iklan
KESERIUSAN untuk mengevaluasi kinerja pelayanan rumah sakit pemerintah di seluruh Kota dan Kabupaten di Provinsi Jambi, agaknya menjadi sebuah keputusan Gubernur Jambi, H Hasan Basri Agus (HBA). Komitmen ini tak bisa dipandang remeh oleh segenap jajaran rumah sakit.

Saat pertemuan Perdhaki beberapa waktu lalu, HBA melontarkan keluhan, pelayanan rumah sakit pemerintah lebih rendah dibanding rumah sakit swasta. Dikatakannya, banyak masyarakat yang mengeluh. Ini harus menjadi bahan evaluasi. Rumah sakit pemerintah harus melakukan pembenahan, terutama untuk  meningkatkan pelayanan, sarana dan prasarana rumah sakit. Selama ini yang berobat di rumah sakit pemerintah umumnya orang tidak mampu. Namun, itu tidak boleh menurunkan kualitas pelayanan pada masyarakat. Jangan karena yang dilayani masyarakat miskin, lantas tidak dilayani dengan baik.

Gubernur Jambi selaku pemangku kebijakan pemerintah mengungkapkan, saat ini peranan rumah sakit sangat dibutuhkan masyarakat. Diakui juga di Kota Jambi, ada salah satu rumah sakit swasta yang memang pelayanannya cukup baik. Rumah sakit ini telah mampu bersaing, karena memiliki strategi pelayanan yang bagus.

Ironisnya, beberapa waktu lalu para petinggi RS milik pemerintah dengan tegas membantah, atas tuduhan-tuduhan masyarakat terhadap pelayanan RS yang kurang simpatik, diskriminasi, kurang ramah dan segala macam cercaan yang tujukan ke pihak RS. Justru, jurus jitu yang dilontarkan adalah semua upaya tindakan medis yang dilakukan, menurutnya bertindak sudah sesuai berdasarkan prosedur atau SOP yang telah ditetapkan.

 Bahkan, setiap kali ada temuan kasus dan mendapat sorotan publik, dari pihak legislatif dan eksekutif, pihak Rumah Sakit, pun selalu melempar statement untuk secepatnya akan memperbaiki kinerja. Termasuk tidak akan segan-segan untuk memecat setiap petugas rumah sakit yang lalai dalam menjalankan tugasnya  dan merugikan pasein.

Barangkali ada yang terlupa,  atau bahkan mungkin para pengelola rumah sakit, terutama petugas yang berhubungan langsung dengan pasien, sama sekali tidak memehami perangkat hukum sebagai pijakan operasional penyelenggaraan sebuah rumah sakit, yaitu UU No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


Disebutkan ada pertimbangan yang sangat kuat, bahwa menurut UU ini, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengatahuan kesehatan, kemajuan tehnologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat, agar terwujud derajat kesehatan yang setiggi-tingginya.


Namun, sayangnya realitas yang ada tentang tuntutan masyarakat yang merasa dirugikan, sebut saja semisalnya, di RS Raden Mattaher Jambi, ada kasus Angga Tiara Dupika (19) dan bayinya yang masih dalam kandungan meninggal dunia. Di Kabupaten Merangin, ada kasus seorang pasien yang terjangkit posistif HIV, setelah mendapat transfusi darah, Kemudian di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, juga ada sejumlah pasien yang salah diberi obat yang sudah kedaluarsa, dan masih banyak kasus-kasus yang lain. Ternyata penuntasan kasus-kasus tersebut hanya gaungnya saja yang kita dengar.


Tindakan pemerintah untuk memberikan sanksi belum terlihat jelas, baik terhadap pegawai yang melakukan kesalahan, maupun secara fisik terhadap institusi. Yang terdengar pejabat rumah sakit hanya wanti-wanti, jika terbukti petugas rumah sakit lalai akan ditindak tegas, dan baru sebatas itu saja.


Melihat kenyataan ini, sebetulnya ada sebuah harapan dan keinginan besar dari masyarakat, untuk menggugat dan mengembalikan fungsi rumah sakit sebenarnya, yaitu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, etika dan profesionalisme, manfaat, keadilan, persamaan hak  dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta terpenting mempunyai fungsi sosial. Artinya, pelayanan kesehatan tidak membeda-bedakan strata sosial masyarakat.


Sementara, untuk penuntasan setiap kasus yang terjadi, proses hukum  harus ditegakkan. Tuntutan materil masyarakat atas kerugian yang dialami harus dipenuhi, petugas pelayanan yang melakukan kesalahan pun di tindak dan diberi sanksi tegas. Pejabat pemangku kebijakan pun, seharus malu dan  mundur dari jabatannya sebelum benar-benar dipecat, atas ketidak-beresan dalam memimpin rumah sakit.


* Penulis adalah alumni STAI Ma’arif Jambi

Berita Terkait



add images