iklan Nasuhaidi, S.Pd., S.Sos., M.Si.
Nasuhaidi, S.Pd., S.Sos., M.Si.

JAMBIUPDATE.CO, JAMBI- KATA TUAH dalam keseharian masyarakat Melayu di Indonesia merupakan sebuah istilah yang sudah sangat familiar dan populer. Bisa dikatakan bahwa semua orang Melayu mengenal kata Tuah. Tuah itu secara etimologi lebih bermakna kearah yang positif seperti keberuntungan, sakti, keramat, bahagia dan keistimewaaan dan lain-lain. Di Riau terkenal dengan kisah kesatria, Hang Tuah, Tuah juga merupakan salah satu faktor tentunya dari banyak faktor yang dapat dijadikan opsi rujukan dalam menentukan calon pemimpin dalam kontestasi politik, termasuk Pilkada. 

Untuk itu, penting sekali bagi masyarakat pemilih untuk melihat dan mengetahui tuah calon Pemimpin. Pertanyaannya kemudian, adalah bagaimana cara melihat calon pemimpin yang bertuah?. Orang Melayu memilih seorang pemimpin dengan cara menelisik tuah seseorang. Indikasi pemimpin yang bertuah tersebut tercermin dalam seloko adat Melayu Jambi, di Minang dikenal petatah-petitih adat. Masyarakat Melayu Jambi kaya akan seloko yang berisikan nasihat-nasihat atau nilai moral terkait berbagai sektor kehidupan sosial, budaya dan kemasyarakatan, termasuk nasihat dalam menentukan kepala daerah. 

Adapun tuah menurut tradisi Melayu dapat pandang dari berbagai aspek, antara lain pertama, melihat siasat. Siasat ini mengarah kepada strategi yang digunakan pasangan calon dalam memikat hati dan pikiran pemilih. Tentunya banyak hal yang bisa dilakukan kontestasi politik seperti Pilkada, antara pembentukan kerja politik yang solid, termasuk petugas kampanye, juru kampanye, dan volunteer lainnya. Bisa juga siasat dijalankan dengan menguasai peta politik secara menyeluruh dan komprehensif dan disikapi dengan langkah tepat, bisa jadi dengan menggunakan berbagai anlisis. Survei politik juga dapat dikatakan bagian dari siasat.  

Melakukan survei dan membaca hasil survei juga merupakan startegi politik jitu yang bersifat scientific. Survei yang benar akan mengungkap fakta politik yang akurat di lapangan sebelum menjadi output politik. Dan, tentunya banyak lagi siasat lain yang cocok untuk digunakan untuk meraih kemenangan, termasuk memaksimalkan publikasi media sebagai channel komunikasi politik yang efektif.

Kedua, melihat ke belakangnya. Melihat ke belakangnya lebih tepat mencermati track record atau kinerja calon pemimpin ke depan. Track record merupakan gambaran bagaimana selanjutnya. Ketika baik sebelumnya, cenderung baik untuk berikutnya. Seloko Melayu mengatakan, melihat tuah ke nan menang, mengambil contoh ke nan sudah, meneladani pada nan baik-baik. Dengan demikian, semua keberhasilan yang sudah pernah didapat seseorang perlu diapresiasi, dihargai dan dicontoh. Ketika dia calon pemimpin dan kerjanya yang sudah rating-nya baik, apapun profesinya, maka bisa saja diberi amanah untuk memimpin ke depan.

Ketiga, melihat niatnya. Islam mengajarkan sesuatu tergantung niatnya. Kalimat innamal a’malu binniyat artinya adalah sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung pada niatnya. Kalimat ini berasala dari penggalan Hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. 

Niat berarti nawaitu, dimaknai dengan rencana ke depan. Niat calon pemimpin Jambi akan terlihat dari visi, misi dan omongan para kandidat kepala daerah. Niat yang baik akan dijelmakan dalam visi, misi yang telah disusun dan menjadi materi kampanye. Penjabaran program yang baik akan menyentuh kepada kebutuhan real masyarakat. Kemampuan dari visi-misi dan program yang disusun untuk menjadi solusi atas persoalan yang dihadapi saat ini (current issue) adalah poin tersendiri.  

Ketiga, melihat kepribadiannya. Seorang pemimpin dituntut dan wajib berkepribadian terpuji, dan berakhlak mulia (alim). Kepribadian sangatlah menentukan tipe seorang pemimpin dan nilai kepemimpinannya. Orang Melayu yakin pemimpin yang berkepribadian mulia, tentulah akan mampu membawa rakyatnya kepada kesejahteraan dan kemakmuran. Sebaliknya, pemimpin yang rusak akhlaknya (zalim) tentulah akan merusak masyarakat dan negerinya. Dalam ungkapan adat Melayu dikatakan, tuah kain pada tenunnya, tuah pemimpin pada satunnya, tuah kayu elok buahnya, tuah Melayu elok maruahnya. Dari kepribadian ini pula orang Melayu yang identik dengan nilai ke-islaman mengelompokkan pemimpin menjadi dua macam, yakni baik dan buruk.

