SEBENARNYA pendidikan itu tidak bisa diklaim bahwa jenjang tertentu lebih penting dari jenjang lain: PAUD lebih penting dari SMA/MA atau SMP lebih penting dari SMA/MA. Setiap jenjang memiliki peran tersendiri dalam membangun karakter siswa.
Untuk itu, dalam rangka pelaksanaan Program Pendidikan Menengah Universal (PMU), Kemdikbud meluncurkan Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk SMA di seluruh Indonesia. Program BOS SMA yang merupakan program utama (icon) PMU ini diharapkan mampu membantu memenuhi biaya operasional sekolah dan memberikan layanan pendidikan yang terjangkau dan bermutu terutama bagi siswa miskin.
BOS SMA adalah program Pemerintah berupa pemberian dana langsung ke sekolah dimana besaran dana bantuan yang diterima sekolah dihitung berdasarkan jumlah siswa masing-masing sekolah dan satuan biaya (unit cost) bantuan. Dana BOS SMA digunakan untuk membantu sekolah memenuhi biaya operasional sekolah non personalia.
Diyakini BOS SMA sebagai wujud keberpihakan terhadap siswa miskin. Sekolah diwajibkan untuk membebaskanbiaya sekolah 100% (fee waive) dan/atau siswa membayar 25%, 50%, atau 75% dari keseluruhan biaya sekolah yang dibebankan kepada siswa miskin(discount fee). Jumlah siswa yang dibebaskan atau mendapat keringanan biaya pendidikan menjadi kebijakan (diskresi) sekolah dengan mempertimbangkan faktor jumlah siswa miskin yang ada, dana yang diterima dan besarnya biaya sekolah.Untuk tahun 2013, satuan biaya (unit cost) program BOS SMA sebesar Rp. 560.000/siswa/tahun.
BOS SMA digunakan sekolah untuk membantu memenuhi kebutuhan biaya operasional sekolah non personalia sesuai dengan Permendiknas No. 69 Tahun 2009, meliputi antara lain: (1) pembelian atau penggandaan buku teks pelajaran; (2)pembelian alat tulis sekolah yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran; 3. penggandaan soal dan penyediaan lembar jawaban siswa dalam kegiatan ulangan dan ujian; (4)pembelian peralatan pendidikan; (5)pembelian bahan habis pakai; (6)penyelenggaraan kegiatan pembinaan siswa/ekstrakulikuler; (7)pemeliharaan dan perbaikan ringan sarana prasarana sekolah; (8)langganan daya dan jasa lainnya; (9) Kegiatan penerimaan siswa baru; (10) Penyusunan dan pelaporan; (Kemdikbud, 2013)
Dana sebesar ini idealnya digunakan untuk membuat proses pembelajaran berlangsung secara kondusif. Apapun program yang dibuat mestinya membuat kenyamanan belajar siswa dan guru. Dan untuk melaksanakan itu, kepala sekolah dan para guru harus memiliki jiwa ‘peneliti’ karena akan mencari informasi tentang ‘kebutuhan, keinginan, harapan, motivasi, kekurangan’ siswa dan guru secara komprehensif bukan main ‘agak-agak’ seperti yang disaran Brindley (1984) dalam melakukan ‘analisis kebutuhan’ (need analysis).
Idealnya, sebelum sekolah/madrasah mengelola dana ini mestinya melakukan: school review, benchmarking, quality assurance dan quality control. (Panduan Manajemen Sekolah, 2000)
Pertama, School review: Suatu proses dimana seluruh komponen sekolah bekerja sama khususnya dengan orang tua dan tenaga profesional (ahli) untuk mengevaluasi dan menilai efektivitas sekolah, serta mutu lulusan. School review dilakukan untuk mencari informasi tentang keunggulan dan kekurangan sekolah secara komprehensif.
Kedua, Benchmarking: Suatu kegiatan untuk menetapkan standar dan target yang akan dicapai dalam suatu periode tertentu. Benchmarking dapat diaplikasikan untuk individu, kelompok ataupun lembaga. Sekolah membuat skala prioritas terhadap program yang akan dilaksanakan
Ketiga, Quality assurance: Apapun hasil kinerja guru dan siswa harus berujung pada reward and punishment. Yang selama ini terjadi adalah perlakuan yang sama terhadap sebuah keberhasilan atau kegagalan. Hampir tidak ada beda antara guru yang berhasil dengan guru yang gagal. Idealnya ada komitmen antara sekolah dan pengawas dsb dengan guru/siswa. Kalau berhasil, maka guru akan diasuransi mendapatkan sesuatu (reward) dan kalau gagal mendapatkan hukuman (punishment). Kalau ini dilakukan pastilah akan muncul motivasi tinggi guru untuk berkreasi.
