iklan
Pilwako Kota Jambi 2013 sedang memasuki masa kampanye. Banyak cara yang sudah dilakukan para kandidat dalam mensosialisasikan diri dan melakukan komunikasi politik dengan masyarakat. Dimana, hal ini dilakukan dengan cara memasang baliho di tempat-tempat strategis.

Menjelang pilwako, kita benar-benar sudah dikepung oleh ribuan bendera partai serta poster, spanduk, dan baliho. Kemanapun kita melangkah dan memandang, mata kita berbenturan dengan wajah-wajah para caleg itu. Sebenarnya Cawako dan cawawako dan guru punya misi yang sama. Sama sama ingin rakyat (baca- siswa) senang. Sama sama ingin rakyatnya ‘belajar’ dengannya. Sama sama ingin rakyatnya mendengar dan mengikuti anjurannya. Sama sama ingin rakyatnya memilihnya.


Sebenarnya, para caleg tidak perlu ‘pusing-pusing’, tidak perlu sibuk, tidak perlu menghamburkan uang. Kalau ingin dipilih rakyat, belajar saja dengan guru. Karena para guru juga ‘berpolitik’. Berpolitik untuk memilihnya sebagai orang yang mendengar aspirasinya, mendengar kepentinganya, mempengaruhi rakyat (siswa) untuk selalu belajar.

Diyakini bahwa kalau salah satu pasangan dalam pilwako ini adalah ‘guru saya’, maka saya sudah pasti akan mencoblos pasangan itu. Dan itulah persepsi kita terhadap guru, dia selalu dikenang karena jasanya.

Guru itu peduli dengan rakyatnya. Guru itu adalah teman untuk berbagi cerita. Dia selalu ‘mengabsen’ rakyatnya sewaktu ketemu dan menanyakan dan mendengar keluh kesah rakyat (Kemdikbud). Kalau ‘rakyat’ nya terkena musibah, dia langsung berkunjung untuk memberi simpati.


Guru itu tidak pernah memuji dirinya sendiri dengan memberikan predikat bagi dirinya sendiri: “berani, jujur, merakyat, prorakyat, bermanfaat, bersih, peduli, berpengalaman,  profesional, janjutkan”, dsb. Bagi guru, prediket itu diberikan oleh orang lain karena apa yang sudah diperbuat.


Guru itu percaya diri, tidak pernah tergantung pada pihak lain. Dia tidak pernah membawa bawa ‘orang lain’ (baca- keluarga, tokoh terkenal) dalam urusan bekerja. Guru bekerja berdasarkan program yang disusun secara komprehensif.


Guru itu tidak mengandalkan ‘tampang’ (Rusyan, 2008), tetapi dia mengandalkan ilmu yang dia miliki. “Tampang’ tidak selalu menunjukkan kualitas calon.


Guru itu bekerja tidak mengandalkan uang tetapi mengandalkan keahlian (life skill) yang berikan kepada rakyat (Kemdikbud). Karena uang hanya memberikan kebahagian sesaat, tapi dengan keahlian hidup, rakyat akan bahagia selamanya. Dia selalu memberi ‘kail’ bukan ikan. Menurut guru, beri saja rakyat ‘keahlian hidup’, calon akan dikenang oleh rakyat.


Guru itu tidak mengandalkan baliho, poster, spanduk, dll. Dia tidak ‘menjual dirinya’ melalui media. Dia tidak menempel poster, balihonya di tiang listrik, di pohon, di pagar, di tembok-tembok rumah, dll. Guru mengandalkan proses interaksi dan komunikasi yang efektif, bahasa yang mudah dimengerti (Celce-Murcia, 1987)  


Guru itu tersenyum setelah pekerjaannya selesai, bukan tersenyum dulu kepada rakyat, baru mulai bekerja. Ini menunjukkan keseriusan dan ketekunan guru dalam bekerja. Tersenyum bagi guru merupakan sinyal bahwa ‘rakyat’ sudah bisa menikmati hidupnya yang berasal dari ilmu dan keahlian yang diberikannya dan senyum melihat rakyatnya bisa hidup bahagia, sejahtera, aman, sentosa akibat kiat yang diberikan sang guru.


Guru itu berjanji berdasarkan data. Apapun yang dilakukan guru selalu didasarkan data dan informasi yang diperoleh dari ‘preliminary study’ (studi pendahuluan) (Alwasilah, 2007). Studi in dilakukan untuk mengetahui apa apa saja kebutuhan rakyat, apa yang sedang diperlukan, dialami oleh rakyat. Dia tidak akan memberi rakyat ‘kalender, baju kaos’ kalau rakyatnya sudah punya. Berjanji itu penting. Janji itu menunjukkan ilmu dan program yang dimiliki. Janji itu visi dan misi kedepan. Tapi bukan ‘obral’ janji.


Guru tidak pernah ‘pamer’ harta dalam menarik hati ‘siswanya’. Dia tidak mengekspos, dia punya ini, punya itu, bangun ini, bangun itu. Guru ‘hanya’ pamer ketulusan. Kejujuran, keseriusan dalam mendidik ‘rakyatnya.


Guru bukan ‘camera face’ yang selalu ingin disorot kamera. Dia bekerja bukan menunggu kamera ‘on’ supaya diekspos di media. Guru bekerja kalau waktunya bekerja sesuai aturan yang sudah ditetapkan.


Guru itu berada di tempat yang paling mulia, karena melakukan transformasi pembelajaran untuk rakyat, menyediakan fasilitas pembelajaran, kesabarannya, telaten dan memberikan perhatian penuh pada rakyat (Uzer Usman,1997).  Sebagai guru, dia selalu memikirkan pendidikan untuk rakyatnya. Menjadi guru di bidang apapun harus mencintai dan memberikan perhatian penuh pada rakyat dan mencintai pekerjaannya dengan ikhlas.

Semoga, pilwako Kota Jambi 2013 berjalan dengan lancar, proses dan hasilnya bisa diterima semua pihak. Bagi pasangan yang unggul: ‘jangan lupa memperhatikan guru!”

*) Pemerhati Pendidikan, Guru MAN Muara Bulian, Anggota PELANTA

Berita Terkait



add images