Pasangan Gubernur Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) mulai dari pencalonannya sampai terpilih menjadi Gubernur DKI tak henti-hentinya melakukan sensasi di masyarakat, baju kotak-kotak, Kartu Jakarta Pintar, blusukan, dll, sensasi yang lebih terkini adalah lelang jabatan lurah dan camat yang pendaftarannya telah dilakukan secara online pada tanggal 8 April 2013 yang lalu, dapat diikuti oleh semua PNS yang berada di lingkungan Pemprov DKI.
Selama ini proses lelang biasanya terjadi pada penjualan barang yang dilakukan secara terbuka bagi umum dengan penawaran harga secara tertulis atau lisan yang semangkin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, prinsip lelang inilah sekarang yang digunakan oleh pasangan ini untuk merekrutmen pembantu-pembantu yang cakap di jalur birokrasi pemprov.
Pelelang ini seharus tidak perlu dilakukan, jika jajaran yang menempati pos-pos tersebut cakap mengemban tugas yang diberikan, atau mereka bisa menggunakan hak prerogatifnya untuk memilih dan menempatkan orang-orang pada posisi lurah dan camat yang diinginkan, hal ini tidak mereka lakukan, mereka lebih memilih jalur lelang yang tak lasim dilakukan oleh para kepala daerah atau pemimpin birokrasi sebelumnya, hasil lelang jabatan ini diharapkan mendapatkan orang-orang yang benar-benar bisa mengejawantahkan program-program yang mereka buat, sebagaimana yang mereka syiarkan saat kampanye pencalonan mereka menjadi kepada daerah yang lalu.
Pada zaman ordebaru jabatan lurah dan camat pada umumnya di isi oleh mereka-mereka yang berasal dari lulusan sarjana perguruan tinggi ilmu pemerintahan, sehiring dengan perjalanan reformasi yang berimbas pada perubahan politik, jabatan ini tidak lagi di monopoli oleh oleh mereka-mereka yang berasal dari lulusan perguruan tinggi ilmu pemerintahan, berbagai ragam disiplin ilmupun bisa menduduki jabatan tersebut.
Posisi jabatan camat dan lurah telah menjadi ajang bagi para kandidat kepala pemerintah kota dan kabupaten untuk dimanfaatkan sebagai tempat meraup suara pada pilkada, ada kerjasama tersirat antara para kandidat dengan para PNS yang berujung pada kesepakatan balas jasa penempatan posisi jabatan, hal ini menjadi intaian para PNS, meskipun sebenarnya mereka mengetahui tidak boleh berpolitik praktis, PNS harus netralitas sebagaimana yang diamanahkan pasal 3 UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, yang juga dijabarkan dalam PP No. 37/2004 yang mengisyaratkan hanya ada dua opsi untuk PNS. “ Pertama, jika sudah bertekad aktif dalam politik praktis, maka harus legowo meninggalkan status PNS dan yang kedua, jika tetap ingin berkiprah mengabdi sebagai PNS, maka harus meninggalkan arena politik sebagaimana tertuang dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah yang dijabarkan melalui pasal 61 ayat (1) dan pasal 62 PP No. 6/2005, serta Surat Edaran Mendagri nomor 270/4627/sj tertanggal 21 Desember 2009, yang ditujukan kepada gubernur dan bupati/walikota seluruh Indonesia agar menata semua jajaran PNS untuk menjaga sikap netralnya dalam pilkada.
Kondisi ini cukup sulit untuk dibuktikan, biasa dukungan yang diberikan tidak begitu transparan terhadap kandidat tertentu, hal ini dapat dilihat dari berapa polemik yang terjadi dipemerintahan yang baru terpilih, terjadinya penonjoban seseorang terhadap jabatan yang diembannya, karena terindekasi tidak mendukung pada kandidat yang menang pada pilkada, terjadi pengangkatan seseorang yang tidak disebabkan apapun, tahu-tahu menduduki suatu jabatan, kondisi ini menciptakan slogan dikalangan birokrat negeri ini “diangkat karena politik dan berhenti juga karena politik”.
Begitu kuatnya korelasi tim sukses yang berasal dari PNS untuk menduduki suatu jabatan di pemerintahan kota dan kabupaten, pengaruh balas budi begitu melekat pada tantanan birokrasi negeri ini, prinsip the right man in the right place tidak lagi menjadi acuan untuk menempatkan seseorang pada suatu jabatan, bahkan muncul sikap pesimis untuk posisi jabatan tersebut tidak perlu orang pintar yang diperlukan adalah orang yang pintar-pintaran.
