iklan
Sisi, seorang pensiunan panglima tentara Mesir, berkuasa pada 2013 setelah memimpin penggulingan presiden Islam terpilih Mohamed Morsi menyusul protes massal.

Dalam pemilu 2014 dan 2018, ia menang telak dengan perolehan lebih dari 96 persen suara, menurut hasil resmi.

Sisi kemudian memperpanjang masa jabatan presiden dari empat tahun menjadi enam tahun dan mengamandemen konstitusi untuk menaikkan batas masa jabatan berturut-turut dari dua tahun menjadi tiga tahun.

Mengingat konteks tersebut, jumlah pemilih kemungkinan menjadi indikator utama sentimen publik. Pada pemilu lalu, angka tersebut turun enam poin menjadi 41,5 persen.

Sisi bukannya tanpa pendukung, banyak di antara mereka yang memujinya karena merancang kembalinya ketenangan di negara tersebut setelah kekacauan yang terjadi setelah pemberontakan 2011 yang menggulingkan Hosni Mubarak.

Sejak awal masa jabatan pertamanya, presiden berjanji akan memulihkan stabilitas, termasuk perekonomian.

Sejak 2016 dan seterusnya, ia telah melakukan sejumlah reformasi ekonomi yang mengakibatkan devaluasi mata uang dan pengurangan jumlah pegawai negeri.

Reformasi tersebut, ditambah dengan proyek-proyek berbiaya tinggi termasuk ibu kota baru bernilai miliaran dolar, telah menyebabkan melonjaknya harga-harga, memicu ketidakpuasan publik dan melemahkan dukungan Sisi baik di dalam maupun luar negeri.

Di bawah pengawasan ekonomi Sisi, utang negara meningkat tiga kali lipat sementara berbagai mega proyek – yang seringkali dipimpin oleh militer – gagal memenuhi manfaat yang dijanjikan.

Namun demikian, Yezid Sayigh, peneliti senior di Carnegie Middle East Center, menyatakan Sisi tidak akan mengambil tindakan untuk mengakhiri cengkeraman militer atas perekonomian, "karena hal itu dapat membuatnya kehilangan kursi kepresidenan". (*)


Sumber: tempo.co

Berita Terkait



add images