iklan
Pendahuluan
Pemilu merupakan suatu sistem yang melingkupi beberapa komponen sub sistem, yang saling berkaitan satu sama lain. Pengaturan semua rangkaian sub sistem tersebut mengacu kepada keberhasilan pelaksanaan sistem yang bermuara kepada : pertama, tercapainya pelaksanaan pemilu yang secara formil/prosedural berkualitas dan tercapai kualitas pemilu secara materil/ substantib. Ketercapaian Pemilu dalam konteks formil adalah terlaksananya Pemilu sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ketercapaian Pemilu secara materil/substantif, apabila hasil akhir pemilu yakni terpilihnya peserta pemilu yang mampu  melaksanakan tugasnya sesuai ketentuan perundang-undangan, sehingga pada akhirnya dapat mencapai hakekat tujuan kehidupan bernegara yakni kemakmuran rakyat.
Efektivitas dan fungsi hukum pemilu

Sejalan dengan teori efektivitas hukum. Suatu ketentuan perundang-undangan (Pemilu) untuk dapat efektif manakala dipenuhinya empat syarat : Pertama, keberadaan meteri hukum yang responsif yang berpihak kepada kepentingan orang banyak. Bukan untuk kepentingan perorangan dan atau kepentingan segelintir orang atau kelompok, partai politik dan etnis. Kedua, keberadaan penegak hukum (penyelenggara pemilu) yang konsisten dalam menegakkan aturan. Ketiga, keberadaan sarana dan prasarana penegakan hukum yang memadai. Keempat, kesadaran hukum masyarakat yang berkualitas. Dalam konteks ini maka peserta pemilu termasuk kedalam kelompok yang keempat.


Pentingnya keefektifan suatu perundang-undangan adalah berkaiatan erat dengan fungsinya yang dalam konteks Hukum Tata Negara, adalah sebagai sarana untuk melakukan pembaruan pada masyarakat. Sehubungan dengan itu hukum yang berkaitan dengan Pemilu seharusnya memuat rancang bangun yang mampu menciptakan pembaruan masyarakat. Manakala hukum Pemilu itu justru semakin memunculkan degradasi dan berbagai dampak negatif lainnya yang merugikan masyarakat, maka perlu dipertanyakan apakah substansi yang diaturnya telah tepat sasaran atau tidak.


Seleksi Penyelengara Pemilu

Berdasarkan UU No.15/2011, penyelenggara pemilu pada level direkrut melalui empat tahap : yakni tahap seleksi adminstrasi, tahap tes tertulis, fsikologi, dan tes kesehatan, tahap wawancara di Tim seleksi, dan wawancara akhir (KPU/Bawaslu untuk calon anggota KPU/Panwaslu Provinsi. Kpu/Panwaslu Provinsi untuk calon anggota KPU Kabuaten/Kota).

Pada tahap administratif, dipersyaratkan berijazah minimal S1, kecuali untuk KPU Kabupaten/Kota, penyelenggara pemilu di tingkat kecamatan minimal tamat SLA. Kemudian ada nilai tambah lagi syarat berpengalaman sebagai pelaksanaan pemilu.     

Pada tahap tes tertulis, diuji tentang pengetahuan kepemiluan dan politik dan hukum kepemiluan.  dengan 100 soal, yang memakan waktu lebih kurang 1 jam 40 menit. Tes Fsikologi, terdiri dari ujian tertulis  terdiri dari 360 soal dengan waktu 240 menit, ditambah focus grup discussion, dan wawancara. Tes kesehatan terdiri dari tes kesehatan jasmani dan rohani. Setelah lulus dalam rangkaian tes tersebut, maka Pada tahap selanjutnya dilakukan uji kelayakan dan kemampuan pemahaman tentang manajemen pemilu, politik dan hukum kepemiluan, serta klarifikasi atas tanggapan masyarakat, melalui wawancara langsung dengan Tim Seleksi untuk mencapai 10 besar 6 besar untuk (Panwaslu). Tahapan terakhir untuk calon anggota KPU Provinsi, diwawancara lagi oleh KPU Pusat. Untuk panwaslu provinsi diwawancara oleh Bawaslu Pusat. Sedangkan untuk calon anggota KPU/panwaslu  Kab./Kota , diwawancara lagi  oleh  anggota KPU/Panwaslu Provinsi. Berdasarkan wawancara tersebut, baru ditetapkan 5 calon untuk didefinitifkan sebagai anggota KPU dan 3 calon definitf untuk anggota Panwaslu.

Seleksi peserta Pemilu.

Seleksi peserta pemilu (Legislatif, Presiden/wakil dan Kepala Daerah/Wakil),  beberapa tahapan yakni  pertama, seleksi awal pada Partai Politik (kecuali untuk Jalur Independen). Kedua, seleksi administratif di KPU (Pusat/Daerah), Ketiga, seleksi oleh masyarakat melalui pemungutan suara.