Apa yang dilakukan pasangan Jokowi ini tentu akan mematahkan pradikma orang selama ini akan perannya tim sukses dan memunculkan pradikma baru, kebijakan lelang jabatan akan menjadi positif bagi pegawai yang pintar namum tidak bisa berpintar-pintaran, sehingga kebijakan ini memberi peluang bagi mereka untuk membukti dirinya akan kemampauannya dan sekaligus bagian dari partisipasi mereka dalam membangun birokrasi yang good governance, itu akan menjadi angin segar bagi layanan public negeri ini, akan menjadi negatif bagi personal yang terbiasa dengan jalur balas jasa sebagai imbalan dari tim sukses, terbiasa mendapatkan sesuatu tanpa melaku kompetisi.
Mekanisme perekrutan pejabat ala Jokowi-Ahok ini muncul sebagai model yang bisa dilihat sebagai hasil blusukan pasangan ini terhadap seratus hari pemerintahan mereka berjalan, sebuah evaluasi dari beberapa kunjungan yang dilakukan terhadap beberapa instansi yang berada di bawah naungan pemrov DKI, mereka menemukan ketidak hadiran para pejabat saat jam kantor, tentu ini akan berakibat terhadap layanan publik yang diberikan.
Sebagai orang nomor satu di pemrov DKI, kondisi ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, apalagi DKI merupakan pusat ibukota negara yang menjadi cermin bagi tamu-tamu asing untuk masuk kewilayah Indonesia, mereka akan menjadi DKI sebagai indikator provinsi- provinsi lainnya, untuk mengujudkan itu semua diperlukan pembantu-pembantu yang memiliki kecekatan dalam bekerja dan memilik visionir dalam memterjemahkan apa yang telah diprogramkannya, terlihat dalam ujud yang terlealisasi dan dinikmati oleh masyarakat sebagai bagian janji-janji politik yang diucapkan.
Model pelelangan jabatan untuk merekrutmen orang yang akan pemimpin suatu jabatan pemerintahan, tentu ini akan berdamfak terhadap terciptanya keharmonisan dalam pemerintah titu sendiri, terjadi hubungan sinergi antara satu dengan lainnya, memudahkan pencapaian terhadap apa yang diinginkan, semua pemangku jabatan akan bekerja secara propesional sebagai tanggung jawab dari amanah yang diembankan, ada target yang akan dicapai, ada hasil yang terlihat, muncul sikap optimis bagi masyarakat akan layanan yang akan mereka terima, menghasilkan kerjasama yang baik antara masyarakat dan pemerintah.
Keinginan pasangan ini merupakan sesuatu yang idial, untuk mengujudkannya diperlukanlah dukungan semua pihak baik pemerintah pusat yang sebagai pusat ibukota negara yang bersentuhan langsung dengan kebijakan yang akan diambil, patnership dalam mengelola ibukota negara, selama ini problematika terbesar di jalur birokrasi tidak adanya keharmonisan diantara patnership, saling lempar tanggung jawab, saling mempertahan pendapat masing-masing, baik pemerintah provinsi, pemerintah kota dan maupun pemerintahan kabupaten, berakibat tidak terurusnya infrastruktur pemerintah yang seharusnya mendapatkan perbaikan.
Dengan sistem rekrutmen lelang jabatan ini menunjukan pasangan ini serius untuk mengujudkan apa yang telah disosialisasikannya kepada konstituen pemilihnya pada saat pilkada, ada rasa tanggung jawab terhadap kepercayaan yang begitu tinggi diberikan konstituen kepada mereka, sehingga mereka berani menghadapi resiko untuk lepas dari pengaruh tim-tim sukses dalam mempengaruhi kebijakannya, mereka mengabaikan bisikan-bisikan yang masuk ketelingganya untuk menempatkan pembantu-pembantu.
Keberanian mengambil kebijakan lelang jabatan ini, mungkin juga disebabkan tuntutan yang begitu tinggi dari masyarakat akan perubahan yang lebih segnifikan, atau munculnya kesadaran dari orang-orang yang terlibat pada tim sukses, apa yang mereka lakukan ini hanyalah semata-mata ingin melihat adanya perubahan yang lebih mendasar, mereka tidak perlu imbalan di dunia, jika dihitung tidak seberapa dari apa yang akan mereka dapatkan nanti di akhirat sana.
Jika model Jokowi ini berhasil menciptakan pemerintahan yang bersih dan wibawa, bisa jadi ini akan menjadi proyek percontohan bagi seluruh pemda yang ada di seluruh negeri ini, khusus kabupaten yang ada di provinsi Jambi yang telah melaksanakan pilkada atau yang mau melaksanakan pilkada dapat mempertimbangkan terobosan yang dilakukan Jokowi ini.
