Oleh: Amri Ikhsan
Pandemi Covid-19 adalah realitas kehidupan yang telah menyungkirbalikkan tatanan kehidupan umat manusia. Makhluk kecil ini menyerang siapa saja, tanpa memandang gelar, jabatan, pekerjaan, jenis kelamin, umur, negara, agama, suku, dll. Ia menjadi musuh bersama yang harus dilawan dengan cara, salah satunya, memutus mata rantai penyebarannya.
Harus diakui, perkembangan virus corona sudah sangat mengkhawatirkan karena telah menyebar ke 34 provinsi di Indonesia. Orang yang terkonfirmasi positif, PDP, ODP, tingkat kematian akibat virus corona terus bertambah. Tidak dipungkiri orang yang sembuh, alhamdulillah, juga meningkat setiap hati.
Pemerintah telah berupaya keras untuk mengurangi penyebaran virus ini melalui berbagai kebijakan, termasuk menghimbau masyarakat untuk tetap tinggal di rumah, bekerja, belajar dan beribadah dari rumah, social dan physical distancing, melarang mudik dan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dibeberapa daerah.
Kebijakan tersebut berdampak pada perilaku masyarakat untuk beradaptasi dengan berbagai kebijakan dan pembatasan tersebut. Akibantya, wabah covid-19 benar-benar telah mengganggu secara lahir dan bathin masyarakat. Selain kekhawatiran akan anggota keluarga yang tertular covid-19, masyarakat juga sangat khawatir dengan persoalan ekonomi terutama terkait harga bahan makanan dan lapangan pekerjaan.
Bagi kita, kalau terpaksa keluar rumah harus menjalankan social distancing dan physical distancing, tidak boleh ‘mendekati’ kerumunan dan harus menjaga jarak dan jangan lupa pakai masker. Ditambah lagi dengan informasi ‘resmi’ dari pemerintah yang setiap hari seorang ‘Achmad Yurianto, memaparkan perkembangan penunggulangan virus ini dan update data terakhir jumlah yang positif, sembuh, yang meninggal, jumlah PDP, ODP, dan informasi lain.
Bolehlah dikatakan, pada masa pandemi ini sedang terjadi revolusi, perubahan yang terjadi secara cepat, pada aktivitas sosial masyarakat. Pandemi covid-19 melahirkan kebiasaan-kebiasaan baru.
Agama, bagi umat Islam menyakini bahwa tempat yang paling makbul untuk beribadah adalah di masjid. Shalat berjamaah di masjid nilainya 27 derajat dari shalat sendiri. Masjid sebagai pusat ibadah harus 'mengalah' oleh kejadian pandemi ini. Kebiasaan ini ‘terpaksa’ dilakukan dirumah, tanpa mengurangi substansi dari ibadah itu.
Melaksanakan shalat Jumat bagi umat Islam yang berjenis kelamin laki-laki, baligh, berakal, sehat, muqim (bukan dalam perjalanan) hukumnya fardhu ‘ain. Ketika ada uzur seperti sakit, hujan lebat, ataupun pandemi maka kewajiban shalat Jumat gugur. Terkait merebaknya Covid-19, diharamkan bagi yang terpapar Covid-19 menghadiri shalat Jumat (termasuk shalat jamaah). (Buku Saku Fiqih Pandemi)
Begitu pula, semarak dan gempita Ramadhan tahun ini agak berbeda. Pandemi Covid-19 “memaksa” ibadah Ramadhan dilaksanakan dirumah. Salat wajib, Tarawih, tadarus al Quran, dan beragam kegiatan lain yang biasanya dilakukan di masjid atau musala kini harus dilakukan dirumah.