“Petarungannya ketat dan dinamis sekali. Misalanya para tokoh yang tidak terlibat dengan satu calon, maka dia akan masuk ke calon lain. Karena pertarungannya dinamis, maka orang-orangnya juga akan dinamis,” katanya.
Karena pertarungan yang dinamis itu, kata Jafar, dinamika perubahan dukungan juga bisa jadi lebih cepat antar kandidat. Sehingga sangat penting bagi masing-masing kandidat untuk menjaga dukungan agar tetap konsisten sampai pemungutan suara.
“Tapi siapa yang unggul sebenarnya bisa dilihat dari survei yang benar-benar real menggambarkan kondisi lapangan. Kalua saya sendiri tidak punya survei terbaru, terakhir itu pernah dua tahun lalu, tapi itu sudah tidak relevan dengan kondisi sekarang,” katanya.
Terlepas dari itu, kata Jafar, yang lebih diuntungkan dalam kodisi ini adalah mereka yang punya relasi mengakar dan terbangun sejak lama. Itupun bisa mamfaatkan apabila selama ini para kandidat ini mengelola dengan baik relasi tersebut.
“Dan sebaliknya, itukan menjadi kontra produktif apabila punya relasi tapi tidak dikelola. Ini bisa menjadi jejaring orang lain dan mereka akan lebih mudah beralih,” sebutnya.
Bagaimana dengan pengaruh tokoh dibalik ketiga kandidat yang berlaga. Misalnya ada Sy Fasha di kubu HAR-Guntur dan Hazrin Nurdin di gerbong Maulana-Diza Aljosha.
Jafar Ahmad yang juga jebolan Doktor Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) menyebutkan para tokoh tersebut tentu masih ada terhadap pemenangan para kandidat calon walikota. Namun hal itu juga akan bergantung terhadap sejuah mana mereka mampu mengaktifkan jejaring yang pernah dimiliki.
“Misalnya Fasha mampu atau tidak mengkonsolidasikan mesin politik yang memenangkan dirinya di Pilwako lalu. Begitu juga dengan Azrin Nurdin maupun orang dibalik Budi Setiawan,” jelasnya.
Menurut Jafar yang juga adalah peneliti Idea Institute ini, seorang pemilih itu memiliki banyak pertimbangan dalam menentukan sikap. Setidaknya ada tiga variabel pemilih dalam menentukan sikap yakni karena faktor sosiologis, sikologis dan kepentingan yang terwakili.