iklan

Oleh: Mochammad Farisi, LL.M (Dosen Fakultas Hukum UNJA & Ketua KOPIPEDE Prov. Jambi )

Pasal 1 ayat 2 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Konsekuensi dari sebuah Negara yang menganut system demokrasi adalah adanya proses pergantian pemerintah daerah lima tahun sekali atau biasa disebut pilkada (Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945).

Provinsi Jambi dan 4 kabupaten: Bungo, Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, dan Batang Hari, serta 1 Kota Sungai Penuh baru saja melalui tahapan pilkada 2020 yang panjang, penuh liku dan drama pandemi covid-19. Bagi daerah yang masih ada sengketa PHPU, Mahkamah Konstitusi menjadi pintu terakhir bagi para kontestan mencari keadilan. Para pihak, paslon dan penyelenggara diberikan kesempatan yang adil untuk bertarung beradu argument, bukti dan saksi.

Hasil Pilkada tahun 2020 ini sangat beragam, ada petahana yang menang, namun banyak juga keluarga petahana (politik dinasti) yang tumbang, bahkan saling klaim kemenangan akibat tipisnya perolehan suara juga terjadi. Namun secara umum proses pilkada bisa dikatakan aman dan lancar, meskipun di beberapa daerah sempat terjadi penghadangan dan saling hujat di media social.

Ekses positif dari pilkada adalah terpilihnya kepala daerah yang konstitusional yang akan berkuasa lima tahun kedepan. Namun pilkada juga bisa melahirkan ekses negative berupa konflik antar pasangan calon dan tim sukses yang berimbas sampai ke akar rumput atau kelompok-kelompok social masyarakat. Tidak bisa kita pungkiri pada pilkada lalu kita disuguhi berbagai propaganda black and negative campaign, saling hujat di medsos, menyebar kebencian terhadap individu, agama, SARA dan gender, bahkan terjadi gesekan pendukung di akar rumput.

Untuk itu rekonsiliasi dengan mengendepankan kepentingan daerah Jambi harus segera dilakukan, rekonsiliasi politik akan terlaksana jika kedua pihak (yang menang dan kalah) sadar dan memiliki kesamaan pandangan, jiwa kenegarawanan serta komitmen kebangsaan (Maulidina dkk (2013). Menurut kamus KBBI, Rekonsiliasi mempunyai makna perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula atau perbuatan menyelesaikan perbedaan. Rekonsiliasi juga di maknai menyatukan masyarakat yang terbelah untuk mewujudkan restorasi keadilan (Kohen, 2009).

Menurut lederach (1999:29) rekonsiliasi membutuhkan orang-orang yang memilki jiwa besar, sifat welas asih, keadilan, serta cinta damai, mereka bertemu dalam suasana kebersamaan. Sedangkan Filsuf Karl Jasper (1996) mengungkapkan rekonsiliasi sejati bermakna kebenaran, bukan sikap kepura-puraan didepan public, namun dibelakang masih sakit hati dan tidak ikhlas.

Segala bentuk konfrontasi seperti saling menjelekkan, menghina, memfitnah harus segera dihentikan. Pendidikan politik yang santun harus dikedepannya supaya menjadi presenden baik bagi generasi Jambi mendatang.

Perlu diingat bahwa sejatinya setiap anak negeri Jambi ini adalah saudara, yang memiliki nilai-nilai luhur/kearifan local. Terkait proses pilkada yang bermartabat dijelaskan dalam seloko adat melayu Ccerdik idak membuang kawan, gemuk idak membuang lemak, tukang idak membuang kayu, gedang idak melando, panjang akal idak melilit, artinya menjadi orang yang arif dan bijaksana, tidak boleh saling sikut.

Meskipun beda pandangan politik namun harus tetap rukun seperti seloko adat Alim Sekitab Cerdik Secendikio, Batino Semalu Jantan Sasopan artinya kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat. Juga seloko Negeri aman padi menjadi, aek bening ikannyo jinak, rumput mudo kerbonyo gemuk, idak ado silang yang dapat dipatut, idak ado kusut yang dak dapat diselesaikan, idak do keruh nang dak dapat dijernihkan.

Dalam situasi pasca pilkada secara moral pihak yang menang harus mengambil inisiatif untuk melakukan rekonsiliasi. Upaya ini harus dilakukan sendiri secara langsung ataupun melalui orang yang dipercaya dan juga dihormati oleh pihak yang kalah, komunikasi harus dilakukan pada semua pihak yang dalam pilkada kemarin saling berhadapan. Rakyat pasti senang manakala para pemimpinnya tetap rukun dan saling menyapa.

Pihak yang kalah juga harus cepat menyesuaikan suasana hati, bila belum puas, jalur hukum di Mahkamah Konstitusi harus menjadi satu-satunya solusi. Tawaran rekonsiliasi dengan mengedepankan kepentingan rakyat harus disambut dan segera ditindaklanjuti. Para elit politik harus menunjukkan kedewasaan berpolitik dan memberikan teladan, kondisi social masyarakat Jambi yang masih menganut patron klien, rekonsiliasi yang terjadi antar elit akan cepat menular sampai ke akar rumput.

Bila suasana pasca pilkada belum juga dingin maka Forkompinda seperti pihak Polda/Polres bisa mengambil inisiatif untuk melakukan rekonsiliasi bagi para paslon, perlu dibuat forum silaturahmi antar tokoh politik, tokoh masyarakat masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat di Jambi untuk merajut kembali persatuan, persaudaraan dan komitmen membangun Jambi yang lebih baik 5 tahun mendatang.

Seloko adat Jambi memberikan pelajaran bahwa “Pemimpin itu hendaknya ibarat sebatang pohon, batangnyo besak tempat bersandar, daunyo rimbun tempat berlindung ketiko hujan, tempat beteduh ketiko panas, akarnyo besak tempat besilo, pegi tempat bertanya, balik tempat babarito.

Sebagai penjaga ketertiban masyarakat, dengan segala sumberdaya yang dimiliki Polda melalui pola Pemolisian Presisi mempunyai peran sentral menginisiasi rekonsiliasi dengan melakukan roadshow menemui para kepala daerah, elit politik, tokoh masyarakat, pemuda, agama dan adat untuk berterima kasih, karena sudah bersama-sama menjaga kondusifitas daerah serta terus mengajak untuk menjaga kebersamaa persatuan dan kesatuan di daerah.

Akhirnya kita semua berharap para tokoh dan seluruh masyarakat negeri ini segera matang berdemokrasi. Bagi yang kalah pilkda secara legowo dan ksatria mengakui kekalahan, kemudian mengucapkan selamat kepada yang menang, dan sebaliknya yang menang segera berfikir rekonsiliasi menyatukan elemen untuk membangun Jambi ini 5 tahun kedepan. Raja alim raja disembah, raja lalim raja disanggah, artinya pempimpin Jambi yang mampu mengayomi masyarakat dengan baik akan diikuti dan dihormati, sebaliknya pemimpin yang dzolim akan dimusuhi oleh rakyatnya sendiri.(*)


Berita Terkait



add images