iklan Cerita Eko Suprayitno, Tempati Rumah Sejak 1967, Tiba-tiba Dinyatakan Masuk Zona Merah Pertamina
Cerita Eko Suprayitno, Tempati Rumah Sejak 1967, Tiba-tiba Dinyatakan Masuk Zona Merah Pertamina

Suprayitno yang bagian dari sejarah hidup lahan kawasan Kenali Asam tersebut kemudian mengungkap sesuatu yang mengejutkan. 

“Pertamina, katanya, melaporkan ke Kementerian Keuangan pakai data lama. Data tahun 1922," katanya. 

Data itu digunakan sebagai dasar aset.

Data itu tidak memiliki batas lahan yang jelas. Data itu berasal dari masa sebelum Indonesia merdeka.

Dan data itu pula yang kini membuat kawasan yang telah menjadi pemukiman selama berpuluh-puluh tahun dicap sebagai “kawasan Pertamina”.

“Itu yang membuat kami bingung. Apakah negara mau melihat kami sebagai warga yang tinggal di tanah sendiri, atau penghuni ilegal," ujar Suprayitno.

Ketidakpastian adalah musuh yang paling membuat warga gelisah. Empat bulan tanpa kejelasan membuat ribuan orang di Kenali Asam memutuskan untuk bergerak.

Mereka membentuk Forum Masyarakat Menolak Zona Merah. Kini membuat legalitas forum tersebut melalui Notaris yang masih berproses. Ribuan massa akan menggelar aksi demonstrasi. Kata Suprayitno mereka juga berencana akan menemui Walikota Jambi, menemui Anggota DPR RI Syarif Fasha terkait persoalan mereka. 

"Betul, ini akan menjadi bom waktu," ungkapnya. 

Ada dua tuntutan utama, Pertamina harus mencabut status zona merah dari lahan yang telah bersertifikat hak milik, Pertamina harus memberikan penjelasan resmi dan terbuka kepada masyarakat.

Hingga Jumat 21 November 2025, belum ada warga menerima penjelasan Pertamina, tidak ada klarifikasi. Tidak ada pertemuan. 

Yang ada hanyalah kegelisahan ribuan warga terhadap sertifikat hak milik yang kini mereka pegang. 

Di wajah Suprayitno tidak terlihat kemarahan. Hanya keteguhan dan rasa percaya bahwa kebenaran harus diperjuangkan, sekalipun harus berhadapan dengan perusahaan raksasa negara.

Zona merah ini bukan hanya persoalan batas lahan. Ini persoalan rasa aman.

Ini persoalan harga diri. Ini persoalan negara hadir atau absen.

Jika benar kesalahan bermula dari data tahun 1922, maka persoalan ini besar. 

“Jangan jadikan kami korban dari kesalahan data," pungkasnya. (hfz)


Berita Terkait



add images