iklan Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani
Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani (Iwan tri wahyudi/ FAJAR INDONESIA NETWORK)

JAMBIUPDATE.CO, JAKARTA – Pandemi virus corona atau Covid-19 yang berkepanjangan menyebabkan pendapatan negara mengalami penurunan yang drastis di tahun 2020.

Saat rapat kerja bersama Komidis XI DPR RI secara virtual, kemarin (6/4), Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyebutkan outlook pandapatan negara turun menjadi Rp1.760,9 triliun dari target APBN 2020 yang sebesar Rp2.233,2 triliun. “Kami perkirakan pendapatan negara minus sebesar 10 persen. Jadi peneimaan hanya 78,9 persen dari target yang ditetapkan,” katanya.

Lebih jauh bendahara negara ini mengatakan, belanja negara mengalami kenaikan menjadi Rp2.613,8 triliun dibandingkan yang ditetapkan APBN sebesar Rp2.540,4 triliun. “Belanja negara ini untuk perlindungan sosial akibat langkah Work From Home (WFH), social distancing dan pembatasan mobilitas yang membutuhkan jaminan sosial, juga kebutuhan untuk melindungi dunia usaha menyebabkan kenaikan kebutuhan untuk melindungi dunia usaha dalam bentuk pajak,” jelas dia.

Dengan demikian, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menyebutkan terjadi defisit atau tekor Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi sebesar 853 triliun atau 5,07 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka defisit ini naik drastis yang sebelumnya sebesar Rp307,2 triliun atau 1,76 persen dari PDB. “Ini adalah skenario asumsi yang kita kembangkan, setiap Minggu kami akan update APBN yang mungkin bergerak dan berubah, tapi kami jelaskan basis penerimaan,” beber dia.

Dalam kesempatan itu, Sri Mulyani memperkirakan PPh Migas mengalami kontraksi hingga -26 persen secara tahunan (year on year (yoy) dengan realisasi akhir tahun sebesar Rp43,7 triliun akibat perang harga antara Arab Saudi dan Rusia yang tak kunjung selesai.

Sedangkan PPh Nonmigas diproyeksikan terkontraksi -4,9 persen (yoy) menjadi Rp1.210,4 triliun turunnya kegiatan ekonomi dan karena berbagai stimulus yang digulirkan,

Seentara stimulus fiskal tahap kedua untuk 19 sektor manufaktur diproyeksikan mencapai Rp13,86 triliun dan ke depan masih akan ada stimulus tambahan kepada sektor-sektor terdampak lainnya sebesar Rp70,3 triliun.

Pengurangan tarif PPh Badan dari 25 persen menjadi 22 persen diproyeksikan menghilangkan penerimaan negara hingga Rp20 triliun. Adapun saat ini juga terdapat potensi berkurangnya PPh dividen sebesar Rp9,1 triliun dengan asumsi apabila Omnibus Law Perpajakan diundangkan.

Terpisah, peneliti INDEF Ariyo Irhamna mengatakan, sangat sulit di pandemi corona untuk meningkatkan penerimaan neagra. Nah, agar penerimaan negara tidak semakin parah maka ada beberapa strategi yang harus dilakukan pemerintah. “Strategi bagaiman agar penerimaan negara tidak terlalu parah, ada beberapa sektor yang berpotensi mendulang uang di saat pandemi, misalkan agriculture, e-commerce, Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), alat dan produk kesehatan,” ujar Ariyo kepada Fajar Indonesia Network (FIN), kemarin (6/4).

Selain itu, saran dia, dalam meminimalisir wabah corona terhadap ekonomi nasional pemerintah harus memprioritaskan penanganan Covid-19. “Dalam hal ini, seperti sektor manufaktur farmasi, alat kesehatan harus diberikan kemudahan dan insentif agar tetap dan cepat berproduksi,” kata dia.

Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah saat ini tidak tepat dalam kondisi seperti ini untuk meningkatkan pajak, sebaliknya harus fokus dalam mitigasi Covid-19 sehingga tak ada penambahan korban yang meninggal maupun yang terinfeksi positif virus ini. “Bukan waktunya untuk meningkatkan pajak di tengah bencana. Kebijakan mendorong pajak ditengah bencana adalah kebijakan yang tidak bijak alias ngawur,” ujar dia kepada Fajar Indonesia Network (FIN), kemarin (6/4).(Din/Fin)


Sumber: www.fin.co.id

Berita Terkait



add images