Oleh : Dahlan Iskan
Ia meninggal bukan karena Covid. Tapi jenazahnya tidak bisa diambil dari rumah sakit --kalau tidak dimasukkan peti mati.Namanya: Panji Dwi Anggara. Meninggal di usia 34 tahun. Dua hari lalu.
Seharusnya saya ikut ke pemakaman. Saya harus ingat saat saya lagi sulit, 2017, Panji menulis tentang saya. Di media online miliknya. Judulnya membuat mata terbelalak: Saya, Pak Dahlan dan Ramalan Kematian. Bacalah sendiri di link ini.
Panji memang wartawan yang pintar menulis. Karirnya di Jawa Pos termasuk baik. Tapi hanya empat tahun ia kerasan di media itu. Begitu dipindahkan ke Jakarta ia hanya empat bulan di ibu kota.
Ia pilih berhenti. Agar bisa pulang ke Surabaya. Ia menikah, lalu menjadi pimpinan redaksi di sebuah tabloid. Keluar lagi, ia menjadi kontributor media online. Lalu keluar lagi untuk mendirikan media: beerita.id.
Ia masuk Jawa Pos ketika saya lagi menjadi sesuatu di Jakarta. Sesekali saya masih pulang ke Surabaya. Dan mampir Jawa Pos --sekedar ingin kangen-kangenan dengan para redaktur.
Kian banyak yang saya tidak kenal lagi. Generasi baru terus bermunculan. Saya sering harus diperkenalkan dengan mereka --para wartawan baru itu.
Dari jauh saya lihat ini: ada wartawan yang gemuk sekali. Saya tanya ke redaktur di situ --setengah berbisik: siapa namanya.
"Panji...!" panggil saya.
Si Gendut mendekat. Lalu terjadilah apa yang ia tulis di link tadi.
Saya sangat tidak rela melihat orang gemuk. Apalagi kalau prestasinya bagus.
Demikian juga sewaktu saya jadi Dirut PLN dulu. Saya menemukan dua GM (General Manager) hebat --tapi gendut. Di depan rapat para GM se Indonesia saya puji prestasi keduanya. Tapi juga saya semprot kegendutannya.
Menjadi gendut itu hak asasi. Tapi kewajiban saya untuk mengurangi risiko beban di perusahaan. Lalu dua orang itu saya tantang: kalau dalam tiga bulan bisa turun 30 kg, akan saya beri hadiah masing-masing Rp 50 juta. Dari uang pribadi.
"Melihat prestasi Anda, saya yakin Anda akan bisa mencapai level direksi," kata saya. "Tapi kalau badan terus naik begitu jantung Anda tidak kuat untuk jadi direksi," tambah saya.
Empat bulan kemudian saya 'kecopetan' Rp 50 juta.
Delapan tahun kemudian saya membaca berita: salah satu dari mereka itu diangkat menjadi Direktur PLN --lalu menjadi Pjs Dirut PLN.
Orangnya tidak ambisius. Waktu ditawari untuk diangkat jadi Dirut definitif ia tidak mau.
Itulah Djoko Abunaman, pensiun dari direksi belum lama ini.
Sejak saya memanggilnya ke meja bundar itu saya tidak pernah bertemu Panji lagi. Sampai meninggalnya itu.
Beberapa jam setelah Panji meninggal saya telepon ke nomor ponselnya. Yang menerima suara seorang perempuan. Saya pikir dia istrinya. Saya perkenalkan nama saya. Saat itu juga suara itu hilang. Yang terdengat tinggal isak tangis yang panjang.
"Saya... ibu...nya...Pan.. ji.. Pak," ujarnyi sangat tersendat.
Saya tunggu sampai isak tangisnya berkurang. Tidak juga reda.
Justru kemudian terdengar raungan.
Sang ibu memang terus menemani Panji di hari-hari terakhirnya. Bahkan sejak awal bulan puasa lalu.
Sang ibu terus membantu Panji. Yang selama bulan puasa sangat aktif menyalurkan bantuan Covid-19. Terutama bahan makanan dari grup Nestle dan kemudian dari grup ABC.
"Rasanya Panji kelelahan," ujar sang ibu.
Senin lalu Panji mengeluh sulit bernafas. Sebenarnya ia ingin masuk rumah sakit. Tapi masuk rumah sakit di zaman Covid-19 serasa masuk ke sarang musuh.
Sang ibu membawa Panji ke klinik di dekat rumah. Ikut juga istri Panji --yang dinikahinya enam tahun lalu. Ikut juga Adit, adik bungsu Panji yang wajah maupun gendutnya mirim pinang dibelah.
Panji memang belum dikaruniai anak. Mereka biasanya selalu berempat itu di rumah ibunya itu. Rumahnya yang dibeli belum lama ini tidak ditempati.