Keempat, melihat cerdik dan pandainya. Seorang pemimpin harus cerdik (cerdas) sehingga mampu menuntunnya dalam menyelesaikan permasalahan. Kecerdasannya itu pula yang menjadikannya mampu melahirkan kebijaksanaan. Biasanya kebijakan yang bernas akan lahir dari pemipin yang cerdas. Salah satu ungkapan Melayu mengatakan cerdik mengurung dengan lidah, cerdik mengikat dengan adat, cerdik menyimak dengan syarak. Ungkapan ini merujuk kepada pemimpin itu harus pandai bertutur kata, memahami adat dan taat kepada syarak (aturan agama Islam). Berilmu dan mengamalkan ilmunya untuk kebaikan.

Selain cerdik, pemimpin hendaklah memiliki kepandaian yang sangat dibutuhkan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Orang tua mengatakan, “pemimpin pandai, yang kusut akan selesai”, atau dikatakan orang yang pandai, pantang memandai-mandai (berpura-pura pandai)”. Menurut ungkapan Melayu, kepandaian yang dikehendaki melekat pada seorang pemimpin, antara lain: pandai memilih tempat jatuh, pandai menyambung patah arang, pandai menyimpan dengan lidah, pandai menyimpan tidak berbau, pandai mengunci dengan budi, dan lain sebagainya. 

Kelima, arif dan bijaksana. Arif dan bijaksana bermakna ampu bertindak sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat, baik norma hukum, norma agama, norma adat, baik kebiasaan-kebiasaan maupun kesusilaan dengan memperhatikan situasi dan kondisi tertentu, serta mampu memperhitungkan akibat dari tindaknnya. Pemimpin yang arif dan bijaksana adalah pemimpin yang tidak memikirkan kepentingan pribadi atau kelompoknya akan tetapi memikirkan kepentingan orang banyak, kemaslahatan ummat. Pemimpin semacam ini tidak hanya terpaku pada kekuasaan dan pengaruhnya, tetapi juga mampu memahami dan menghargai pandangan dan kebutuhan bawahannya. Pemimpin arif dan bijaksana juga mampu mengambil keputusan yang tepat dan benar dalam situasi yang sulit. Kehadiran seorang pemimpin yang arif dan bijaksana di tengah masyarakat Melayu Jambi bagaikan suatu anugerah yang ditunggu oleh rakyatnya. Pemimpin yang arif-bijaksana itulah yang mengantarkan rakyatnya pada kehidupan yang makmur dan sejahtera. 

Itulah sebagian diantara tuah-tuah yang perlu menjadi pertimbangan untuk memberikan pilihan politik secara bijak pada Pilkada yang puncaknya pada pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara pada tanggal 27 November 2024. Penulis meyakini bahwa pola kearifan lokal dalam memberikan petuah kriteria pemimpin yang baik masih sangat relevan dengan situasi terkini. Menempatkan pola kearifal lokal sebagai dasar berpijak dalam menentukan pilihan politik tidaklah keliru. Justru termasuk langkah baik, arif dan bijaksana demi kemaslahatan bersama, kemajuan negeri dan kepentingan orang banyak. 

Kehadiran sosok pemimpin yang berniat dan berencana baik, berkepribadian baik, cerdik-pandai dan arif bijaksana akan menjadikan negeri Jambi negeri makmur, rakyat senang dan dengan alam sekitarpun menjadi harmonis. Kondisi demikianlah yang mampu menjadikan masyarakat dan warga dan segenap penduduk Jambi tersenyum, bahagia, dan bersatu padu membangun negeri. Dalam ungkapan seloko Melayu Jambi disebutkan, “negeri aman padi menjadi, ayik (air) bening ikannya jinak, rumput hijau kerbau pun gemuk, ramai negeri dek nan mudo (pemuda), elok negeri dek nan tuo. Ada juga seloko yang menyatakan, rumpin mengupih, ke ayek tiik keno, ke darat durian gugu. Kurang-lebih begitulah gambaran sebuah negeri yang makmur, sejahtera, aman dan tenteram yang menjadi idaman masyarakat. notes ini untuk menjadi bahan renungan.

Penulis adalah Dosen Politik pada JISIP, Fakultas Hukum, Universitas Jambi. (*)


Berita Terkait



add images