iklan Pendangan Melayu Soal Pemimpin
Pendangan Melayu Soal Pemimpin

Oleh: Nasuhaidi, S.Pd., S.Sos., M.Si

PEMIMPIN itu adalah orang, kata benda, dalam bahasa Inggris disebut leader, yakni orang yang memimpin atau pemimpin. Secara etimologi, pemimpin adalah orang yang dapat atau mampu mempengaruhi dan membujuk pihak lain agar dapat melakukan suatu tindakan untuk pencapaian tujuan bersama. Dengan demikian, pemimpin menjadi titik awal sebagai penggerak secara struktural dan terpusat proses mencapai tujuan suatu kelompok atau komunitas.

Orang Melayu mengenal sebutan pemimpin yang bervariasi dan dinamis, mulai dari raja Kerajaan Melayu Jambi, yakni Rajo pertama adalah Budha Brahmana Sakti (abad ke-4) dan terakhir raja Panembahan (1590-1615).

Kemudian, pada tahun 1615, Jambi dengan pengaruh Islam kerajaan berubah menjadi kesultanan. Sejarah mencatat, Sultan Jambi pertama bernama Pangeran Kedak bergelar Sultan Abdul Khahar dengan gelar (sampai 1643) dan raja Jambi terakhir, Jambi dipimpin oleh Sultan Thaha Syaifuddin (1855-1906).

Sultan Thaha merupakan Sultan Jambi yang terakhir dan termasyhur, sehingga nama beliau diabadikan sebagai nama jalan, nama bandar udara, nama universitas dan nama rumah sakit umum.

Kemudian, pemimpin di kalangan adat atau pemangku adat dari zaman dahulu sampai saat ini, tetap eksis seperti depati (Kerinci), ninik mamak, tuo teganai dan teganai (teganai rumah). Ada lagi dalam sistem pemerintahan adat, dikenal pasirah, mendapo dan Kepala kampung, dan Rio sebagai kepala desa dengan sebutan lain.

Berdasarkan otonomi daerah, maka konsep pemimpin sesuai tingkatan dalam struktur sosial lokal adalah gubernur, bupati, walikota dan kepala desa, termasuk satu-satunya pemerintahan adat, “Dusun” dengan sebutan Rio sebagai kepala Dusun di Bungo.

Mengenal Pemimpin Berjenjang

Melayu Jambi mengenal struktur pemimpin di semua lini yang berjenjang, baik lingkungan keluarga maupun lingkungan kemasyarakatan, termasuk pemimpin formal saat ini. Pemimpin di lingkungan keluarga mencakup yang namanya bapak, suami, mamak dan teganai. Seloko adat mengatakan, “anak sekato bapak, bini sekato laki (suami), ponaan sekato mamak (paman) dan rumah sekato teganai”. Artinya, anak dipimpin oleh bapak, isteri dipimpin oleh suami, ponakan dipimpin oleh paman, dan rumah dipimpin oleh teganai”.

Pemimpin di lingkungan masyarakat yang mengurus skop wilayah yang melebihi lingkup sebuah keluarga, yakni luak sekato penghulu, kampung sekato tuo, negeri sekato batin, rantau sekato jenang. Artinya, “luak dipimpin oleh penghulu, kampung dipimpin oleh yang tua (kepala kampung), negeri dipimpin oleh batin (pasirah, mendapo dan rio), rantau dipimpin oleh jenang”.

Sebelum adanya sistem pemerintahan adat (Marga, Kemendapoan dan Kampung), sistem pemerintahan dikendalikan oleh pemangku adat, dan dikoordinasikan dengan pegawai syarak (iman, khotib dan bilal) dan cerdik pandai. Sistem inilah yang dikenal istilah Tali Tigo Sepilin (Jambi) dan Tiga Tungku Sejarangan (Sumbar). Secara bersama-sama, ketiga komponen negeri inilah yang melaksanakan kewajiban membina anak negeri mengurus cupak dengan gantang. Kebersamaan mereka, ibarat seloko adat Jambi mengatakan, “sederap langkah ketika mendaki, seayun-selimbai ketika menurun, ke mudik serentak satang, ke hilir serengkuh dayung”. Tanggungjawab kolektif dalam membina umat, membimbing anak-kemenakan, menjaga dan memelihara adat dan syara’ yang menjadi kebiasaan dan tradisi hidup dan kehidupan sehari-hari demi kemaslahatan umat.

