iklan
( Jelang Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Jambi 2013 )
/1/

Tanggal 29 Juni 2013 akan menjadi tanggal penting bagi masyarakat kota Jambi(dianjurkan untuk tidak golput), pasalnya di tanggal inilah masyarakat yang mendiami Kota Jambi akan memiliki Calon Walikota dan Wakil Walikota untuk periode  2013—2018. Siapa pun yang terpilih, itulah yang kemudian akan menjadi tumpuan harapan warga Kota Jambi. Tumpuan yang tidak hanya pada perbaikan ekonomi masyarakatnya saja, akan tetapi juga menjadi tumpuan untuk menjawab serentetan persoalan Kebudaayaan yang ada di Kota Tanah Pilih ini.

Kita menyadari, bahwa di Kota ini telah didiami oleh berbagai suku Bangsa yang ada di Tanah Air, heterogen dan serentetan istilah lain yang menyulitkan sebuah rumusan identitas bagi kota ini, yang menjelmakan Jambi kepada keunikan ragam Budayanya pula. Diaspora komunitas masyarakat yang cukup besar, sebut saja dari etnis Tionghoa, Jawa, Kerinci, Minang, Bugis, dan lain sebagainya, menjadikan kota ini mengalami serentetan peristiwa budaya yang menjadikan warna tersendiri untuk Kota Jambi khususnya. Jika meminjam istilah Appadurai dan Ingold, sekelompok orang yang pindah dari satu lingkungan budaya ke lingkungan budaya yang lain, mengalami proses sosial budaya yang dapat mempengaruhi mode adaptasi dan pembentukan Identitasnya.


Selain itu, Robert Redfield(antropolog), melihat transformasi dari suatu lingkungan ke lingkungan lain dalam hubungannya dengan perubahan peradaban yang terjadi dalam masyarakat dengan menyebutkan ke dalam istilah Great Tradition dan Little Tradtion, dua titik peradaban yang berada di ujung garis kontinuum.  Dengan ciri, tidak terlalu besar,  homogen dari kegitan dan ciri anggota, kemampuan memenuhi kebutuhan, adanya kesadaran tentang perbedaan.


Proses semacam itu, juga disebut oleh Abdullah dalam bukunya Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan sebagai proses sosial budaya yang penting karena menyangkut dua hal. Pertama, pada tataran sosial akan terlihat proses dominasi dan subodinasi budaya terjadi secara dinamis yang memungkinkan kita menjelaskan dinamika kebudayaan secara mendalam. Kedua, pada tataran individual akan dapat diamati proses resistensi di dalam reproduksi identitas kultural sekelompok orang di dalam konteks sosial budaya tertentu. Proses adaptasi ini berkaitan dengan dua aspek: ekspresi kebudayaan dan pemberian makna tindakan-tindakan individual. Dengan kata lain, hal ini menyangkut dengan cara apa sekelompok orang dapat mempertahankan identitasnya sebagai suatu etnis di dalam lingkungan sosial budaya yang berbeda.


Masyarakat yang heterogen menjelma menjadi warna-warni kota Jambi, warna yang kita harapkan tidak menjadi pengabur sketsa kota yang pernah berjaya pada satu zaman. Sehingga, para Calon Walikota dan Wakilya mesti memberi jaminan hidup untuk sebuah entitas budaya dengan menawarkan visi kebudayaan yang berpihak, seraya menjelaskan Identitas Kota Tanah Pilih Peseko Betuah ini. Pertanyaan pun patut kita ajukan kepada calon Walikota dan Wakil Walikota Jambi, apakah yang menjadi Identitas Kota ini? Jawaban atas pertanyaan ini akan menjadi penting untuk menjadi titik awal bagi tawaran program kerja kebudayaan ketika terpilih menjadi Walikota dan Wakil Walikota nantinya. Selain itu, para kandidat juga mesti menghindari upaya meesklusifkan sebuah komunitas budaya tertentu, yang dianggap telah memberi dukungan atas perolehan suara pada pilwako ini. Kandidat terpilih, mesti melakukan peleburan sebuah eksklusi sosial, mengutip Abdullah Eksklusi sosial adalah suatu kelompok cenderung membangun wilayah simboliknya sendiri yang membedakan diri dengan orang lain. Jika eksklusi sosial mengapung untuk kemudian mendominasi gerak kebudayaan, maka dapat menjadi catatan awal kita untuk sebuah kegagalan rezim yang berkuasa.

/2/

Hasil alam, pajak dan restribusi dapat kita maklumi mampu mendongkrak pertembuhan ekonomi sebuah kota, akan tetapi mungkin kita lupa bahwa apa yang ada itu nantinya akan tergerus oleh sebuah sistem kebijakan yang maha kuat, entah kapan waktunya. Dan pada akhirnya kita akan menggantungkan nasib kepada sebuah mata tambang yang selama ini kita anggap “tidak begitu penting,” dan ironisnya lagi, posisinya pun kita tempatkan sebagai pelengkap sebuah program kerja, dengan harapan mendapatkan legalisasi bernama peduli budaya.

Mata tambang dimaksudkan dalam konteks ini adalah mata tambang budaya, yang memberi jaminan pasti untuk sebuah pertumbuhan ekonomi masyarakat dengan masa yang cukup lama. Kemampuan pemegang kebijakan dalam meeksploitasi kebudayaan sebagai mata tambang baru itu menjadi penting, jikalah melibatkan seluruh pelaku kebudayaan. Hal itu dapat dijadikan sebagai strategi awal untuk menjembatani runtuhnya simbol-simbol peradaban kita, akibat gencarnya industrialisasi. Mungkin kita tidak ingin termasuk ke dalam masyarakat yang disebut Abdullah sebagai suatu masyarakat yang beranggapan bahwa kebudayaan bukan sekedar frame of reference yang menjadi pedoman tingkahlaku dalam berbagai praktik sosial, tetapi lebih sebagai “barang” atau materi yang berguna dalam proses identifikasi diri dan kelompok.


Siapa pun yang terpilih, Kota ini menantikan harapan yang lebih baik. Harapan yang memberi jaminan untuk dapat berdiri di atas kaki sendiri. Sehingga dibutuhkan kemampun seorang pemimpin yang mampu memperkenalkan ragam budaya yang ada di kota tanah pilih ini. Masyarakat Kota Jambi, menanti bibit terbaik, yang akan disemai pada tanah yang subur, lalu tumbuhlah buah yang segar, pada pohon besar bernama Kebudayaan. Ketika buah dari bibit yang baik berhadapan dengan sebuah ranah besar bernama Industri, maka dia tetaplah yang terbaik. Amin.                               


Kalibatas, 10 Mei 2013


Berita Terkait



add images