iklan Amri Ikhsan.
Amri Ikhsan. (Ist)

Oleh: Amri Ikhsan

Selamat Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2020 yang bertemakan “belajar dari Covid-19, Mudah mudahan pendidikan Indonesia bisa mengambil hikmah terbaik dari pandemi covid-19. Ditemukan begitu banyak ‘pelajaran’ yang bisa dipetik dari pandemi ini demi kemajuan pendidikan kita.

Ada beberapa isu menarik dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional Tahun 2020. Menurut Medikbud, untuk pertama kali, guru guru melakukan pembelajaran secara daring (online) menggunakan tools atau perangkat baru, dan menyadari bahwa sebenarnya pembelajaran bisa terjadi dimana saja.

Untuk pertama kali pula, orang tua beralih profesi sebagai guru bagi anaknya dirumah dan mungkin akan merasakan betapa sulitnya menjadi guru. Betapa sulitnya tantangan yang dihadapi guru dalam mendidik anak bangsa.

Guru, siswa, orang tua, masyarakat dan pemerintah menyadari bahwa pendidikan itu bukan hanya bisa dilakukan di sekolah atau madrasah saja tapi bisa dilakukan dimana saja kapan saja. Yang terpenting adalah pendidikan yang efektif membutuhkan kolaborasi yang efektif dari 3 stakeholder utama pendidikan: guru siswa dan orang tua dan didukung oleh pemerintah dan masyarakat.

Dilain pihak, ditengah pandemi Covid-19 dan para guru sedang melaksanakan pembelajaran daring, muncul pendapat pengamat pendidikan “yang tidak main main’, mengatakan bahwa 2,9 juta guru PNS dan honorer tak berkualitas, bikin siswa stres. Terbukti dengan banyaknya siswa yang tidak siap belajar daring.

Kondisi ini harusnya tidak terjadi bila gurunya berkualitas. Kualitas guru dilihat dari inovasi dan bagaimana cara dia siap mengajari siswa di segala situasi. Baik kondisi normal maupun abnormal. (JE)

Kita jadikan ‘pendapat pengamat’ ini sebagai masukan kepada guru, pemerintah untuk memanfaatkan momentun pandemi covid-19 untuk memberdayakan guru dan segala potensi yang ada untuk peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.

Selama pandemi, kita harus berani menyimpulkan bahwa mengajar boleh dimana saja tidak mesti ditempat kerja konvensional. Diyakini, yang paling penting kualitas kerjanya bukan dimana tempat bekerja. Bekerja atau belajar dari rumah harus dimaknai sebagai variasi dalam melaksanakan tugas dan fungsi. Bekerja atau belajar daring dengan menggunakan media sosial atau aplikasi lain harus diartikan sebagai penyegaran dalam bekerja.

Harus diakui, Covid-19 rasanya juga membuka tabir bagi dunia pendidikan kita bahwa 1) masih ada guru yang belum menguasai informasi teknologi, guru masih mengajar seperti ‘biasa’; 2) percaya tidak percaya, ada guru yang tugasnya ‘tukang’ memberi tugas sebanyak banyaknya kepada siswa tanpa ada bimbingan yang memadai dari guru; 3) masih ada guru mengajar seperti memakai ‘kaca mata kuda’, mengajar terus tanpa lihat ‘kiri kanan’, tidak peduli apakah siswa memiliki kecakapan hidup, berkarakter atau tidak

Oleh karena itu, pendidikan idealnya berfokus pada kepuasan siswa, bercirikan: 1) kemampuan siswa melebihi apa yang direncanakan; 2) kesesuaian antara keinginan dan kenyataan; 3) siswa siap berkompetisi dimana saja kapan saja; 4) guru dan siswa selalu belajar; 5) selalu bekerja maksimal; 6) siswa senang, guru bahagia, pimpinan bangga; 7) tidak pernah mengecewakan siapapun (Koswara)

Proses pendidikan harus bernuansa pembelajaran kekinian. Prosesnya berisi 4 C: communication (dengan berbagai sumber belajar), collaboration (bekerja sama dengan semua stakeholder pendidikan, bukan berkompetisi), critical thinking (tidak menerima apa saja yang diberikan tapi kesemuanya dipikirkan, dipertimbangkan baik buruknya), creativity (selalu mencari yang terbaik, tercepat, termudah dalam mengerjakan suatu pekerjaan).

