iklan

Dalam persepsi masyarakat, ketibaan bulan rajab membawa hikmah, paling tidak, mengingatkan kembali sejarah keterimaan perintah shalat, berikut peristiwa agung Isra Mi’raj Nabi Muhammad yang dalam kronologisnya kaya hikmah dan tak terakalisasi. Banyak ragam tradisi masyarakat yang digelar  untuk mengenang peristiwa itu, hingga akulturasi nilai Islam dan nilai budaya lokal makin menguatkan tatanan nilai keindonesiaan.

Isra’ mi’raj adalah peristiwa misterius, ketika nabi akhir zaman diperjalankan dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsa (al-Isra’:1), terus lepas bumi melintasi alam spiritual dan finis di Sidratil Muntaha (an-Najm:16). Meski tanggalnya masih diperperdebatkan, tapi sumber masyhur menyebut kalau peristiwa ini terjadi tahun ke 12 dari kenabian.

Dalam kitab al-Âyah al-Kubrâ fî Syarh Qishshah al-Isrâ` karya Jalaluddin as-Suyuthi, dan al-Isrâ` wa al-Mi'râj oleh Ibnu Hajar al-Asqalani yang mengupas perjalanan nabi di keheningan malam itu, menjadi rujukan tentang kisah agung isra’ mi’raj. Kedua ulama’ ini tak diragukan ilmunya, sebab karyanya hingga kini tetap mewarnai literatur studi Islam di banyak perguruan tinggi .

Sepotong kisah: setelah shalat Isya, nabi diperjalankan dari Masjid al-Haram hingga finish fi Sidratil Muntha dan kembali ke titik nol sebelum subuh (laylan). Perjalanan ini sangat singkat dan bila diukur dengan jam Wib sekarang berkisar 8 jam dengan jarak mungkin miliyaran kilo. Jika itu benar, tentu mengundang kecamuk akal untuk menghitung kecepatan perdetiknya.

Walau perjalanan sekejap tapi sungguh berkesan, sebab setibanya di Makkah, nabi bisa menceritakan seluruh kronologisnya, pada hal dalam kapasitas sebagai manusia biasa, pengalaman spiritual tak pernah cukup kata dalam bahasa budaya untuk mengungkap kerahasiaanya

Ontologi Perjalanan Malam

Ketika ancaman Jahiliyah makin menjadi untuk mengagalkan dakwah Islam pada tahun ke 10, nabi pula diterpa cobaan dengan wafatnya paman Abu Thalib dan disusul kewafatan istrinya Khadijah. Kepergian kedua orang yang dicintai ini membuat nabi berduka. Kedukaan dan kecamuk batinnya beliau tumpahkan pada al-Khaliq

Untuk memulihkan kembali mental dan spirit kepemimpinannya, nabi dibawa ke sidratil muntaha yang dalam perjalanannya diperlihatkan berbagai pemandangan Ilahi untuk meyakinkan kebesaran-Nya, meneguhkan eksistensinya kalau diri beliau bukan sekedar pemimpin lokal melainkan rahmatan lil alamin, dan bukan saatnya lagi bersandar pada charisma paman dan istri yang sebelumnya berkontribusi besar terhadap perjuangannya.

Kenapa peristiwa itu terjadi saat malam, laylan  (al-Isra’:1), karena malam identik dengan kegelapan, kesunyian, keheningan, ketenangan dan kesyahduan, dari hakikat malam itu tersimpul makna khusyu', tawakkal, dan taqarrub, berbeda hakikat siang yang disimbolkan sebagai masa kesibukan, persaingan, keluh kesah, panas dan emosional.

Kata Nasaruddin Umar (2013), lafaz laylah dalam syair Arab klasik, sinonim dengan keindahan "ya laila thul, ya shubhi qif: hai malam, panjanglah, hai subuh berhentilah” dan malam selalu dirindukan kaum sufi dalam menemani kesendiriannya untuk taraqqi dan merasakan manisnya mahabbah ilallah. Imam Syafi’i menulis “man thalabal ula syahiral layali: siapa ingin utama harus selalu berjaga saat malam” dan makna al-layali versi Nasaruddin Umar, diartikan sebagai  keakraban dan kerinduan hamba dengan Allah.

Dalam Al-Quran, malam itu bernilai ibadah: karena tahajud waktunya tengah malam (al-Isra:79), mohon ampun yang lebih baik ada di akhir malam (al-dzariyat:17-18), di bulan ramadhan ada malam yang lebih mulia dari seribu bulan (al-Qadar:3), penobatan Muhammad sebagai Nabi yang ditandai wahyu pertama (al-Iqra’:1-5) juga waktu malam”
Shalat lima waktu kecuali Dhuhur dan Ashar juga masa malam. Magrib ditunaikan saat matahari terbenam di awal malam, Isya’ masanya sepanjang malam, dan Subuh waktunya diakhir malam sebelum matahari terbit (al-Isra’: 78), demikian juga qiyam layl seperti witir, dan tarawih

Perjalanan nabi yang waktunya minallail makin memperkuat ontologi malam sebagai simbol keagungan ibadah, sebab inti perjalanan di malam itu adalah menjemput shalat sebagai: (1) media dialog hamba dengan al-Khaliq; (2)  mi’rajnya orang mukmin; (3) tiang agama; dan, (4) kunci syurga. Wallahu a’lam bissawab,

Penulis adalah Pemerhati Sosial Keagamaan


Berita Terkait



add images