Penulis adalah Dosen STMIK Nurdin Hamzah
Selama ini proses lelang biasanya terjadi pada penjualan barang yang dilakukan secara terbuka bagi umum dengan penawaran harga secara tertulis atau lisan yang semangkin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, prinsip lelang inilah sekarang yang digunakan oleh pasangan ini untuk merekrutmen pembantu-pembantu yang cakap di jalur birokrasi pemprov.
Pelelang ini seharus tidak perlu dilakukan, jika jajaran yang menempati pos-pos tersebut cakap mengemban tugas yang diberikan, atau mereka bisa menggunakan hak prerogatifnya untuk memilih dan menempatkan orang-orang pada posisi lurah dan camat yang diinginkan, hal ini tidak mereka lakukan, mereka lebih memilih jalur lelang yang tak lasim dilakukan oleh para kepala daerah atau pemimpin birokrasi sebelumnya, hasil lelang jabatan ini diharapkan mendapatkan orang-orang yang benar-benar bisa mengejawantahkan program-program yang mereka buat, sebagaimana yang mereka syiarkan saat kampanye pencalonan mereka menjadi kepada daerah yang lalu.
Pada zaman ordebaru jabatan lurah dan camat pada umumnya di isi oleh mereka-mereka yang berasal dari lulusan sarjana perguruan tinggi ilmu pemerintahan, sehiring dengan perjalanan reformasi yang berimbas pada perubahan politik, jabatan ini tidak lagi di monopoli oleh oleh mereka-mereka yang berasal dari lulusan perguruan tinggi ilmu pemerintahan, berbagai ragam disiplin ilmupun bisa menduduki jabatan tersebut.
Posisi jabatan camat dan lurah telah menjadi ajang bagi para kandidat kepala pemerintah kota dan kabupaten untuk dimanfaatkan sebagai tempat meraup suara pada pilkada, ada kerjasama tersirat antara para kandidat dengan para PNS yang berujung pada kesepakatan balas jasa penempatan posisi jabatan, hal ini menjadi intaian para PNS, meskipun sebenarnya mereka mengetahui tidak boleh berpolitik praktis, PNS harus netralitas sebagaimana yang diamanahkan pasal 3 UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, yang juga dijabarkan dalam PP No. 37/2004 yang mengisyaratkan hanya ada dua opsi untuk PNS. “ Pertama, jika sudah bertekad aktif dalam politik praktis, maka harus legowo meninggalkan status PNS dan yang kedua, jika tetap ingin berkiprah mengabdi sebagai PNS, maka harus meninggalkan arena politik sebagaimana tertuang dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah yang dijabarkan melalui pasal 61 ayat (1) dan pasal 62 PP No. 6/2005, serta Surat Edaran Mendagri nomor 270/4627/sj tertanggal 21 Desember 2009, yang ditujukan kepada gubernur dan bupati/walikota seluruh Indonesia agar menata semua jajaran PNS untuk menjaga sikap netralnya dalam pilkada.
Kondisi ini cukup sulit untuk dibuktikan, biasa dukungan yang diberikan tidak begitu transparan terhadap kandidat tertentu, hal ini dapat dilihat dari berapa polemik yang terjadi dipemerintahan yang baru terpilih, terjadinya penonjoban seseorang terhadap jabatan yang diembannya, karena terindekasi tidak mendukung pada kandidat yang menang pada pilkada, terjadi pengangkatan seseorang yang tidak disebabkan apapun, tahu-tahu menduduki suatu jabatan, kondisi ini menciptakan slogan dikalangan birokrat negeri ini “diangkat karena politik dan berhenti juga karena politik”.
Begitu kuatnya korelasi tim sukses yang berasal dari PNS untuk menduduki suatu jabatan di pemerintahan kota dan kabupaten, pengaruh balas budi begitu melekat pada tantanan birokrasi negeri ini, prinsip the right man in the right place tidak lagi menjadi acuan untuk menempatkan seseorang pada suatu jabatan, bahkan muncul sikap pesimis untuk posisi jabatan tersebut tidak perlu orang pintar yang diperlukan adalah orang yang pintar-pintaran.