Ada hal lain, meski kontribusinya luar biasa bagi kemajuan pendidikan, guru masih juga merelakan diri menjadi kambing hitam bagi setiap problematik pendidikan. Ketika prestasi belajar siswa menurun atau akhlaq siswa yang dinilai tidak sesuai harapan, gurulah orang terdepan yang salahkan. Guru tidak protes, ini resiko profesi.

Dibanding dengan profesi lain, diyakini, ‘hanya’ guru’ yang berurusan dengan perkara hukum karena “niat baik’. Ada siswa yang ‘tidak mau’ sholat, sekali lagi, siswa tidak mau shalat, dipukul gurunya, pukulan spritual’ guru ini membawa dia ke ranah hukum. Ada guru yang mencubit siswa karena tidak mau belajar, sekali lagi, siswa itu tidak mau belajar, guru itu dilaporkan ke polisi, dan banyak lagi kasus kasus yang lain.

Oleh karena itu, dipastikan, sistim pendidikan Indonesia memprioritaskan pembangunan manusia (guru) sebagai ujung tombak pendidikan. Sudah banyak yang dilakukan pemerintah. Perlu ada pemberdayaan, harus ada yang dibenahi.

Pertama, memperbanyak workshop, seminar, diklat yang berisi ceramah tentang kurikulum, perencanaan pembelajaran, dll. Yang dibicarakan cenderung ‘apa itu’: apa itu kurikulum?, apa itu RPP? Apa itu mengajar?, dll. Padahal yang penting bagi guru ‘bagaimana itu”: Bagaimana mengajar? Bagaimana menilai, dll yang sesuai dengan konteks sekolah.

Kedua, persempit ‘area’ tugas guru. Dalam peraturan apapun yang dikeluarkan pemerintah dicantumkan tugas guru itu adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. (UU RI Nomor 14 Tahun 2005). Tapi yang “dihargai” adalah jam tatap muka (mengajar) 24 jam per minggu.

Ketiga, mengurangi penghargaan pada guru, dan apresiasi kinerja guru dengan materi. Jam wajib kerja guru 24 jam tatap muka per minggu dan dibayar TFG. Ini disinyalir upaya dalam mengeliminisir kinerja guru berdasarkan kuantitas jam kerja bukan kualitas hasil kerja.

Jangan heran bila banyak oknum guru yang ‘pontang panting’ mencari jam tambahan di sekolah lain hanya untuk mencukupi jam kerjanya sehingga berhak mendapatkan TFG. Akibatnya, energinya terkuras ‘di jalan’ sehingga PP dikedua sekolah itu tidak maksimal.

Kempat, menggunakan finger print. Finger print menjadi makhluk baru yang menakutkan bagi ASN termasuk guru. Kehidupan guru sangat tergantung dari benda mati ini. Uang lauk pauk dan tunjangan sertifikasi sangat tergantung pada catatan makhluk ini.

Jangan heran bila benda ini terkadang lebih “dihormati”. Bagi guru tidak tentu ‘panas hujan yang paling penting dalam hidup adalah menyentuh atau memandang benda mati ini. Efeknya, mengajar adalah urusan nomor dua.

Semoga Hari Pendidikan Nasional tahun ini dan pandemi covid-19 menginpirasi stakeholder pendidikan menentukan arah pendidikan kita ke yang lebih baik dan berkualitas, aamiin!

*) Penulis adalah Pendidik di Madrasah


Berita Terkait



add images