Oleh: Martayadi Tajuddin
Saatnya Menata Ulang Arah Logistik Jambi: Menyongsong Peradaban Ekonomi BaruDalam arus kompetisi ekonomi global yang kian cepat dan terintegrasi, pembangunan infrastruktur logistik bukan lagi sekadar kebutuhan pelengkap. Ia telah menjelma menjadi nadi utama pertumbuhan wilayah — penentu daya saing, pemerataan, dan penopang masa depan ekonomi yang berkeadilan serta berkelanjutan.
Provinsi Jambi, dengan anugerah sumber daya alam melimpah — mulai dari minyak dan gas bumi, batu bara, kelapa sawit, hasil pertanian hingga potensi kelautan dan perikanan — sesungguhnya berdiri di atas fondasi kekuatan ekonomi strategis. Terletak di jalur tengah Sumatera yang berhadapan langsung dengan jalur pelayaran internasional Selat Malaka, Jambi memiliki posisi geografis yang sangat strategis untuk dikembangkan menjadi simpul logistik regional sekaligus koridor distribusi nasional penghubung kawasan barat dan timur Indonesia.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan Jambi belum mampu memaksimalkan potensi strategis tersebut secara optimal. Salah satu akar persoalannya adalah sistem logistik yang masih terfragmentasi, terbatas, dan kurang adaptif terhadap dinamika industri modern. Dua infrastruktur logistik utama saat ini — Bandara Sultan Thaha dan Pelabuhan Talang Duku — menghadapi keterbatasan serius dari aspek teknis, ruang, ekologis, dan sosial. Alih-alih menjadi pengungkit kemajuan, keduanya mulai menjadi bottleneck yang menghambat perjalanan pembangunan wilayah.
Bandara Sultan Thaha, yang terletak di jantung Kota Jambi, kini menjadi “bandara terkunci” — dikepung pemukiman padat, ruang udara terbatas, dan tanpa peluang ekspansi yang berarti. Di sisi lain, Pelabuhan Talang Duku berada dalam tekanan sosial-ekologis yang tinggi karena berada dalam kawasan Cagar Budaya Nasional Candi Muaro Jambi, yang memiliki nilai sejarah dan budaya luar biasa. Aktivitas pelabuhan di lokasi tersebut berisiko mengganggu konservasi cagar budaya dan memicu konflik sosial akibat polusi, kebisingan, serta lalu lintas kendaraan berat yang melewati permukiman penduduk.
Dalam konteks ini, wacana relokasi kedua moda logistik tersebut bukan lagi sekadar opsi, melainkan sebuah keniscayaan strategis. Kita tidak sedang berbicara soal perpindahan fisik semata, melainkan transformasi paradigma — bagaimana membangun sistem logistik Jambi yang modern, terintegrasi, berbasis potensi wilayah, dan siap menyambut tantangan masa depan. Relokasi menjadi pintu gerbang menuju peradaban ekonomi baru — yang lebih efisien, inklusif, dan berkelanjutan.
Waktu terus bergerak. Jika Jambi ingin ambil bagian dalam skenario besar Indonesia Emas 2045, maka saatnya berani menata ulang arah logistiknya — bukan untuk meninggalkan yang lama, tetapi untuk menjemput masa depan yang lebih cerah dan terarah.
Terjebak dalam Ruang dan Waktu: Saatnya Melepaskan Diri dari Jerat Ketidakmungkinan Bandara Sultan Thaha dan Pelabuhan Talang Duku memang simpul logistik vital bagi Jambi, namun keduanya seperti terperangkap dalam kerangkeng ruang dan waktu — tak mampu lagi menyesuaikan diri dengan percepatan zaman dan tuntutan pertumbuhan ekonomi modern.Bandara Sultan Thaha, yang selama ini menjadi pintu gerbang udara Provinsi Jambi, menghadapi tekanan spasial luar biasa. Letaknya yang menempel di pusat kota, dikelilingi permukiman padat, fasilitas umum, dan lalu lintas yang semakin padat, telah menjadikannya infrastruktur yang “terkunci” oleh tata kota lama yang tidak lagi kompatibel dengan tantangan masa depan. Ruang ekspansi fisik nyaris mustahil, sementara kekhawatiran keamanan penerbangan semakin meningkat akibat kedekatannya dengan kawasan padat penduduk dan aktivitas manusia yang padat di sekitarnya.
Di sisi lain, Pelabuhan Talang Duku, meskipun menjadi tulang punggung angkutan sungai dan kontainer utama, kini berhadapan dengan persoalan multidimensi. Lokasinya yang berada dalam kawasan Cagar Budaya Nasional Candi Muaro Jambi — situs peradaban Melayu kuno yang diakui dunia — menyebabkan konflik antara fungsi ekonomi, pengembangan pariwisata, dan pelestarian sejarah. Ditambah lagi, pelabuhan ini beririsan langsung dengan permukiman penduduk, memunculkan berbagai masalah sosial-ekologis seperti kebisingan, polusi udara, limbah, serta lalu lintas kendaraan berat yang menimbulkan ketegangan lingkungan.
Kedua infrastruktur ini kini berdiri dalam posisi stagnan: terlalu berharga untuk ditinggalkan, namun terlalu sempit untuk berkembang. Mereka adalah kerangka usang yang kelelahan menopang beban masa depan yang semakin kompleks. Inilah saatnya melepaskan diri dari jerat ketidakmungkinan dan mulai menyusun lompatan besar menuju sistem logistik yang relevan dengan semangat zaman dan kebutuhan generasi mendatang.
Menjemput Peluang, Bukan Sekadar Pindah Lokasi: Relokasi Sebagai Langkah Strategis Jambi ke Masa Depan Relokasi bukan sekadar memindahkan aset fisik ke titik geografis baru. Ia merupakan langkah strategis multidimensional yang mencerminkan visi pembangunan jangka panjang. Dalam konteks Jambi, wacana relokasi Bandara Sultan Thaha dan Pelabuhan Talang Duku harus dipandang sebagai bagian integral restrukturisasi sistem logistik dan ekonomi daerah — bukan solusi teknis semata atas keterbatasan ruang.
