‘’Berdasarkan analisa Saya, perhitungan tersebut tidak fair, karena merugikan lingkungan. Selama ini, pelaku usaha penambangan hanya berupaya melakukan reboisasi saja dengan penanaman bibit pohon namun sangat sedikit yang melakukan reklamasi dengan penimbunan dan penanaman hijau kembali,’’ jelasnya.
Untuk itu, kata Fasha, ia akan mengusulkan Jamrek berdasarkan volume yang dikeluarkan atau diproduksi oleh perusahaan pertambangan tersebut.
‘’Contohnya, biaya reklamasi sebesar 1 persen dari RKAB (Quota RKAB sebesar 5 juta ton/tahun ), maka dana jamreknya dengan hitung-hitungan yaitu 5 juta ton x 1 persen profit (keuntungan) sebesar 3 US Dollar atau jika dirupiahkan sebesar Rp 50 ribu. Maka dana jamrek yang disetor atau dititipkan oleh perusahaan sebesar Rp 25 Miliar (M), bukan hanya Rp 2-3 M saja,’’ urainya.
Jamrek itu, sebutnya, harus berupa dana cash atau deposito , bukan berupa surat jaminan pelaksanaan atau surety bond.
‘’Jadi, Jamrek yang diserahkan itu berupa dana cash atau deposito, bukan surety bond. Ini perlu digarisbawahi,’’ tegasnya.
Terkait adanya 10 perusahaan batu bara di Jambi yang disanksi kementerian ESDM, Fasha menyebut mereka abai dan tidak punya itikad baik memperbaiki lingkungan pascatambang.
“Perusuhaan-perusahaan batu bara tersebut tidak melaksanakan Jamrek dan tidak punya niat baik untuk memperbaiki lingkungan pasca penambangan,” tegas Fasha.
Walikota Jambi periode 2013-2023 itu memastikan, Komisi XII DPR RI akan terus mengawasi perusahaan-perusahaan lainnya.
“Khusus di Jambi, kita punya 3 wakil di Komisi XII, kami akan terus melakukan pengawasan terutama terkait Jamrek itu, perbaikan pasca tambang terhadap seluruh perusahaan batu bara yang beroperasi di Jambi,” pungkasnya. (pas)
