JIKA membaca surat kabar, hampir setiap hari kita disodori oleh berita-berita seputar korupsi. Hal ini tidak saja dilakukan oleh pejabat di tingkat pusat tetapi juga telah merambah di tingkat daerah. Mulai kelas kakap hingga kelas teri. Anehnya kasus korupsi acapkali menyertakan serentetan kasus pelik tentang adanya keterlibatan ‘perempuan simpanan’ di balik fantastiknya nilai nominal sebuah kasus korupsi. Sekadar mengingatkan, kasus Irjen Djoko Soesilo, tersangka pada silmulator SIM, adalah tersangka korupsi dengan beberapa istri. Kemudian, Aceng Fikri mantan Bupati Garut yang diindikasikan korupsi beberapa proyek, memiliki simpanan beberapa istri. Bagaimana dengan kasus korupsi di Jambi? Tentu perlu ditelusuri lebih lanjut oleh pembaca karena tulisan ini hanya sebagai penggugah.
Benar bahwa pelaku korupsi tidak hanya datang kaum laki-laki tapi ada beberapa kasus justru pelakunya perempuan. Namun yang membedakan tidak atau jarang adanya embel-embel ‘laki-laki simpanan’ sebagaimana ada istilah ‘perempuan simpanan’.
Pertama, ‘perempuan simpanan’ adalah bagian dari skenario penyelamatan ‘aset korupsi’, ini berkaca pada kasus yang menimpa Djoko Soesilo (DS) yang fenomenal itu. Rupanya ini sudah menjadi modus umum yang dilakukan oleh tersangka koruptor. Sang koruptor biasanya mengatasnamakan aset-aset hasil korupsinya kepada orang-orang terdekatnya, yang salah satunya adalah ‘perempuan simpanan’ dari pada istri sahnya.
Kedua, ‘perempuan simpanan’ merupakan praktek ‘menikmati hasil korupsi’ sehingga punya kesempatan membiayai lebih dari satu perempuan resmi (istri sah) dan anak (jika ada.
Korupsi dan “istri simpanan’ tampaknya bisa diibaratkan dua mata uang yang saling melengkapi. Korupsi bisa memicu seseorang untuk melakukan poligami. Sebaliknya, dengan poligami seorang pejabat negara bisa memicu sebuah tindak korupsi. Jadi wajarlah jika poligami bagi PNS dan adalah hal yang dilarang dalam UU perkawianan di Indonesia terutama bagi PNS atau pejabat negara. Selain gaji seorang PNS atau pejabat negara yang tidak berlebih (selain seorang pejabat tidak diperkenankan berbisnis) dan sangat terukur, dan jika ada kelebihan maka nilainya tentu sesuai dengan aturan hukum.
Kantor Berita China, Xinhua melansir berita bahwa 95% pejabat negeri China yang korupsi terlibat skandal perempuan simpanan. Dimana terjadi jual beli kekuasaan untuk sex, judi dan pencucian uang dan sebagainya. Kasus korupsi di Indonesia pun ternyata banyak kesamaannya dengan China, hanya saja yang terekspos di Indonesia adalah korupsinya, dan bukan keterlibatan perempuan simpanan tersebut. Sebut saja kasus-kasus seperti DS, Al Amin politisi PPP yang terbukti dari sebuah rekaman, atau politisi PDIP Max Moein yang belakangan diketahui memiliki perempuan simpanan.
Apa yang ingin saya tegaskan adalah bahwa mengungkapkan kasus korupsi sebenarnya bisa dilakukan tidak saja dengan pintu masuk ‘tertangkap tangan’ memiliki uang korupsi, tetapi bisa ditelusuri dari status perkawinan dan gaya hidup sang pejabat. Jika sang pejabat memiliki istri lebih dari satu atau bergaya hidup glamour dan hedonis, maka masyarakat pantas mencurigai.(*)
Benar bahwa pelaku korupsi tidak hanya datang kaum laki-laki tapi ada beberapa kasus justru pelakunya perempuan. Namun yang membedakan tidak atau jarang adanya embel-embel ‘laki-laki simpanan’ sebagaimana ada istilah ‘perempuan simpanan’.
Pertama, ‘perempuan simpanan’ adalah bagian dari skenario penyelamatan ‘aset korupsi’, ini berkaca pada kasus yang menimpa Djoko Soesilo (DS) yang fenomenal itu. Rupanya ini sudah menjadi modus umum yang dilakukan oleh tersangka koruptor. Sang koruptor biasanya mengatasnamakan aset-aset hasil korupsinya kepada orang-orang terdekatnya, yang salah satunya adalah ‘perempuan simpanan’ dari pada istri sahnya.
Kedua, ‘perempuan simpanan’ merupakan praktek ‘menikmati hasil korupsi’ sehingga punya kesempatan membiayai lebih dari satu perempuan resmi (istri sah) dan anak (jika ada.
Korupsi dan “istri simpanan’ tampaknya bisa diibaratkan dua mata uang yang saling melengkapi. Korupsi bisa memicu seseorang untuk melakukan poligami. Sebaliknya, dengan poligami seorang pejabat negara bisa memicu sebuah tindak korupsi. Jadi wajarlah jika poligami bagi PNS dan adalah hal yang dilarang dalam UU perkawianan di Indonesia terutama bagi PNS atau pejabat negara. Selain gaji seorang PNS atau pejabat negara yang tidak berlebih (selain seorang pejabat tidak diperkenankan berbisnis) dan sangat terukur, dan jika ada kelebihan maka nilainya tentu sesuai dengan aturan hukum.
Kantor Berita China, Xinhua melansir berita bahwa 95% pejabat negeri China yang korupsi terlibat skandal perempuan simpanan. Dimana terjadi jual beli kekuasaan untuk sex, judi dan pencucian uang dan sebagainya. Kasus korupsi di Indonesia pun ternyata banyak kesamaannya dengan China, hanya saja yang terekspos di Indonesia adalah korupsinya, dan bukan keterlibatan perempuan simpanan tersebut. Sebut saja kasus-kasus seperti DS, Al Amin politisi PPP yang terbukti dari sebuah rekaman, atau politisi PDIP Max Moein yang belakangan diketahui memiliki perempuan simpanan.
Apa yang ingin saya tegaskan adalah bahwa mengungkapkan kasus korupsi sebenarnya bisa dilakukan tidak saja dengan pintu masuk ‘tertangkap tangan’ memiliki uang korupsi, tetapi bisa ditelusuri dari status perkawinan dan gaya hidup sang pejabat. Jika sang pejabat memiliki istri lebih dari satu atau bergaya hidup glamour dan hedonis, maka masyarakat pantas mencurigai.(*)