iklan
Paizin mengatakan, motivasi dalam menulis karya ini berasal dari kerinduannya akan kehadiran figur seoarang ayah dalam kehidupannya. Ia berharap, ayahnya bisa menemani tumbuh berkembangnya ia dalam berkarya di bidang menulis. Namun sayangnya, ia tidak mendapatkan itu.
‘‘Bapak meninggal pada tahun 2011 silam. Sangat membekas. Itu yang mendorong saya untuk membuat tulisan ini. Saya berpesan, para pembaca mungkin boleh kehilangan orang yang dicintai, asal jangan kehilangan diri sendiri,’‘ katanya pada Minggu (13/3).

Paizin mengaku, ia membuat karya Mengaku Bapak ini untuk diikutkan lomba pada aplikasi Kwikku yang notabenenta adalah anak perusahaan dari Falcon Pictures. Dua kali mengalami kegagalan saat ikut lomba tersebut, lalu suatu hari pihak Falcon Pictures secara pribadi menawarkan kontrak film.
‘‘Jujur, sebenarnya saya saat itu mau menyerah saat kegagalan kedua. Tapi, justru saya mendapat penawaran kontrak film tersebut,’‘ ujarnya.

Paizin lalu bercerita tentang awal mula ia menulis. Pertama kali menulis sejak tahun 2011 silam. Namun dari sejak itu setiap kali mengirimkan naskah ke penerbit selalu mendapat penolakan terus menerus.

‘‘Kalau menulis, sudah lama. Tapi, kalau terbit fisiknya belum. Tiba-tiba saja melompat seperti itu. Mengaku Bapak, ditulis tahun 2018. Selama setahun, sempat stop lalu lanjut lagi,’‘ sebutnya.

Semasa duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, Paizin membatasi diri dari kehidupan sosial. Karena kehilangan sosok bapak yang masih dirasakannya. Pembullyan pun pernah dialami. ‘‘Keterasingan seperti dalam cerita, saya juga merasakan itu dari awal SMA hingga kuliah. Bahkan saya sempat gak pakai HP. Tapi, pinjam HP ibu hanya untuk menanyakan tugas. Saya meminimalisir pertemuan dengan orang-orang,’‘ jelasnya.

Saat kuliah semester 2, ia mulai bangkit lagi. Pemuda berkaca mata itu mulai membuka ruang lebih untuk kehidupan sosialnya. Dirinya pun bergaul dengan seniornya yang tergabung di Teater Kuju dan Teater AiR, lalu kerap berkumpul di Taman Budaya Jambi.
Namun, dirinya sempat kembali dirundung kesedihan. Sosok kakek pergi meninggalkannya. Padahal bagi Paizin, sosok kakeknya sangat penting, dan mengingatkan pada mendiang ayahnya. Perasaan kehilangan ini, membuat dia tidak bisa mengikuti lomba Pekan Seni Mahasiswa Daerah (Peksimida) secara maksimal.
‘‘Waktu mengikuti lomba itu, tiba-tiba kakek saya meninggal. Saya mau pulang, tapi disuruh melanjutkan lomba itu, karena sudah tidak terkejar juga menyusul prosesi pemakaman di Bungo. Menang di Peksimida,’‘ sampainya.

Ketika melanjutkan lomba Pekan Seni Mahasiswa Nasional (Peksinimas), Paizin juga mengikutinya setengah hati. Dia membuat karya tulis sesuai dengan apa yang dirasakan. Tidak mengikuti tema perlombaan yang sudah ditentukan.
‘‘Waktu itu tema lombanya Akulturasi Budaya menggunakan bahasa daerah masing-masing. Tapi, karena kepalang galau, tema yang saya angkat Kematian, sesuai yang ingin tulis. Tentu kalah,’‘ tuturnya.

Namun, kesedihan itu tidak berlangsung lama. Pemuda yang gemar membaca buku bertema filsafat dan psikologi ini, berpikir bagaimana membuat karya tulis mengenang sosok ayahnya. Sehingga terlahir novel berjudul Mengaku Bapak.‘‘Poin terpenting dalam kisah ini menunjukkan kasih sayang dari seorang ayah. Dan penyesalan yang tidak bisa dibayar di dunia, di akhirat pun dibayar,’‘ ujarnya.


Berita Terkait



add images