menutupi keuangan negara, apakah tidak ada dari sumber lain?,” tegas dia.

Sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani resmi mengerek tarif cukai rokok. Kenaikan cukai rokok tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.


Berita Terkait



add images