Beberapa kelemahan seleksi peserta pemilu terlihat : Pertama, pada kualifikasi akademik, hanya sebatas SLTA, ini juga berlaku untuk calon Kepala Daerah/wakil dan calon Presiden/wakil (sekarang sedang diperdebatkan). Apabila dibandingkan dengan kualifikasi penyelenggara Pemilu yang minimal harus berkualifikasi S1 (kecuali untuk KPU Kab/kota, PPK dan Panwascam). Maka terdapat pengaturan yang secara yuridis irrasional  alias tidak masuk akal. Seharusnya persyaratan akademik peserta Pemilu, minimal sejajar dengan persyaratan akademik penyelenggara Pemilu, jika perlu lebih tinggi, mengingat peserta pemilu akan menjadi penyelenggara negara yang tugasnya jauh lebih berat dari tugas Penyelenggara Pemilu, yang apabila dalam pelaksanaan wewenangnya tidak mampu diemban dengan baik, berimplikasi terhambatnya upaya-upaya pencapaian kemakmuran rakyat.


Kedua, tidak ada kualifikasi misalnya : pengalaman dan pengetahuan ketatanegaraan, adminstrasi negara, dan perundang-undangan, serta pengetahuan pemerintahan daerah. Pada hal apabila peserta pemilu terpilih, akan mengemban tugas-tugas kenegaraan dan local government, seperti legislasi, budgeter dan pengawasan pemerintahan (mulai dari perencanaan sampai kepada pelaksanaan kegiatan pemerintahan.  Dengan demikian  aspek ini seharusnya menjadi prioritas ke dalam persyaratan peserta Pemilu. Memang ada pendapat bahwa pada jabatan politk tidak diperlukan keahlian khusus dalam arti siapa saja dapat menduduki jabatan tersebut. Hanya jabatan birokrasi saja yang memerlukan pengetahuan dan pengalaman pemerintahan. Akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa seorang pemegang jabatan politik seperti anggota legislatif harus membuat atau mengesahkan  UU dan Perda yang isinya memuat kebijakan publik yang harus di filter dengan baik, jangan sampai kebijakan publik tersebut, berbalik menjadi kebijakan kelompok, golongan, partai, etnis, dan pribadi. Akibat lemahnya kualifikasi pengetahuan dan pengalaman kenegaraan, telah mengakibatkan DPR RI tahun ini, hanya mampu  melakukan fungsi legislasi sebesar 30 %, dari jumlah yang ditentukan pada Prolegnas. Sebuah perfomance yang menunjukkan fakta yang menasional, artinya tidak menutup kemungkinanan bahwa produk seleksi Pemilu di Daerah seluruh Indonesia menunjukkan gejala yang sama.


Sinkronisasi regulasi

Berdasarkan fakta diatas, terdapat ketidaksinkronisasian  pengaturan antara seleksi penyelenggara Pemilu dengan peserta Pemilu, Penekanan kualifikasi yang signifikan, justru hanya dilakukan terhadap penyelenggara Pemilu, sementara kualifikasi akademik, pengetahuan dan pengalaman pemerintahan pada peserta Pemilu di perlonggar. Seolah-olah jabatan politik halal untuk siapa saja. Walaupun kekeliruan dalam melaksanakan kekuasaan yang ada pada jabatan tersebut akan bermuara kepada kelambanan upaya untuk mensejahterakan rakyat dan bahkan  berpeluang untuk terjadinya pendegradasi kemakmuran rakyat.

Kelemahan seleksi di atas, dilengkapi dengan rangkaian pengaturan pelaksanaan Pemilu yang inefisiensi, sehingga menimbulkan ongkos politik yang mahal. Dalam kondisi ini sesungguhnya seleksi yang terjadi adalah seleksi kemampuan finansial, siapa yang kuat finansialnya/dukungan finansialnyalah yang akan berpeluang besar untuk menang menduduki jabatan politik. Sementara seleksi yang sebenarnya yakni seleksi kompetensi dan integritas serta leadership menjadi terpinggirkan. Tanpa disadari kita telah kembali ke kondisi abad pertengahan di Perancis, dimana kekuasaan dikuasai oleh kaum pemilik modal (kaum Borjuis). Jadi dari aspek pendemokrasian sebenarnya, kita telah mundur ke belakang beberapa abad.


Terlepas dari segala kelemahan pengaturan tersebut, masih ada peluang untuk meminimalisir kekurangan itu, yakni pada tahap  seleksi awal di partai politik. Jika bahan baku yang disiapkan oleh Partai Politik sudah layak (berkualitas dan berintegritas), maka pada seleksi oleh rakyat, siapapun yang  terpilih adalah orang-orang yang layak menduduki jabatan politik tersebut. Tinggal lagi bagaimana kemauan manajemen partai politik dalam menjaring dan melakukan pembinaan terhadap kader partai guna meningkatkan kualitas dan Integritasnya, Sehingga ketika terpilih dapat mengemban tugasnya dengan baik atau jika ada orang luar yang ingin mencalonkan diri menjadi calon pemangku jabatan politik melalui Partai Politik, sudah seharusnya melalui seleksi yang ketat dan mengacu kepada kompetensi dan integritas. Sebab inilah tujuan berdemokrasi kita yang sesungguhnya yakni mencapai kualitas demokrasi materil/substantif.  


* Penulis adalah Ketua Umum Ikatan Dosen Hukum Tata Negara/Administrasi Negara Provinsi Jambi, Mahasiswa  Program Doctor di Universitas Utara Malaysia, Ketua Tim Seleksi calon anggota KPU Propinsi Jambi 2013-2018. 


Berita Terkait



add images