iklan Terlihat kawanan pengemis duduk di salah satu persimpangan Kota Jambi. Mereka semakin ramai mendekati lebaran.
Terlihat kawanan pengemis duduk di salah satu persimpangan Kota Jambi. Mereka semakin ramai mendekati lebaran.

 

JAMBIUPDATE.CO, JAMBI- Di penghujung bulan suci Ramadan 1445 H, gelandangan, pengemis dan anak jalanan makin ramai di sudut Kota Jambi.

Mereka mengharap belas kasihan para pengguna jalan di perempatan lampu merah yang ada di Kota Jambi. Semakin mendekati hari raya Idul Fitri, para gepeng dan anjal tampak kian ramai.  Salah satunya di kawasan lampu merah Simpang Rimbo, Kota Jambi. Di sana sejak pagi hingga malam telihat ramai gepeng dan anjal.

Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kota Jambi, Zayadi mengatakan, kondisi ini memang sulit untuk dihindari, karena memang kebiasaan sedekah masyarakat yang  mengundang para gelandangan dan pengemis.

"Hal itu tentunya mengundang dan menjadi daya tarik sehingga makin ramainya mereka yang meminta-minta," kata Zayadi.

Ia mengaku, daerah tertentu memang sangat banyak, seperti di kecamatan Pasar, Sipin serta kawasan Kambang.

"Ini fenomena rutin yang kita lihat setiap tahun," imbuh Zayadi.

Namun, bagaimana ini bisa ditertibkan supaya tidak menganggu aktivitas masyarakat lain.

Jika ada indikasi oknum yang memobilisasi pergerakan gelandangan pengemis ini untuk mencari keuntungan, maka OPD terkait Pemkot Jambi harus bertindak tegas.

"Saya pikir kalau ada indikasi oknum dan orang sengaja datang dari luar kota untuk mengemis, ini harus ditindak tegas. Jangan mereka memanfaatkan kondisi Ramadan di Kota Jambi. Kita mendukung OPD terkait melakukan tindakan tegas terhadap oknum tersebut," katanya.

Sementara itu, Kepala Dinas Sosial Kota Jambi Yunita Indrawati mengatakan, ada 10 kawasan atau persimpangan yang terpantau banyak gelandangan dan pengemis. Lokasi itu dijaga oleh petugas Satpol PP dan Dinas Sosial.

"Tim berjaga di persimpangan, tidak lagi mobile, karena kalau mobile itu jadinya kejar-kejaran yang terjadi, saat kita keluar dari zona akan datang lagi orang seperti itu," katanya.

"Artinya kalau ada petugas, mereka (pengemis) tidak akan mau lagi berjualan apa ibaratnya mengemis atau meminta-minta, itu strategi kita yang pertama, tetapi kalau dalam prosesnya ada perlawanan berarti itu yang kita perlakukan proses," imbuhnya.

Termasuk juga yang ramai di jalan membawa gerobak, karena pada dasarnya pemulung bisa dikatakan sebagai pekerjaan.

"Kalau bekerja berarti dia harus mobile ya, tetapi kalau berdiam di dalam bahu jalan berarti dia bukan pemulung. Kalau seperti itu berarti diangkut saja barangnya, untuk efek jera," jelasnya.

Yunita mengaku, pihaknya melihat hal ini ada fabrikasi terhadap kemiskinan, itu bisa dilihat dari maraknya peristiwa tersebut.

Selain itu juga ada fabrikasi terhadap anak-anak, semakin banyak anak mengemis, maka itu bisa disebut sebagai anak terlantar.

"Masalah ini terus ada, tetapi inilah tugas kita, penjangkauan sampai mereka kembali lagi jangkau lagi mereka kembali jangkau lagi," ujarnya.

Yunita mengaku, dalam kasus manusia gerobak tersebut, ternyata bukanlah warga Jambi, namun merupakan orang dari Sumatera Selatan.

"Gerobak itu kita coba lihat bahwa ternyata bukan orang Jambi, orang dari daerah di Sumatera Selatan.  Kalau pengemis sebagian ada yang warga lokal," katanya. (hfz)


Berita Terkait



add images