iklan
Beberapa hari sebelum diadakan peluncuran dan Seminar Antologi Puisi Chory Marbawi, karya Puisi Chory saya dapatkan dari E.M. Yogiswara (25 April 2013). Pada waktu itu, bersama beberapa orang teman di KBPJ, antologi ini pun kami baca secara bergilir, tiba-tiba salah seorang dari  kami pun memberi komentar ihwal karya-karya yang terhimpun dalam antologi Aku Bawakan Cinta Buatmu. Menurutnya, Jambi mesti bersyukur atas terdokumentasikannya karya Chory oleh E.M. Yogiswara, seraya memberi perbandingan atas penyelamatan karya-karya Chairil Oleh HB. Jassin dan Karya Chory oleh E.M. Yogiswara(faktanya memang begitu),  Kita(merujuk ke siapa pun) mesti mengkaji karya-karya Chory, dan terakhir diksi yang dipilih Chory mengisyaratkan begitu dekatnya kematian.

Dari Serentetan pernyataan itu, saya hanya bisa menyimpulkan bahwa yang paling dekat, dan tidak pernah ketahui adalah kematian. Akhirnya saya pun ingin mematikan sejenak kesedihan perasaan saya terhadap Chory, bagi saya “Chory adalah yang terbaik dari Kami Di Mata Tuhan”. Kesucian hati Chory, tanpa disadarinya telah di ditunjukkan Tuhan dengan potret kematian yang menjadi diksi karya Puisinya.  


Selain Chory Marbawi, dalam catatan kita ada dua penyair Indonesia yang juga berusia 27 tahun, yaitu Chairil Anwar dan Gazali Burhan Riodja. Ketiga penyair yang memiliki kemampun berbeda dalam pencarian diksi untuk puisi-puisi mereka, kalau pun ada kesamaan itu merupakan faktor kebetulan. Chory adalah Chory, yang menatap masa depan kepenyairannya dengan menabur cinta sepanjang  zaman,  dia telah berhasil membingkai sunyi dengan puisinya, untuk kemudian menawarkan kepada kita serentetan alternatif tentang apa dan akan menjadi apa karyanya setelah ini.


Sebagai pembaca,  tentu saja kita ingin memaknai sebuah karya puisi tidak hanya sebatas teks dengan rangkaian kata-kata. Mengutip Roland Barthes sebuah teks bukan hanya rangkaian kata-kata dengan satu makna yang sakral, tetapi sebuah ruang multidimensi yang memungkinkan beragam bentuk, tak satu pun yang asli, yang berbaur dan berbenturan. Teks adalah  kutipan yang diambil dari budaya yang tak terhitung jumlahnya. Lebih lanjut, Maman S Mahayana, mengungkapkan bahwa teks terlahir dari sejumlah persoalan di belakangnya dan sekian harapan di depannya. Ada proses panjang dan tidak seketika jadi. Teks bukanlah, jadi maka jadilah, melainkan perjalanan panjang sebuah proses pergulatan pemikirian dalam kepungan berbagai budaya yang diterima sekaligus ditolaknya.


Pergulatan pemikitan  Chory atas situasi sosial yang ada di luar dirinya dimanifestasikannya dengan puisi, sebagai seorang yang juga peka dengan lingkungannya,  Chory menuliskan gelisahnya atas alam dan juga meabstraksi kesenderiannya yang –mungkin saja—pada saat puisi ini ditulisnya, Tuhan telah memberikan tanda-tanda atas kematiannya, seperti pada puisi Chory berikut ini:


TAK ADA LAGI BURUNG MENYANYI


Di jalanan ini tak ada lagi burung menyanyi
seperti tempo hari, burung-burung serta memainkan
diri, pagi hari
ketika matahari dan embun riang menyanyi

Di jalanan ini tak ada lagi burung menyanyi
Seperti hari ini, kering tandus dimakan api, siang hari
Ketika panas menjelmakan diri jadi api
Di Jalanan ini tak ada lagi burung menyanyi.

Teater Air Jambi, 26 September 2012

Puisi lahir dari endapan imajinatif penyairnya, untuk kemudian akan disempurnakan dan bahkan –mungkin-- menjadi tidak sempurna ketika di tangan pembacanya. Siklus yang diatur begitu sempurna, yang diawali dari ketika pengarang menjadikan realitas sosial menjadi objek kekaryaan(yang di dalamnya ada pembaca), kemudian menuliskannya menjadi sebuah karya, lalu karya tersebut itu pun kembali ke pembaca. Disadari Chory, bahwa karyanya bukan untuk dirinya, akan tetapi karyanya hanya untuk orang lain, Chory telah membagi cintanya untuk kita semua, pada serentetan lirik puisi yang telah dihimpun pada antologi Aku Bawakan Cinta Buatmu.

Selain wilayah interpretasi, pada seminar ini juga menyoal ihwal lokalitas, Penyair Jambi Jumardi Putra(JP) melemparkan wacana tentang sejauhmana puisi-puisi Chory memberi warna lokalitas dalam karyanya. Pernyataan JP menarik untuk dibicarakan, karena selama ini, lokalitas dalam asumsi umum, adalah batas geografis yang memiliki aturan secara tegas. Meminjam pernyataan Mahayan(2012: 161), lokalitas dalam sastra mestinya diperlakukan bukan sekedar latar, melainkan sebagai wilayah kultural yang membawa pembacanya pada medan tafsir tentang situasi sosio-kultural yang mendekam di belakang teks. Di sana lokalitas bukan abstraksi tentang ruang atau wilayah dalam teks yang beku, melainkan ruang kultural yang menyimpan sebuah potret sosial, bahkan juga ideologi yang direpresentasikan melalui interaksi tokoh-tokohnya dan dinamika kultural yang mengungkapkan dan menyimpan nilai-nilai tenang manusia  dalam kehidupan berkebudayaan. Secara kekaryaan, sesunguhnya  Chory telah  merefleksikan lokalitas berkenaan dengan ruang kultural  yang maha luasnya, teks dan di luar teks. Wassalam.

Kalibatas, 27 April 2013

Berita Terkait



add images