iklan Ilustrasi
Ilustrasi

Oleh: Anita Maria Supriyanti

PANDEMI corona atau yang kerap di sebut covid-19 merupakan wabah virus yang mendunia, dan hampir seluruh negara dibelahan dunia terjangkit oleh wabah yang mengerikan ini. Peningkatan kasusnya juga terus terjadi. Hal yang paling mengerikan lagi adalah virus ini dapat menginkubasi inangnya tanpa gejala. Sedang vaksin atau obat penangkal virus ini belum ditemukan dan masih dalam proses pengembangan. Berdasarkan data dari gugus tugas penangan covid-19 hingga rabu,  29/04/2020, di Indonesia sendiri telah  terpantau sudah 9771 orang yang positif covid-19, sembuh sebanyak 1391 dan yang meninggal mencapai 784 orang jiwa.

Dampak dari pandemi ini tentunya tidak hanya mengganggu aspek kesehatan saja, namun juga menyentuh aspek kehidupan lainnya seperti sosial budaya, politik dan lain sebagainya,terutama pada aspek perekonomian. 

Dari jumlah data orang yang terinfeksi covid-19 ini, telah mendorong pemerintah untuk mengeluarkan berbagai kebijakan yang tentunya berkaitan dalam pencegahan penyebaran wabah virus ini. Berbagai kebijakan dikeluarkan sebagai upaya penanganan penyebaran wabah tersebut seperti fiskal distancing, alokasi anggaran hingga pemberlakuan PSBB.

Sebenarnya Indonesia sendiri  tidak siap dengan permasalahan yang seperti itu, dimana pandemi ini melumpuhkan segala sektor kehidupan yang tentunya memberi dampak pada kesejahteraan masyarakat, terutama mereka yang memiliki status pekerja atau buruh harian.  karena memang permasalahan ini untuk pertama kalinya dirasakan indonesia sejak menjadi sebuah negara yang baru merdeka 74 tahun.

Apalagi sebagian besar kondisi masyarakat masih dibawah garis kemiskinan dengan data catatan BPS mencapai angka 24,79 juta jiwa.

Relokasi dan pengalokasian anggara negara dalam menangani covid-19 merupakan salah satu langkah yang diambil pemerintah dengan harapan dapat menekan jumlah penyebaraan wabah virus tersebut. Tidak sedikit anggaran yang dikeluarkan yaitu dengan menambah anggaran APBN 2020 yang mencapai  angka 405,1 triliun rupiah.

Dengan rincian anggaran Rp 75 triliun untuk bidang kesehatan, Rp 110 triliun untuk Social Safety Nevt, Rp 70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus KUR. Serta Rp 150 triliun dialokasikan untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional.

Bahkan anggaran daerah ataupun dana desa yang seharusnya digunakan untuk pembangunan desa  juga dialokasikan untuk penanganan covid-19 ini.  Dengan membangun desa tanggap covid-19 yang merupakan bentuk program dari pengalokasian dana desa itu sendiri.

Kemenkeu menyampaikan Realisasi Belanja Pemerintah Pusat sampai dengan Maret 2020 tumbuh sebesar 6,58%  dari tahun sebelumnya. ”Dan anggaran tersebut diprioritas untuk kesehatan, bansos, dan pemulihan ekonomi diperkirakan belanja modal akan mengalami perlambatan”, jelas Menkeu.

Realisasi Belanja Negara tersebut meliputi  Belanja Pemerintah Pusat dan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD),  Dengan kinerja realisasi belanja modal sebesar Rp11,95 triliun dan bantuan sosial sebesar Rp47,17 triliun, Transfer ke Daerah (TKD) sebesar Rp167,30 triliun  dan Dana Desa Rp7,20 triliun.

Dengan besarnya anggaran yang dikeluarkan dalam merealisasikan  penanganan dampak wabah virus covid-19 dan panjangnya alur administrasi dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah,  tentunya membuka celah kepada pemangku wewenang untuk melakukan penyelewengan dan membuka ruang atau peluang terjadinya tindak pidana korupsi.

