iklan Amri Ikhsan.
Amri Ikhsan. (Ist)

Kita dipastikan tidak nyaman apabila berdesakan ditempat umum, seperti di bis, berbelanja di pasar, antri dikantor pemerintah misalnya di kantor pos. Sering terlihat masyarakat antri di Kantor BPJS, dll. Sementara, menjaga jarak semestinya juga telah dilakukan untuk menjaga kenyamanan. Tidak adanya kewajiban menjaga jarak di transportasi umum menjadi contoh betapa tidak nyamannya transportasi publik.

Keempat, belajar daring, Pendidikan jarak jauh memiliki beberapa karakteristik dasar, yaitu: Pengajar dan peserta didik tidak berada dalam satu ruang yang sama saat proses belajar-mengajar berlangsung. Penyampaian materi ajar dan proses pembelajaran dilakukan dengan memanfaatkan media komunikasi dan informasi. Menekankan pada cara belajar mandiri namun ada lembaga yang mengaturnya. Keterbatasan pada pertemuan tatap muka.

Ternyata, Kemdikbud menyatakan bahwa pengembangan belajar daring sebenarnya bukan hal baru bagi Indonesia. Sejarah belajar daring sudah dimulai sekitar tahun 1980 di Tanah Air. (medcom.id)

Begitu juga dalam hal jumlah peserta didik dalam sebuah kelas tak jarang guru mengajar satu kelas 40-45 siswa. Proses pembelajaran tidak mengindahkan tujuan kualitas, hanya kuantitas. Jika di era kenormalan baru, jumlah siswa di dalam kelas dikurangi minimal 50%, itu sesuatu yang ideal. Covid-19 mengidealkan rasio jumlah siswa.

Kelima, dekat dengan keluarga. Tentu kita harus mencontoh cara Nabi dalam berkeluarga. "Khairukum, khairukum li-ahlihi wa ana khairukum li-ahlikum”: "Yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik terhadap keluarga. Dan aku adalah yang terbaik kepada keluarga,".

Hadis ini merupakan ilustrasi bagaimana dekatnya beliau terhadap dengan keluarga. Penuh dengan cinta kasih, akhlak terpuji, hingga kebijaksanaan yang menaungi keluarga.

Begitu juga dengan pendidikan anak, tidak bisa dipungkiri guru terbaik bagi anak anak adalah orang tuanya. Cara mendidik dalam keluarga akan berpengaruh pada karakter anak, begitu ajaran orang tua dulu. Jadi dekat dengan keluarga bukan hal baru dilakukan.

Keenam, Social distancing, Memang manusia itu makhluk sosial. Apalagi dizaman teknologi, zaman mengunakan ‘aplikasi pertemanan’. Kuantitas teman yang ditandai dengan ‘jumlah like, comment dan subscribe’ menjadi salah satu tujuan pertemanan. Banyak orang ‘terjebak’ dalam pertemanan ‘palsu’ khususnya di media sosial. Akhir akhir ini, banyak nitizen melakukan hal hal ‘aneh’ agar mendapat ‘like and subscribe’ dari nitizen lain

Dari dulu orang orang tua dan ajaran agama untuk melakukan ‘social distancing’ dengan menguji teman baru dengan: uji akalnya, uji budi pekertinya, lihat perbuatannya, lihat akidahnya dan perhatikan cintanya pada dunia. (Al-Gazali)


Memang harus ada edukasi yang intensif dilakukan kepada masyarakat, agar masyarakat yakin dan percaya dengan protokol kesehatan tersebut. Kepercayaan dan keyakinan seseorang akan berpengaruh pada apa yanga akan diperbuat. Ketika seseorang percaya dan yakin dengan menerapkan protokol kesehatan berpengaruh positif bagi kesehatan dirinya, keluarga, kerabat, dan masyarakat di sekitarnya, ia akan ‘suka cita’ menjalankan aturan tersebut dengan tertib.
Sebaliknya, ketika seseorang percaya dan yakin dia tidak akan terpapar virus itu, atau dia yakin tanpa menjalankan protokol kesehatan virus akan mati dengan sendirinya. Orang-orang tidak akan secara disiplin menjalankan protokol kesehatan.

Masyarakat sekitar juga berperan dalam menyakin seseorang menerapakan protokol ini. Jika masyarakat di sekitarnya mendukung, bahkan memfasilitasi seseorang menjalankan protokol kesehatan, dia akan senang hati menjalankan norms ‘baru’ ini. Teman sekitar bisa memperkuat atau memperlemah niatnya menerapkan protokol ini. (diolah dari berbagai sumber)

Tugas kita selanjutnya adalah menyesuaikan diri dengan sesuatu yang pernah kita lakukan sebelumnya, tidak berat memang!

*) Penulis adalah Pendidik di Madrasah


Berita Terkait



add images