Keempat, Quality control:Tentu saja keberhasilan sebuah program akan tergantung pada kontrol dari pihak yang berkompeten. Pengontrolan program dana BOS sekolah akan berhasil bila disupervisi oleh ‘orang-orang’ yang ‘berilmu tinggi’ yang berani berdiskusi terbuka dengan para guru. Disarankan supervisor bercirikan: (1) ‘orang’ yang menguasai bidangnya, ‘orang ‘berkeringat’ mendapatkan ilmu itu, bukan orang ‘ditunjuk’ oleh pihak atasan; (2) berpangalaman menjadi guru, guru pada satuan pendidikan yang dievaluasi; (3) ‘kemampuannya’ minimal satu tingkat diatas guru. Ini bisa dilihat dari: (a) pangkat dan golongan, minimal berpangkat satu ‘grid’ diatas guru. Kalau guru berpangkat IV/a, assessor mestinya minimal IV/b; (b) seberapa banyak PTK yang pernah dibuat; (c) seberapa banyak KI dipublikasikan; dll.; (4) berani mengajak para guru berdiskusi terbuka tentang proses pembelajaran.
Jadi inti dari program BOS harus disusun dan dibuat berdasarkan data (grounded theory) bukan hanya hayalan belaka. Sekolah dalam menyusun program dibuat berdasarkan data hasil penelitian pendahuluan (preliminary study) terhadap anak didiknya dalam rangka melakukan analisis situasi (situasional analysis) terhadap sekolah untuk mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi implementasi program itu (Richard, 2002).
Oleh karena itu, setiap program dana BOS sekolah punya instrumen keberhasilan dan kegagalan yang dilakukan secara komprehensif, bukan dengan pola ‘like atau dislike’, bukan berprinsip ‘pokoknya duit habis’, atau pokoknya ada kegiatan dsb.
Sudah saatnya sekolah diberi mandat dan kepercayaan penuh untuk mengelola dana BOS secara mandiri dan didukung oleh pengawas sekolah yang mampuni, yaitu orang yang memahami betul hakikat pendidikan secara utuh sehingga program itu akan melenjitkan prestasi siswa.Selamat kepada sekolah!
*) Pemerhati Pendidikan, Guru MAN Muara Bulian
Untuk itu, dalam rangka pelaksanaan Program Pendidikan Menengah Universal (PMU), Kemdikbud meluncurkan Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk SMA di seluruh Indonesia. Program BOS SMA yang merupakan program utama (icon) PMU ini diharapkan mampu membantu memenuhi biaya operasional sekolah dan memberikan layanan pendidikan yang terjangkau dan bermutu terutama bagi siswa miskin.
BOS SMA adalah program Pemerintah berupa pemberian dana langsung ke sekolah dimana besaran dana bantuan yang diterima sekolah dihitung berdasarkan jumlah siswa masing-masing sekolah dan satuan biaya (unit cost) bantuan. Dana BOS SMA digunakan untuk membantu sekolah memenuhi biaya operasional sekolah non personalia.
Diyakini BOS SMA sebagai wujud keberpihakan terhadap siswa miskin. Sekolah diwajibkan untuk membebaskanbiaya sekolah 100% (fee waive) dan/atau siswa membayar 25%, 50%, atau 75% dari keseluruhan biaya sekolah yang dibebankan kepada siswa miskin(discount fee). Jumlah siswa yang dibebaskan atau mendapat keringanan biaya pendidikan menjadi kebijakan (diskresi) sekolah dengan mempertimbangkan faktor jumlah siswa miskin yang ada, dana yang diterima dan besarnya biaya sekolah.Untuk tahun 2013, satuan biaya (unit cost) program BOS SMA sebesar Rp. 560.000/siswa/tahun.