Sedikit berbeda dengan Tali Tigo Sepilin, sistem pemerintahan adat di Kerinci (sebelum kemendapoan) yang dikenal dengan istilah “Kaum Emapt Jenis”. Di ranah Minang dikenal dengan istilah “Kaum Ampek Jinih”. Kaum Empat Jenis yang dimkasudkan terdiri dari depati, ninik mamak (pemangku adat), orang tua-cerdik pandai, alim ulama dan hulubalang. Ibaratnya, jika dibagi tugas diantara mereka, depati ninik mamak sebagai kepala pemerintahan (eksekutif), orang tua-cerdik pandai (legislatif), alim ulama (pegawai syarak sebagai menteri agama dan hulubalang ditempatkan sebagai pertahanan dan keamanan (Zakaria, 1984). Dengan demikian, dalam Kaum Empat Jenis, hulubalang (pemuda) merupakan bagian dalam pemerintahan adat, dalam pengambilan keputusan dan pengamanan hasil kemufakatan adat.

Kriteria Pemimpin Melayu

Kriteria seorang pemimpin bagi orang Melayu akan kita temui dalam seloko adat Melayu Jambi. Ungkapan-ungkapan atau tradisi Melayu tersebut banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai religius (Islam). Hal ini membutikan bahwa kehidupan Melayu identik dengan nilai ke-Islaman. Orang Melayu mempunyai anggapan bahwa pemimpin peranan penting dalam memberi arah-ajun nasib kaum, daerah, bangsa dan negaranya. Oleh sebab itu, orang Melayu sangat berhati-hati, dan cermat dalam memilih pemimpin dalam ajang pesta demokrasi baik dalam konteks Pemilu maupun dalam Pemilihan Kepala Daerah.

Seorang pemimpin dalam tradisi Melayu Jambi dianggap orang yang lebih dituakan dan dihormati. Ketika seseorang sudah berada pada posisi sebagai pemimpin (leader) dulu dikenal sebagai pemangku adat, maka ia menjadi figur dihormati, kendatipun dari segi umur masih ada yang lebih tua. Seloko Melayu Jambi mengungkapkan, “berjalan didahulukan selangkah, ditinggikan seranting (pohon), dilebihkan serambut, dimuliakan sekuku”. Seloko di atas juga menggambarkan bahwa pemimpin itu dekat jaraknya dengan rakyatnya, namun demikian pemimpi selalu berada di depan, sedikit didahulukan atau dilebihkan dari rakyat.

Dalam ungkapan yang lain disebutkan bahwa antara pemimpin dan rakyat seolah-olah tidak berjarak, seperti seloko adat Melayu Jambi, “jauhnya tidak berjarak, dekatnya tidak berantara”. Dengan kedekatan itu pula akan terjalin hubungan yang akrab antara pemimpin dan kaumnya. Hubungan yang akrab melahirkan keharmonisan dan keharmonisan itu berujungpada kerukunan. Kerukunan ini menjadi modal utama dalam menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran bersama. Hubungan ini distilahkan, “yang memimpin jadi kepala, yang rakyat menjadi batang tubuhnya”. Dengan keakraban, keharmonisan dan kerukunan inilah segala jenis pembangunan dapat berjalan lancar.

Pemimpin itu harus memiliki bersikap dan bersifat baik dan benar, tidak boleh cawe-cawe. Pemimpin diberikan amanah (kepercayaan), kelebihan dan kemudahan oleh rakyatnya agar mudah dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya. Namun kepercayaan dan kelebihan itu tidak boleh digunakan secara zalim. Untuk itu, seorang pemimpin harus diikat dengan janji dan sumpah sebelum menjabat. Dalam tradisi adat dikenal dengan sumpah setio, atau karang setio yang diucapkan pada upacara adat atau kenduri Sko. Untuk kepala daerah tentunya berupa sumpah jabatan sesuai ketentuan yang telah diatur dalam Peraturan Presiden RI Nomor 167 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pelantikan Gubernur, Bupati dan Walikota.

