Selain itu, kebanyakan kasus korupsi, khususnya yang ditangani KPK, tidak hanya bersumber dari satu pelapor.
Kondisi itu menyulitkan lembaga penegak hukum untuk menentukan siapa pelapor yang memenuhi syarat mendapatkan reward dari negara.
Menyambung Ali, Praswad mengakui ketentuan reward itu memang tidak masuk akal untuk dipenuhi. Sebab, premi maksimal Rp200 juta itu baru bisa diberikan jika kerugian negara dari kasus yang dilaporkan mencapai Rp100 miliar.
”Karena ada ketentuan 2 persen kerugian negara yang dapat dikembalikan ke negara, itu artinya kasusnya (yang dilaporkan, Red) harus proyek kakap," terangnya.
Pengalaman Praswad selama menjadi penyidik, kasus dengan kerugian negara besar itu nyaris tidak ada yang bersumber dari laporan masyarakat. Aduan di KPK kebanyakan adalah kasus suap yang kemudian ditindaklanjuti dengan operasi tangkap tangan (OTT).
Praswad meyakini munculnya fenomena no viral no justice itu merupakan kegagalan negara dalam mengelola manajemen laporan masyarakat. Hal itu diperparah dengan kanal pelaporan yang kurang optimal.
”Jangankan masyarakat biasa, laporan dari penegak hukum juga kadang-kadang tidak ditindaklanjuti sebelum viral,” tutur pria yang akrab disapa Abung tersebut.
Pegiat hak asasi manusia (HAM) Haris Azhar menambahkan penegakan hukum yang masih tebang pilih dan kurang terbuka membuat kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum mengalami krisis. Hal itu mendorong terjadinya mobilisasi rakyat di ruang digital untuk menghakimi seseorang yang diduga melakukan pelanggaran.