Dan yang lebih fatalnya lagi dikhawatirkan menjadikan pandemi corona ini sebagai ajang cuci tangan ataupun peralihan pengeluaran anggran. Dengan dalih anggaran yang dikeluarkan digunakan untuk keperluan penanganan corona. Upaya cuci tangan dan pemotongan anggaran  ini atau lebih mengarah pada tindakan pencucian uang dalam penyaluran bantuan untuk mengimplementasikan keputusan atau kebijakan dari pemerintah memiliki potensi yang sangat rentan untuk terjadinya penyelewengan anggaran , mengingat anggaran yang dikeluarkan tidak sedikit.

Dalam web health 13/03/2020 lalu, Natalie Rhodes dari Transparency International  mengingatkan kerawanan korupsi dapat terjadi  dalam penanganan wabah yang melibatkan anggaran besar ini. 

Ia menulis mengenai  besarnya potensi korupsi dalam menangani covid-19 ini dengan judul “Corruption and the Coronavirus: How to prevent the abuse of power during a global health pandemic”  ia juga memaparkan, “Dalam keadaan normal, rata-rata korupsi kesehatan di dunia sekitar US$ 500 miliar per tahun”. Dan apalagi dalam keadaan darurat seperti ini potensi tersebut jauh lebih besar lagi karena begitu mudahnya pemberian alokasi dan realisasi anggaran dengan LPJ yang yang disusun dengan sedemikian rupa namun tak berdasarkan fatka yang ada.

Transperency International menjelaskan” Korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka”.

Pencucian uang dan korupsi, dalam ilmu kriminologis merupakan  bagian dari prisma kejahatan.  Prisma kejahatan menurut  Lanier dan Henry (1998) yang dimaksud disini adalah kejahatan yang dilakukan oleh pihak yang abstrak, seperti organisasi, korporasi, pemerintah serta pihak-pihak yang tidak teridentifikasi secara langsung. Penempatan kejahatan pada tingkat-tingkat tertentu, dilihat dari hubungan antara bentuk kerugian, respon hukum, korban dan reaksi sosial masyarakatnya.

Semakin banyak faktor yang diperhitungkan, dan ketika nilainya semakin kuat mempengaruhi, maka satu perilaku tersebut masuk pada bagian yang paling mengerucut atau meningkat, dan dianggap serius. Sementara itu, ketika satu perilaku tidak menghasilkan satu dampak yang signifikan pada beragam faktor tadi, perilaku tersebut akan menempati tingkatan yang lebih bawah.

Seperti misalnya korupsi serta pencucian uang, yang tidak memberikan dampak langsung, tetapi sangat signifikan merugikan bagi orang banyak. Walaupun pada posisi kerugian cenderung tinggi, namun pencucian uang ada pada posisi terbawah pada prisma kejahatan.

Dengan kata lain, jenis kejahatan ini seringkali tidak dilihat sebagai suatu yang memerlukan urgensi untuk diselesaikan. Selain itu, bagian bawah prisma kejahatan juga disebut sebagai bentuk dari invisible crime dimana kejahatan yang terjadi relatif tidak terlihat dan dilakukan oleh orang dengan kekuasaan.

Dengan demikian, diharapkan kepada seluruh pihak, baik pemerintah maupun seluruh lapisan masyarakat untuk turut serta dalam mengawal proses pelaksanaan kebijakan sebagai upaya pengawasan agar tidak terjadinya penyelewengan penggunaan anggaran, mengingat begitu besarnya anggaran yang dikeluarkan untuk menyelesaikan pandemi ini.

Semakin besar dan semakin mudah pemerintah memberikan  anggara maka semakin besar juga potensi penyelewengan tersebut terjadi. Dan diharapkan kepada pemerintah, baik pusat maupun lokal hingga lembaga-lembaga pemerintah di unit terkecil dapat memberi transparansi kepada masyarakat mengenai alur dan penyaluran anggaran tersebut sebagai upaya dari masyarakat untuk membantu pemerintah dalam mengawal penyaluran bantuan dari kebijakan yang dikeluarkan.

Ini juga untuk menghindari pandangan atau pemikiran buruk masyarakat terhadap pemerintah  agar mengembalikan citra baik dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sehingga terbangunnya civil society yang dapat berkontribusi terhadap pembangunan bangsa dan negara dalam mencapai kesejahteraan bersama.

*Anita Maria Supriyanti (Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Unja)

 

 

 


Berita Terkait



add images