DIALOG Radikalisme bersama mahasiswa yang diselengggarakan Pusat Studi HAM Fak. Hukum Unja dan Forum Diskusi Jambi (FDJ)-28/4. Menarik. Thema seksi tersebut meraub sukses luar biasa, karena mahasiswa (Abdurrahman Sayuti) juga menjadi nara sumber . Suara mahasiswa menemukan tiga klasifikasi mahasiswa, yakni. Mahasiswa Kupu-kupu (kuliah-pulang-kuliah pulang) Mahasiswa Kura-Kura (Kuliah-Rapat- kuliah rapat). Mahasiwa Kucing (Kuliah nangkring di Kantin). Di mana posisi mahasiswa yang radikal?.
Disinyalir radikalisme ada dalam setiap elemen masyarakat. Radikalisme yang paling berbahaya tentu radikalisme mahasiswa?. Di satu sisi mahasiswa memahami berpikir secara filsafat (radik), di sisi lain mahasiswa juga sangat gampang untuk di sulut pada gerakan-gerakan radikalisme.
Radikalisme yang berasal dari kata radikal berarti secara mendasar sampai ke akar-akarnya, amat keras menuntut perubahan. Radikalisme menjadi tantangan terhadap persoalan penegakan hukum di Indonesia. Manakala penegakan hukum melemah maka radikalisme menguat . Radikalisme juga menjadi sebuah model bagaimana konsep Hak Asasi Manusia terkait menjalurkan aspirasi (hak mengemukakan pendapat) di ruang publik. Menggunakan ruang publik otomatis menggunakan hak orang lain, hak kelancaran berlalu lintas, hak orang lain untuk bebas dari rasa takut. Pertayaan mendasar yang harus terjawab. Apakah melakukan radikalisme, dapat dipastikan ide, pemikiran, dan perubahan dapat terselesaikan?. Artinya memaksanakan kehendak tentu harus dilakukan dengan cara dan methoda yang tepat !.
Radikalisme sebagai sebuah gerakan memang tidak muncul dari ruang hampa. Pemetaan probelm dan prosedur dilakukan dengan rapi, dan ada beberapa sebab yang mempengaruhi mengembangnya radikalisme, diantaranya, faktor sosial politik, emosi keagamaan, kultural, ideologi, kebijakan yang timpang. Pertayaan, apakah ketimpangan harus dilakukan dengan juga dengan cara yang timpang? Padahal posisi mahasiswa yang paling pas adalah PROBLEMSOLVER (pemecah masalah) bukan pencari atau menambah masalah ?
Sangat diakui kondisi obkektif bangsa Indonesia yang super keragaman, etnik, menjadi tempat strategis untuk dilancarkannya politik adu domba, sentimen, antar daerah, antar suku, antar agaman yang semuanya bermuara pada “konflik dan sengketa”. Berbagai sentimen dijadikan dasar untuk membenarkan radikalisme baik secara sembuji maupun secara terang-terangan. Bentuk keberagaman harus diapresiasi menjadi pendidikan multikultur di kalangan mahasiswa bahwa perbedaan itu adalah hukum alam plus Anugrah Illahi !
Uji Shahib radikalisme mahasiswa tetap harus terukur dengan harga sebuah investasi masa depan. Filsafat Lilin, Dirinya mampu menerangkan orang lain, padahal lilin sendiri hancur, punah adalah sesuatu yang tidak visioner.
(Elita Rahmi, adalah Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Jambi. PELANTA)
Disinyalir radikalisme ada dalam setiap elemen masyarakat. Radikalisme yang paling berbahaya tentu radikalisme mahasiswa?. Di satu sisi mahasiswa memahami berpikir secara filsafat (radik), di sisi lain mahasiswa juga sangat gampang untuk di sulut pada gerakan-gerakan radikalisme.
Radikalisme yang berasal dari kata radikal berarti secara mendasar sampai ke akar-akarnya, amat keras menuntut perubahan. Radikalisme menjadi tantangan terhadap persoalan penegakan hukum di Indonesia. Manakala penegakan hukum melemah maka radikalisme menguat . Radikalisme juga menjadi sebuah model bagaimana konsep Hak Asasi Manusia terkait menjalurkan aspirasi (hak mengemukakan pendapat) di ruang publik. Menggunakan ruang publik otomatis menggunakan hak orang lain, hak kelancaran berlalu lintas, hak orang lain untuk bebas dari rasa takut. Pertayaan mendasar yang harus terjawab. Apakah melakukan radikalisme, dapat dipastikan ide, pemikiran, dan perubahan dapat terselesaikan?. Artinya memaksanakan kehendak tentu harus dilakukan dengan cara dan methoda yang tepat !.
Radikalisme sebagai sebuah gerakan memang tidak muncul dari ruang hampa. Pemetaan probelm dan prosedur dilakukan dengan rapi, dan ada beberapa sebab yang mempengaruhi mengembangnya radikalisme, diantaranya, faktor sosial politik, emosi keagamaan, kultural, ideologi, kebijakan yang timpang. Pertayaan, apakah ketimpangan harus dilakukan dengan juga dengan cara yang timpang? Padahal posisi mahasiswa yang paling pas adalah PROBLEMSOLVER (pemecah masalah) bukan pencari atau menambah masalah ?
Sangat diakui kondisi obkektif bangsa Indonesia yang super keragaman, etnik, menjadi tempat strategis untuk dilancarkannya politik adu domba, sentimen, antar daerah, antar suku, antar agaman yang semuanya bermuara pada “konflik dan sengketa”. Berbagai sentimen dijadikan dasar untuk membenarkan radikalisme baik secara sembuji maupun secara terang-terangan. Bentuk keberagaman harus diapresiasi menjadi pendidikan multikultur di kalangan mahasiswa bahwa perbedaan itu adalah hukum alam plus Anugrah Illahi !
Uji Shahib radikalisme mahasiswa tetap harus terukur dengan harga sebuah investasi masa depan. Filsafat Lilin, Dirinya mampu menerangkan orang lain, padahal lilin sendiri hancur, punah adalah sesuatu yang tidak visioner.
(Elita Rahmi, adalah Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Jambi. PELANTA)