Apa yang dilakukan pasangan Jokowi ini tentu akan mematahkan pradikma orang selama ini akan perannya tim sukses dan memunculkan pradikma baru, kebijakan lelang jabatan akan menjadi positif bagi pegawai yang pintar namum tidak bisa berpintar-pintaran, sehingga kebijakan ini memberi peluang bagi mereka untuk membukti dirinya akan kemampauannya dan sekaligus bagian dari partisipasi mereka dalam membangun birokrasi yang good governance, itu akan menjadi angin segar bagi layanan public negeri ini, akan menjadi negatif bagi personal yang terbiasa dengan jalur balas jasa sebagai imbalan dari tim sukses, terbiasa mendapatkan sesuatu tanpa melaku kompetisi.
Mekanisme perekrutan pejabat ala Jokowi-Ahok ini muncul sebagai model yang bisa dilihat sebagai hasil blusukan pasangan ini terhadap seratus hari pemerintahan mereka berjalan, sebuah evaluasi dari beberapa kunjungan yang dilakukan terhadap beberapa instansi yang berada di bawah naungan pemrov DKI, mereka menemukan ketidak hadiran para pejabat saat jam kantor, tentu ini akan berakibat terhadap layanan publik yang diberikan.
Sebagai orang nomor satu di pemrov DKI, kondisi ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, apalagi DKI merupakan pusat ibukota negara yang menjadi cermin bagi tamu-tamu asing untuk masuk kewilayah Indonesia, mereka akan menjadi DKI sebagai indikator provinsi- provinsi lainnya, untuk mengujudkan itu semua diperlukan pembantu-pembantu yang memiliki kecekatan dalam bekerja dan memilik visionir dalam memterjemahkan apa yang telah diprogramkannya, terlihat dalam ujud yang terlealisasi dan dinikmati oleh masyarakat sebagai bagian janji-janji politik yang diucapkan.
Model pelelangan jabatan untuk merekrutmen orang yang akan pemimpin suatu jabatan pemerintahan, tentu ini akan berdamfak terhadap terciptanya keharmonisan dalam pemerintah titu sendiri, terjadi hubungan sinergi antara satu dengan lainnya, memudahkan pencapaian terhadap apa yang diinginkan, semua pemangku jabatan akan bekerja secara propesional sebagai tanggung jawab dari amanah yang diembankan, ada target yang akan dicapai, ada hasil yang terlihat, muncul sikap optimis bagi masyarakat akan layanan yang akan mereka terima, menghasilkan kerjasama yang baik antara masyarakat dan pemerintah.
Keinginan pasangan ini merupakan sesuatu yang idial, untuk mengujudkannya diperlukanlah dukungan semua pihak baik pemerintah pusat yang sebagai pusat ibukota negara yang bersentuhan langsung dengan kebijakan yang akan diambil, patnership dalam mengelola ibukota negara, selama ini problematika terbesar di jalur birokrasi tidak adanya keharmonisan diantara patnership, saling lempar tanggung jawab, saling mempertahan pendapat masing-masing, baik pemerintah provinsi, pemerintah kota dan maupun pemerintahan kabupaten, berakibat tidak terurusnya infrastruktur pemerintah yang seharusnya mendapatkan perbaikan.
Dengan sistem rekrutmen lelang jabatan ini menunjukan pasangan ini serius untuk mengujudkan apa yang telah disosialisasikannya kepada konstituen pemilihnya pada saat pilkada, ada rasa tanggung jawab terhadap kepercayaan yang begitu tinggi diberikan konstituen kepada mereka, sehingga mereka berani menghadapi resiko untuk lepas dari pengaruh tim-tim sukses dalam mempengaruhi kebijakannya, mereka mengabaikan bisikan-bisikan yang masuk ketelingganya untuk menempatkan pembantu-pembantu.
Keberanian mengambil kebijakan lelang jabatan ini, mungkin juga disebabkan tuntutan yang begitu tinggi dari masyarakat akan perubahan yang lebih segnifikan, atau munculnya kesadaran dari orang-orang yang terlibat pada tim sukses, apa yang mereka lakukan ini hanyalah semata-mata ingin melihat adanya perubahan yang lebih mendasar, mereka tidak perlu imbalan di dunia, jika dihitung tidak seberapa dari apa yang akan mereka dapatkan nanti di akhirat sana.
Jika model Jokowi ini berhasil menciptakan pemerintahan yang bersih dan wibawa, bisa jadi ini akan menjadi proyek percontohan bagi seluruh pemda yang ada di seluruh negeri ini, khusus kabupaten yang ada di provinsi Jambi yang telah melaksanakan pilkada atau yang mau melaksanakan pilkada dapat mempertimbangkan terobosan yang dilakukan Jokowi ini.
Penulis adalah Dosen STMIK Nurdin Hamzah