iklan Petugas mengenakan pakaian pelindung penyemprotan disinfektan di area Dufan, Ancol, Jakarta, (14/3).Pembersihan sejumlah wahana di Dufan dengan menggunakan cairan disinfektan guna mengantisipasi penyebaran virus corona (Covid-19).
Petugas mengenakan pakaian pelindung penyemprotan disinfektan di area Dufan, Ancol, Jakarta, (14/3).Pembersihan sejumlah wahana di Dufan dengan menggunakan cairan disinfektan guna mengantisipasi penyebaran virus corona (Covid-19). (FAISAL R. SYAM / FAJAR INDONESIA NETWORK.)

JAMBIUPDATE.CO, JAKARTA – Presiden Joko Widodo bersama jajarannya di pemerintahan dinilai tidak siap dalam menghadapi wabah COVID-19. Banyak kebijakan pemerintah yang tidak dipikirkan secara matang. Sehingga tumpang tindih antara satu kementerian dengan kementerian lainnya. Bahkan sampai di tingkat pemerintah daerah.

“Terkesan Presiden hanya pencitraan bantuan dan plin plan. Sehingga meremehkan keselamatan rakyat. Pemerintahan Jokowi Periode 2 ini masih saja seperti yang dahulu lemah dan plin plan. Hal ini terlihat sekali saat wabah COVID -19 melanda negara ini. Banyak aturan dan kebijakan yang diambil tanpa ada sinkronisasi dengan semua stakeholder. Sering berubah-ubah dan banyak menyebabkan berbenturan dan membingungkan daerah dalam bekerja. Jadi implementasinya nol. Sehingga hanya menjadi pencitraan bantuan oleh Presiden dan mengenyampingkan keselamatan rakyat,” kata Anggota DPR RI Fraksi PKS Syahrul Aidi Maazat di Jakarta, Rabu (29/4).

Setidaknya ada empat stakeholder yang berkaitan erat dengan penanganan Corona, Yaitu Kementrian Keuangan, Kemendagri, Kementerian Desa dan PDTT, Kementerian Sosial. Dia menerangkan efek dari ketidaksinkronan itu, konflik sosial muncul di lapisan bawah saat ini. Hal itu dapat ditandai dengan berbagai penolakan yang dilakukan oleh kepala desa hingga ketua RT/RW. Mereka tidak berani menjalankan aturan yang telah ditetapkan.

“Saya mendapat banyak laporan, mulai Bupati, Kades hingga Ketua RT atau RW yang tak berani menjalankan beberapa instruksi pemerintah pusat. Ada yang takut masyarakat kecewa, ada juga yang takut akan kena masalah pasca COVID-19. Akhirnya mereka hanya diam dan menunggu. Akibatnya penanganan Coroa makin susah dan korban berjatuhan,” imbuhnya.

Dia meminta agar pemerintah mengevaluasi cara kerjanya dalam penanganan COVID-19. Harus ada sinkronisasi menyeluruh atas semua kebijakan. Jangan sampai ada yang tumpang tindih dan menyulitkan pemerintahan daerah.

“Sederhanakan alur birokrasinya. Cari cara jitu alur pemutusan mata rantai COVID-19. Misalnya saat ini ada pool test algoritma yang dikembangkan oleh anak-anak muda kita. Kemudian Sesuaikan standar dengan keadaan kekinian. Atau saat ini ada BLT dari kemendes PDTT. Seharusnya kementerian terima data up to date dari RT/RW. Jangan pakai data sendiri dari atas dan jangan terkungkung dengan kriteria kemiskinan yang dipakai dalam keadaan normal,” paparnya.

Menurutnya, semua orang terdampak COVID-19. Sehingga banyak orang-orang turun kelas. Misalnya kelas pekerja terdampak PHK. Awalnya middle class lalu terjun bebas menjadi lower class. Jadi pembagian harus adil semua harus dapat.

Ia juga menyoroti beleid yang selalu berbenturan dengan prinsip otonomi daerah yang membuat pemerintah daerah terkungkung dengan instruksi tidak jelas dari pemerintah pusat. Padahal dengan diberi kewenangan dan kebebasan bertindak, maka pemda bisa segera mengatasi COVID-19.

“Sebenarnya penanganan pandemi ini tidak terlalu sulit. Asalkan arahan dan jalur koordinasinya bagus. Jangan sampai membuat bingung pemerintahan di daerah dengan beleid. Karena dampak paling besar dalam pemberlakuan PSBB yang kontroversial ini adalah warga di daerah yang di gawangi Pemda sampai jajaran turunannya di tingkat Desa dan RT/RW sebagai Garda Terdepan. Karena Segala wanprestasi Presiden dari pencitraanya pasti mereka yang menanggung,” tuturnya.

Sementara itu, gelombang PHK diprediksi makin tinggi. Anggota DPR RI Netty Prasetiyani meminta agar proses pembayaran klaim jaminan sosial pekerja segera ditunaikan. “Jangan sampai para pekerja ter-PHK, lalu tidak ada perlindungan atas jaminan sosialnya. Seperti sudah jatuh tertimpa tangga,” ujar Netty.

Berdasarkan data Kemenaker per 20 April 2020, terdapat 2.084.593 pekerja dirumahkan dan kena PHK akibat terimbas pandemi COVID -19. Di sektor formal, 1.304.777 pekerja dirumahkan, yang terkena PHK mencapai 241.431 orang. Sedangkan di sektor informal, ada 538.385 pekerja terdampak. Total PHK sekitar 779.816 org dan dirumahkan 1.304.777 orang.


Berita Terkait



add images