iklan
BERBICARA mengenai penanggulangan kejahatan, tidak bisa dilepaskan dari korban kejahatan. Karena setiap kali terjadinya kejahatan hampir dapat dipastikan menimbulkan kerugian korban. Korban kejahatan tidak saja menanggung kerugian yang bersifat materil berupa hilangnya harta benda , sumber ekonomi bahkan nyawa. Namun juga kehilangan hal-hal yang bersifat immateril, berupa tekanan psycologis seperti timbulnya rasa takut, sedih bahkan trauma yang berkepanjangan.

Terkait dengan derita yang dialami korban akibat sebuah tindakan kejahatan, pertanyaan yang relepan diajukan adalah apakah kebijakan hukum pidana indonesia melalui dua pilar utama hukum pidana yakni peraturan perundangan pidana (pidana materil) dan sistim peradilan pidana (pidana formil), telah mengadopsi secara memadai aspek perlindungan korban kejahatan.  Lebih jelasnya, apakah hukum pidana indonesia telah memuat secara khusus ketentuan yang jelas dan tegas tentang bentuk-bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan atau apakah hukum pidana indonesia menganut pemahaman bahwa perlindungan terhadap korban merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penjatuhan pidana terhadap pelaku kejahatan sehingga tidak perlu diatur secara khusus.


Dari perspektif viktimologi, hukum acara pidana nasional atau  hukum pidana formil (KUHAP) belum memuat ketentuan yang jelas, tegas dan proporsional tentang perlindungan terhadap hak-hak korban kejahatan.  Hukum acara pidana cenderung terlalu memberi perhatian pada pelaku kejahatan dan pemenuhan hak-haknya, sementara hak-hak korban kejahatan, yang merasakan secara langsung akibat dari sebuah perbuatan pidana, relatif terabaikan. Hukum acara pidana sebagaimana diatur dalam KUHAP juga memuat ketentuan yang timpang antara hak-hak korban dengan pelaku kejahatan. KUHAP memuat 16 (enam belas) Pasal yang berkaitan dengan perlindungan korban kejahatan, sementara untuk perlindungan terhadap pelaku kejahatan diatur di dalam 270 (dua ratus tujuh puluh) Pasal;


Putusan Majelis Hakim belum memenuhi ketentuan KUHAP tentang perlindungan terhadap hak-hak korban kejahatan. Hal itu terbukti dari hasil penelitian penulis terhadap 6 (enam) putusan Pengadilan Negeri Jambi, dimana di dalam ke enam putusan tersebut, sama sekali tidak ditemukan keputusan yang mengatur tentang pemenuhan hak-hak korban dan keluarganya.


Konsepsi pembaharuan hukum pidana mengenai perlindungan hak-hak kor-ban kejahatan harus berangkat dari pemahaman bahwa minimnya perhatian hukum acara pidana nasional  terhadap korban kejahatan, sesungguhnya dapat dilihat sebagai pengabaian dan atau pengingkaran terhadap hak konstitusional warga negara, sebagaimana dijamin oleh UUD 1945, dimana negara menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum danpemerintahan, serta wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pembaharuan hukum acara pidana yang diwujudkan melalui RUU KUHP, khususnya ketentuan yang mengatur tentang perlindungan terhadap hak-hak korban kejahatan, sesungguhnya sudah sangat memadai dan memberi harapan baru terhadap tegaknya hak-hak korban kejahatan.


Untuk perlindungan hak-hak korban kejahatan kedepannya perlu langkah – langkah antara lain :


Dalamhukum acara pidana nasional memuat ketentuan yang jelas, tegas dan berimbang mengenai perlindungan terhadap hak-hak korban kejahatan dan demi tercapaianya tujuan penegakan hukum yakni terciptanya keadilan, maka sudah mendesak kiranya melakukan upaya pembaharuan hukum pidana atau  upaya melakukan peninjauan dan pembentukan kembali(reorientasi dan reformasi) ketentuan hukum acara pidana mengenai perlindungan terhadap korban kejahatan yang sesuai dengan nilai-nilai sentralsosio-politik, sosio-filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia;


Agar putusan Hakim dapat memenuhi ketentuan KUHAP yang berlaku saat ini, maka seyogyanya tidak pasif menunggu permintaan ganti kerugian diajukan oleh korban namun aktif mengambil prakarsa untuk menanyakan kepada korban dan atau keluarganya, apakah ingin mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pelaku  tindak pidana dan mencantumkan dalam putusannya tentang ganti kerugian yang harus dilakukan oleh Pelaku terhadap korban tindak pidana. Prakarsa tersebut dimungkinkan karena ketentuan Pasal 98 KUHAP tidak melarang Hakim untuk melakkukannya.


Agar konsepsi pembaharuan hukum pidana nasional mencapai tujuannya yakni tecapainya keadilan, maka terhadap korban kejahatan perlu diberikan perlindungan berupa pemberian kompensasi dan restitusi.  Terkait dengan kerugian materiil yang dialami oleh korban kejahatan,  maka pelaku kejahatan bertanggungjawab untuk memberikan restitusi berupa ganti rugi kepada korban kejahatan. Sementara terhadap penderitaan psikis yang dialami oleh korban kejahatan, negara dan masyarakat bertangggungjawab memberikan kompensasi berupa perlindungan hukum dan pemulihan secara psikologis. Ketentuan pemberian kompensasi dan restitusi, seusngguhnya sudah termaktub dalam sejumlah perundang-undangan pidana di luar KUHP. Dengan demikian, tantangan utama dalam pembaharuan hukum pidana nasional terkait pemberian perlindungan terhadap korban kejatan adalah bagaiamana merekonstruksi bentuk-bentuk perlindungan yang sekarang tersebar dalam hukum pidana khusus, terhimpun sedemikian rupa di dalam payung hukum pidana nasional, baik hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil, sehingga berlaku umum untuk segala bentuk tindak pidana.


(* penulis adalah pengamat hukum dan pemerintahan / ketua STIE muhammadiyah Jambi

Berita Terkait



add images