iklan Agung Iranda
Agung Iranda

Oleh: Agung Iranda

Hampir dua bulan lamanya Indonesia mengalami bencana non alam pandemi global novel corona virus disease atau COVID-19. Virus dengan skala penyebaran sangat cepat ini telah memorakporandakan berbagai sektor kehidupan. Ritme kehidupan menjadi tidak stabil, persoalan vital seperti kesehatan dan ekonomi terkena dampak yang sangat besar.

Secara medis, virus ini awalnya ditandai dengan gejala demam, kelelahan, betuk kering, gangguan otot, pada gilirannya mengalami kesulitan bernafas dan barangkali akan meninggal. Karena COVID 19 ini merupakan agen kausatif yang dapat menular secara lebih besar dan belum tersedianya vaksin yang teruji, bukan mustahil ancaman kematian tersebut dapat terjadi secara masif di Indonesia maupun mancanegara.

Sedangkan dampaknya secara ekonomi akan lumpuh, banyak orang kehilangan pekerjaan, amblasnya sektor perdagangan, ancaman kemiskinan serta kelaparan bagi kelompok kelas menengah ke bawah.  Jika kita tidak berhati-hati, maka kondisi ekonomi Indonesia menurut komite stabilitas sektor keuangan dapat terpuruk ke angka 2,3 atau bahkan minus 0,4 persen.

Kondisi dunia yang terpuruk semacam ini menyebabkan masalah serius bagi psikologis umat manusia. Steven Taylor  menyebutkan dalam bukunya “The psychology of pandemic”, bahwa salah satu penyebab menyebarnya COVID 19 karena ketidakpatuhan masyarakat terhadap aturan yang dibuat oleh pihak yang berwewenang.

Adapun dampak psikologis yang dapat timbul dari pandemik ini yaitu  stres, cemas, dan berbagai gangguan psikologis lainnya.  Damir Huremovic juga menyebutkan dalam buku “Psychiatry of pandemic” bahwa dampak COVID 19 yang dialami manusia juga berupa kepanikan baik secara individu maupun kelompok, kepanikan ini juga dapat menular ke individu dan kelompok lainnya.

Di kalangan psikologi, baik secara praktis maupun teoritis yang dilakukan oleh para psikolog dan ilmuwan psikologi, terutama terkait assesment, riset, dan tindakan langsung berupa konsultasi dampak COVID 19.

Bila kita melihat laporan asosiasi Psikologi di berbagai negara di dunia, seperti yang dilakukan oleh Canadian psychological association, stres yang timbul akibat COVID 19 menyebabkan seseorang khawatir dengan kondisi dirinya, terjadi perubahan pola makan dan gangguan tidur, sulit konsentrasi, hingga ancaman kesehatan yang dapat timbul akibat kondisi stres tersebut.

Dalam penelitian yang dilakukan di India, masyarakat di negeri ini mengalami kecemasan, keinginan untuk terus menggunakan sarung tangan, sulit tidur, paranoia, dan tekanan psikologis  ketika mengakses informasi lewat media sosial.

Apa yang terjadi pada kedua negara di atas, juga menjadi keprihatinan kita di Indonesia. Terutama terkait risiko psikologis yang timbul akibat COVID 19. Adanya risiko psikologis tersebut menurut para peneliti dan psikolog Indonesia karena hadirnya ancaman COVID 19 di ruang publik kita. Selain itu juga karena kondisi ketidakpastian yang kita alami saat ini. Oleh karena itu perlu upaya serius untuk mencari solusi terhadap masalah psikologis yang kita alami secara bersama ini.

Resiliensi Sebagai Solusi

Dalam terminologi psikologi, resiliensi dimaknai sebagai daya tahan psikologis secara berkelanjutan dalam menghadapi kesulitan, kemampuan untuk bangkit dalam kondisi terpuruk, serta kesanggupan untuk menstabilkan pikiran, perasaan, dan perilaku dalam situasi ancaman. Seperti bencana, konflik, dan termasuk pandemi COVID-19.   

Upaya menghadapi ancaman psikologis (cemas, stres, paranoia, kebingungan, marah, dan sebagainya) akibat COVID-19, resiliensi memang menjadi solusi yang jitu. Hal ini disebabkan karena kemampuan resiliensi menjadikan individu mampu mengatasi stres, bereaksi terhadap peristiwa corona meskipun dengan cara yang berbeda-beda, termasuk juga perlunya dukungan keluarga, komunitas masyarakat, dan pemerintah.

Dalam kondisi sulit seperti sekarang ini, resiliensi ditunjukkan lewat kayakinan diri individu (efikasi diri) dalam menangani berbagai masalah yang timbul akibat corona, dibutuhkan upaya untuk regulasi emosi dan pengendalikan impuls berupa rasa kesal, marah, dan sebagainya. Selain itu individu yang resilien juga harus punya inisiatif untuk mengendalikan situasi, tidak terjebak oleh perasaan tidak berdaya dan perilaku pasif.

Pada konteks masyarakat Indonesia, ada hal yang menarik terkait resiliensi, dari berbagai riset-riset terkait bencana alam dan non alam di Indonesia baik yang dilakukan ketika COVID-19 maupun bencana lain sebelumnya, bahwa resiliensi masyarakat Indonesia sangat erat hubungannya dengan tindakan prososial, rasa kebersamaan dan kekeluargaan, dan termasuk dukungan sosial dari lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi kemasyarakatan, dan lembaga-lembaga sosial lainnya.

Kata kunci bagi dukungan sosial tersebut yaitu kolaborasi dan tindakan kooperatif, masing-masing komunitas masyarakat punya tanggung jawab untuk menolong sesama. Seperti berbagai sembako dan masker, menyumbangkan alat pelindung diri (APD) untuk tenaga medis, dan aksi-aksi pengurangan resiko tertular virus corona lainnya, serta sikap saling mengingatkan akan bahaya jika masyarakat tidak patuh terhadap peraturan yang dibuat oleh pemerintah.

Solusi yang penulis tawarkan di atas, akhirnya kembali kepada individu masing-masing. Ibarat sebuah perlombaan, kita sedang berlomba dengan waktu, kalau abai kita akan digilas. Sekecil apapun ikhtiar yang kita lakukan adalah sebaik-baiknya tindakan kita saat ini untuk terus bangkit dan resilien dalam menghadapi masa-masa suram ini.

*Agung Iranda (Dosen Psikologi Universitas Jambi)

 

 

 

 


Berita Terkait