BOS SMA digunakan sekolah untuk membantu memenuhi kebutuhan biaya operasional sekolah non personalia sesuai dengan Permendiknas No. 69 Tahun 2009, meliputi antara lain: (1) pembelian atau penggandaan buku teks pelajaran; (2)pembelian alat tulis sekolah yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran; 3. penggandaan soal dan penyediaan lembar jawaban siswa dalam kegiatan ulangan dan ujian; (4)pembelian peralatan pendidikan; (5)pembelian bahan habis pakai; (6)penyelenggaraan kegiatan pembinaan siswa/ekstrakulikuler; (7)pemeliharaan dan perbaikan ringan sarana prasarana sekolah; (8)langganan daya dan jasa lainnya; (9) Kegiatan penerimaan siswa baru; (10) Penyusunan dan pelaporan; (Kemdikbud, 2013)
Dana sebesar ini idealnya digunakan untuk membuat proses pembelajaran berlangsung secara kondusif. Apapun program yang dibuat mestinya membuat kenyamanan belajar siswa dan guru. Dan untuk melaksanakan itu, kepala sekolah dan para guru harus memiliki jiwa ‘peneliti’ karena akan mencari informasi tentang ‘kebutuhan, keinginan, harapan, motivasi, kekurangan’ siswa dan guru secara komprehensif bukan main ‘agak-agak’ seperti yang disaran Brindley (1984) dalam melakukan ‘analisis kebutuhan’ (need analysis).
Idealnya, sebelum sekolah/madrasah mengelola dana ini mestinya melakukan: school review, benchmarking, quality assurance dan quality control. (Panduan Manajemen Sekolah, 2000)
Pertama, School review: Suatu proses dimana seluruh komponen sekolah bekerja sama khususnya dengan orang tua dan tenaga profesional (ahli) untuk mengevaluasi dan menilai efektivitas sekolah, serta mutu lulusan. School review dilakukan untuk mencari informasi tentang keunggulan dan kekurangan sekolah secara komprehensif.
Kedua, Benchmarking: Suatu kegiatan untuk menetapkan standar dan target yang akan dicapai dalam suatu periode tertentu. Benchmarking dapat diaplikasikan untuk individu, kelompok ataupun lembaga. Sekolah membuat skala prioritas terhadap program yang akan dilaksanakan
Ketiga, Quality assurance: Apapun hasil kinerja guru dan siswa harus berujung pada reward and punishment. Yang selama ini terjadi adalah perlakuan yang sama terhadap sebuah keberhasilan atau kegagalan. Hampir tidak ada beda antara guru yang berhasil dengan guru yang gagal. Idealnya ada komitmen antara sekolah dan pengawas dsb dengan guru/siswa. Kalau berhasil, maka guru akan diasuransi mendapatkan sesuatu (reward) dan kalau gagal mendapatkan hukuman (punishment). Kalau ini dilakukan pastilah akan muncul motivasi tinggi guru untuk berkreasi.
Keempat, Quality control:Tentu saja keberhasilan sebuah program akan tergantung pada kontrol dari pihak yang berkompeten. Pengontrolan program dana BOS sekolah akan berhasil bila disupervisi oleh ‘orang-orang’ yang ‘berilmu tinggi’ yang berani berdiskusi terbuka dengan para guru. Disarankan supervisor bercirikan: (1) ‘orang’ yang menguasai bidangnya, ‘orang ‘berkeringat’ mendapatkan ilmu itu, bukan orang ‘ditunjuk’ oleh pihak atasan; (2) berpangalaman menjadi guru, guru pada satuan pendidikan yang dievaluasi; (3) ‘kemampuannya’ minimal satu tingkat diatas guru. Ini bisa dilihat dari: (a) pangkat dan golongan, minimal berpangkat satu ‘grid’ diatas guru. Kalau guru berpangkat IV/a, assessor mestinya minimal IV/b; (b) seberapa banyak PTK yang pernah dibuat; (c) seberapa banyak KI dipublikasikan; dll.; (4) berani mengajak para guru berdiskusi terbuka tentang proses pembelajaran.
Jadi inti dari program BOS harus disusun dan dibuat berdasarkan data (grounded theory) bukan hanya hayalan belaka. Sekolah dalam menyusun program dibuat berdasarkan data hasil penelitian pendahuluan (preliminary study) terhadap anak didiknya dalam rangka melakukan analisis situasi (situasional analysis) terhadap sekolah untuk mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi implementasi program itu (Richard, 2002).
Oleh karena itu, setiap program dana BOS sekolah punya instrumen keberhasilan dan kegagalan yang dilakukan secara komprehensif, bukan dengan pola ‘like atau dislike’, bukan berprinsip ‘pokoknya duit habis’, atau pokoknya ada kegiatan dsb.
Sudah saatnya sekolah diberi mandat dan kepercayaan penuh untuk mengelola dana BOS secara mandiri dan didukung oleh pengawas sekolah yang mampuni, yaitu orang yang memahami betul hakikat pendidikan secara utuh sehingga program itu akan melenjitkan prestasi siswa.Selamat kepada sekolah!
*) Pemerhati Pendidikan, Guru MAN Muara Bulian