iklan

JAMBIUPDATE.CO, JAKARTA - Jika harga bbm jenis Pertalite naik dari Rp7.650 per liter menjadi Rp10 ribu per liter, maka inflasi bisa dipastikan tembus 6 persen- 6,5 persen secara tahunan.

"Dikhawatirkan menjadi inflasi yang tertinggi sejak September 2015," kata Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, Kamis 18 Agustus 2022.

Menurut Bhima, kenaikan harga Pertalite pasti akan berdampak langsung pada daya beli masyarakat, bahkan bisa meningkatkan jumlah orang miskin baru.

"Ekonomi 40 persen kelompok rumah tangga terbawah dikhawatirkan akan semakin berat. Ditambah lagi, 64 juta UMKM bergantung pada BBM subsidi," ujarnya.

Bhima mengingatkan pemerintah jika ingin menaikan harga Pertalaite harus memikirkan efek ke UMKM.

"Karena BBM subsidi bukan hanya untuk kendaraan pribadi, tapi dipakai untuk kendaraan operasional UMKM," ucapnya.

Untuk itu, Bhima menyarankan pemerintah sebaiknya menunda proyek infrastruktur dan mengalokasikan dana untuk menambah subsidi energi. 

"Lalu, mengalihkan sebagian dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) untuk subsidi energi," imbuhnya.

Selain itu, lanjut Bhima, pemerintah perlu melakukan penghematan belanja pegawai, belanja barang dan jasa, termasuk transfer ke daerah. 

"Pemerintah dibekali dengan UU darurat keuangan, di mana pergeseran anggaran bisa dilakukan tanpa persetujuan DPR," terangnya.

Masyarakat Diminta Siap Jika BBM Naik

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia meminta masyarakat bersiap-siap jika nanti pemerintah memutuskan harga bahan bakar minyak (BBM) harus naik.

Pasalnya, menurut dia, jika harga BBM tidak naik, maka dampaknya adalah kondisi fiskal negara yang tidak sehat karena seperempat pendapatan negara harus digunakan untuk subsidi BBM

"Tolong teman-teman wartawan sampaikan kepada rakyat, bahwa rasa-rasanya sih untuk menahan terus dengan harga BBM seperti sekarang, feeling saya sih harus kita siap-siap kalau katakanlah kenaikan BBM itu terjadi," katanya dalam konferensi pers, Jumat 12 Agustus 2022.

Bahlil menjelaskan, kondisi ekonomi global yang tidak menentu seperti saat ini menyebabkan harga minyak dunia terus meroket. 

Padahal, kata Bahlil, asumsi harga minyak di dalam APBN hanya di kisaran 63-70 dolar AS per barel.

"Hari ini kalau (harga minyak) 100 dolar AS per barel, subsidi kita itu bisa mencapai Rp500 triliun. Tapi kalau harga minyak per barel di atas 100 dolar AS, misal 105 dolar AS, dengan asumsi kurs dolar itu Rp14.500 sampai rata-rata saat ini Rp14.750, dan kuota kita dari 23 juta kilo liter menjadi 29 juta KL, maka harus terjadi penambahan subsidi," jelasnya. 

Dengan semua angka-angka itu, Bahlil mengatakan setidaknya harus ada Rp500 triliun hingga Rp600 triliun alokasi subsidi dari APBN untuk subsidi BBM.

"Rp500-Rp600 triliun itu sama dengan 25 persen total pendapatan APBN kita dipakai untuk subsidi. Ini menurut saya agak tidak sehat," katanya.

Oleh karena itu, menurut Bahlil, perlu ada pengertian masyarakat atas kondisi yang ada saat ini. 

"Hal itu bisa jadi momentum bersama untuk bergotong royong untuk menjaga kondisi fiskal negara agar tetap sehat," pungkasnya.(*)


Sumber: Disway.id

Berita Terkait



add images