“Pada pertemuan kedua, pihak perusahaan menyampaikan beberapa informasi, bahwa pada kurun waktu 2019, 2020, dan 2021, perusahaan tidak beroperasi, sementara di dalam tagihan meliputi tahun-tahun dimana perusahaan tidak beroperasi,” ujarnya.
Selain itu, perusahaan juga sempat mempermasalahkan permintaan kompensasi dari 2013, karena PT RPSL diakuaisisi oleh managemen yang sekarang, di tahun 2018. Awalnya perusahaan menolak untuk memberi kompensasi yang dihitung sejak 2013 (sebelum masa akuisisi managemen baru), namun dalam perundingan, akhirnya perusahaan mau mempertimbangkan kerugian yang dialami Keluarga Nenek Hafsah sejak awal (2013). Dengan catatan disertai bukti tagihan.
“Jadi setiap tagihan yang diajukan itu, harus disertai bukti. Setelah bukti cukup, baru ganti rugi akan dilaporkan kepada Direksi,” kata Fahmi.
Fahmi melanjutkan, pada pertemuan ke tiga, ternyata keluarga Nenek Hafsah tidak bisa menyampaikan bukti-bukti tersebut. Selama menunggu bukti itu, PT RPSL juga menawarkan solusi lain kepada keluarga Nenek Hafsah. Diantaranya perusahaan siap merenovasi rumah Nenek Hafsah dalam kondisi saat ini.
“Artinya bagian mana yang mau direnovasi, disepakati, lalu dibangun, kemudian selesai. Solusi kedua,” ujarnya.
Fahmi mengatakan, total kerugian yang diajukan oleh Keluarga Nenek Hafsah ke PT RPSL senilai Rp 1,4 miliar. Itu meliputi kerugian materi dan Imateri sejak 2013-2023.
“Kami (Pemkot Jambi) di sini hanya sebagai mediator. Kami tidak mau berkomentar pada nominal yang diajukan, silahkan pihak perusahaan merasionalisasi dan mengkaji angka itu,” pungkasnya. (hfz)