Seorang pemimpin adalah tokoh yang mampu membawa kepada pencapaian kata mufakat. Tradisi ini sudah dipraktikkan sejak lama dalam pengambilan keputusan sistem pemerintahan adat Marga, Kemendapoan dan Kampung tempo dulu. Seorang pemangku adat (pasirah, mendapo dan kepala kampung) selalu mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan. Musyawarah yang dilakukan bertujuan mencapai kata sepakat, kata seiyo, lebih dikenal dengan istilah musyawarah untuk mufakat. Seloko Melayu mengatakan, “bulat kato dek mufakat, bulat aek dek pembuluh; bulat bulih digulingkan,pipih bulih dilayangkan”. Seloko di atas dapat dimaknai bahwa hasil musyawarah sudah disepakati (bulat) harus menjadi tanggungjawab bersama baik pemangku adat, alim ulama, cerdik-pandai termasuk warganya.

Pemimpin Melayu itu mempunyai kepribadian terpuji, dimaknai sebagai bermoral dan beretika. Dalam bahasa yang lain dikatakan, seorang yang tahu dan paham syarak, adat dan beradab. Pemimpin Melayu dituntut pula untuk memiliki kepribadian terpuji, dalam istilah Melayu lazim disebut sebagai “pakaian diri” atau “pakaian batin”. Seloko adat mengatakan bahwa pakaian pemimpin yang berkepribadian itu, “memakai syarak lahir-batin, imannya tebal–adatnya pun kental, taqwanya nampak-ilmunya pun banyak, berdada lapang-berfikiran panjang, bermuka jernih dan berlidah fasih.”

Salah satu teori yang mengungkap kepribadian seorang adalah Trait Theory. Trait Thery atau teori sifat kepribadian ini meyakini bahwa orang yang dilahirkan atau dilatih dengan kepribadian tertentu, akan menjadikan mereka unggul dalam peran kepemimpinan. Dalam psikologi, teori trait adalah pendekatan untuk mengkaji personaliti manusia. Pendekatan teori ini mengarah pada sifat terutamanya menyangkut corak kebiasaan, tingkah laku, pemikiran, dan emosi. Teori ini mengasumsikan bahwa pemimpin yang efektif memiliki sifat kepribadian tertentu, seperti kecerdasan, karisma, integritas, dan komunikatif. Menurut teori ini, individu yang memiliki sifat-sifat kepribadian yang baik cenderung menjadi pemimpin yang sukses.

Pemimpin dunia itu juga harus ramah dalam melayani masyarakatnya. Dalam seloka adat juga dikatakan, “Bakambang lapaek-bakambang tika, bapiuk gedang-batungku jarang. Artinya, berkembang lapik berkembang tikar, berberiuk besar-bartungku jarang. Tikar dan lapik tadi menjadi ukuran keramahtamahan pada masa dahulu saat menerima tamu. Bila ada tamu berkunjung ke rumah kita maka tikar dan lapik yang masih baru, mungkin sekali dikhususkan untuk menyambut tamu, segera dikembangkan.

Terkadang tamu-tamu yang datang ingin pula bermalam di rumah kita , maka kewajiban tuan rumah pulalah menyediakan makan-minumnya. Dalam hal jumlah tamu tergolong banyak, tentu saja untuk bertanak di perlukan periuk besar karena nasi harus lebih banyak dari yang biasa, istilahnya makan besar. Tungku yang dipakai sudah pula harus jarang karena periuk yang dijerangkan tergolong besar untuk ukuran kenduri. Hal ini mengindikasikan bahwa pemimpin juga harus dari kaum berpunya.

Narasi di atas merupakan refleksi tradisi sebagai indikasi yang menunjukan bagaimana strategisnya kedudukan, fungsi dan tanggungjawab seorang pemimpin dalam alam fikiran Melayu Jambi dan Melayu Nusantara pada umumnya. Pola ini merupakan suatu kearifan lokal yang secara turun-temurun dijunjung tinggi dan dipegang teguh orang Melayu dalam menilai pemimpinnya. Nuansa seperti ini juga akan terbawa ke dalam prosesi pergantian pemimpin daerah (baca Pilkada gubernur, bupati dan walikota) yang puncaknya pada tanggal 27 Nopember 2024. Masa kampanye ini dapat dimanfaatkan untuk menelisik para pasangan calon yang ideal dengan kriteria orang Melayu. Kriteria pemimpin dalam konteks kemelayuan itu dicermati dari power (lahir-batin), amanahnya, kepribadiannya dan ketabahannya melayani serta kedekatannya dengan rakyat. Semoga menjadi pemilih yang cerdas dan bijaksana!

Penulis adalah dosen ilmu politik, JISIP, Fakultas Hukum, Univ Jambi


Berita Terkait