Oleh: Dahlan Iskan
Saya berpikir 1000x untuk menulis DI’s Way hari ini. Yang ke-1001 saya putuskan: menulis.
Sepanjang semua orang bisa lockdown secara suka rela, sebenarnya memang tidak perlu lockdown total.
Tapi kita menghadapi kenyataan: banyak orang punya jalan pikiran yang berbeda. Terutama kalau sudah menyangkut agama.
Dan itu tidak mungkin dilawan. Dan sebaiknya memang jangan dilawan. Tidak bijaksana.
Misalnya begitu banyak yang berpikiran ‘nyawa itu di tangan Tuhan’.
Mereka tidak salah.
Mereka berpegang pada kitab suci: “kalau sudah waktunya ajal tiba tidak akan bisa dimundurkan atau dimajukan satu detik pun”.
Ayat tersebut menjadi salah satu ayat favorit. Artinya: termasuk ayat yang paling sering diindoktrinasikan. Sejak kecil dulu. Saya hafal bunyinya dalam bahasa Arab.
Bisa jadi kepopuleran ayat itu sejajar dengan ayat: bila kalian mensyukuri nikmat Tuhan senantiasa akan ditambah nikmat itu dan bila kalian tidak mengakui nikmat itu kalian akan mendapat laknat.
Jadi, mati itu di tangan Tuhan. Seperti apa pun Anda lari dari kematian, Anda mati juga –kalau memang sudah ditentukan saat itu harus mati.
Sebaliknya untuk apa meniadakan salat Jumat. Kalau memang belum saatnya mati Anda tidak akan mati. Kok sampai mengorbankan salat Jumat!
Dengan berpegang pada prinsip-prinsip seperti itu bagi kami mati itu biasa. Tidak menakutkan sama sekali.
Mati itu sudah ditentukan harinya, jamnya dan detiknya sejak jauh-jauh hari –bahkan sejak sebelum dilahirkan.
Saya ikuti pula pemberitaan di Amerika dengan intensif. Ternyata di sana banyak juga kelompok gereja yang punya pikiran mirip-mirip itu.
Umumnya dari kelompok yang mendukung Donald Trump. Hanya saja jumlahnya tidak sebanyak (dalam persentase) di lingkungan kami umat Islam di Indonesia.
Pun menghadapi Covid-19 sekarang ini. Jangankan virus. Ke medan perang pun kami tidak takut. Kalau belum waktunya mati tidak akan mati.
Yang seperti itu sudah menjadi realitas masyarakat kita. Jangan dimusuhi. Tidak menyelesaikan masalah. Juga tidak bijaksana.
Ketika masjid Al Falah Surabaya tidak melaksanakan salat Jumat (Jumat lalu) ada jemaah yang datang marah-marah. Ia manyatakan: yang menyuruh tidak Jumatan itu pasti PKI (Partai Komunis Indonesia).
Al Falah adalah masjid besar yang letaknya di jalan utama Surabaya. Langkahnya itu sangat mengejutkan, memang. Sampai dikecam sebagai PKI.
Saya juga menerima kiriman WA. Dengan nada bangga –dan ingin menunjukkan kebanggaan itu pada saya: Abah…. Alhamdulillah masjid di lingkungan saya tetap ramai Jumatannya. Di lingkungan kami tidak ada yang sampai paranoid.
Ibaratnya ikhtiar sudah dianggap paranoid.
Dalam kasus Al Falah Surabaya sebenarnya agak mengherankan.
Lihatlah pertanyaan yang disampaikan kepada saya ini: mengapa masjid yang biasanya memegang prinsip kuat keagamaan (Quran Hadis) malah bisa menerima ide tidak perlu ada Jumatan?
Al Falah termasuk dikenal sebagai masjid seperti itu.
Sebaliknya masjid-masjid yang selama ini dikenal berorientasi pada ahli sunnah yang moderat dan akomodatif justru tetap melaksanakan salat Jumat?
Saya tidak mampu menjawab pertanyaan itu. Apalagi yang bertanya itu seorang intelektual. Maka jawaban saya singkat: justru saya yang ingin menanyakan itu kepada Anda!
Ia lantas menambahkan: mengapa yang selama ini kita kenal sebagai Wahabi (Saudi Arabia dkk) malah bisa menerima ide libur Jumatan.
Sedang yang ahli sunnah malah tidak?
Pertanyaan itu pun menggantung. Saya pilih diam. Saya sebenarnya tahu jawabnya, tapi itu termasuk 1002.