iklan
OTONOMI daerah berkaitan erat dengan demokrasi. Konsekuensinya harus ada mekanisme pengisian jabatan-jabatan politik sebagai pelaksana roda pemerintah di daerah yang diselenggarakan secara demokratis.

Saat ini mekanisme pengisian pimpinan daerah diselenggarakan melalui Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemulikada) secara langsung. Pemilukada diharapkan dapat menemukan pemimpin lokal yang bijak dan pro rakyat. Begitu juga halnya di Kota Jambi, saat ini sedang dihinggapi euforia pesta demokrasi yang sudah masuk pada tahap kampanye calon walikota. Sedangkan pencoblosanya pada 29 Juni 2013 mendatang.


Berbagai tawaran politik dan janji indah serta kegiatan yang berbau sosial, mendatangkan juru kampanye nasional serta artis papan atas. Walaupun biaya yang dikeluarkan tidak sedikit akan tetapi ongkos politik tersebut tidak menjadi soal bagi sang kandidat.    


Dewasa ini aroma demokrasi sudah menguap jauh sebelum pencalonan atau kampanye. Setahun atau dua tahun bahkan jauh sebelum masa pemilihan, sudah bergentayangan spanduk, baliho, iklan berbagai orang yang mendalilkan pemimpin yang cocok untuk Kota Jambi lima tahun kedepan. Baik yang incumbent maupun yang tidak, baik mewakili partai maupun perseorangan semua berlomba-lomba untuk mencari popularitas. Artinya kesejahteraan rakyat adalah fakta empiris yang harus direalisasikan. Walaupun sejak republik ini berdiri belum terealisasi seutuhnya.


Karut marut pesta demokrasi yang kebabasan ini tidak terlepas dari ketidaksepahaman mengenai arti penting demokrasi itu sendiri. Demokrasi hanya ditekankan pada prosedural saja dan diartikan sebagai ajang unjuk kepopuleran, janji indah dan barter politik.  


Bagir Manan menyatakan,   kehadiran demokrasi tidak sekedar diukur oleh adanya pranata demokrasi seperti Pemilihan Umum dan lembaga politik saja. Tetapi demokrasi adalah mekanisme demokratik merupakan penentu untuk mengukur kehadiran demokrasi yang riil, baik dalqm kehidupan Negara. Secara kultur demokrasi akan subur apabila ditopang oleh moral dan etika politik.  


Posisi Wakil Kepala Daerah

Secara sejarah peraturan perundang-undangan yang ada terkait pemerintah daerah masih memposisikan wakil kepala daerah sebagai pelengkap jabatan kepala daerah. Mulai dari UU 22 Tahun 1948 mengatur wakil kepala daerah ditunjuk jika kepala daerah berhalangan. Begitu juga UU No. 5 tahun 1974 menempatkan kepala daerah sebagai jabatan karir bukan jabatan politik sedangkan UU No. 22 tahun 1999 menyatakan bahwa wakil kepala daerah dicalonkan berpasangan dengan calon kepala daerah dan dipilh oleh DPRD. Hal yang sama dalam UU 32 tahun 2004 dimana wakil kepala daerah dicalonkan berpasangan dengan mekanisme baru dan berbeda dari sebelumnya yaitu dipilih secara langsung.

Dalam konteks saat ini UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah khususnya pasal 26 hanya memberikan tugas yang bersifat koordinasi, fasilitasi, pembinaan, dan pengawasan, monitoring serta tugas-tugas lain kepada wakil kepala daerah. Padahal tugas tersebut bisa dilaksanakan oleh Skretaris daerah, asisiten, staf ahli dan SKPD ataupun lembaga teknis daerah lainnya.  


Ketidak jelasan kewenangan dan bargaining wakil kepala daerah ini menjadi salah satu penyebab ketidak harmonisan hubungannya dengan kepala daerah, disamping perbedaan pandangan, kepentingan politik. Hal ini tampak dari seringnya terjadi gesekan dalam pelaksanaan pemerintah seperti pengisian jabatan struktural, proyek-proyek penting   dijajaran pemerintahan.  


Alasan Penghapusan

Setidaknya ada tiga alasan kenapa jabatan wakil kepala daerah dihapuskan saja. Pertama secara konstitusional UUD 1945 tidak ada menyebutkan posisi wakil kepala daerah. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 hanya menyebutkan kepala daerah saja. Munculnya wakil kepala daerah karena penganalogian para pembuat UU terhadap presiden dan wakil presiden, padahal secara konstitusional wakil kepala daerah tidak masuk dalam pengaturan mengenai pemerintah daerah dalam UUD 1945. Jika wakil kepala daerah dihapuskan tidak akan menciderai nilai-nilai konstitusional.

Kedua jabatan wakil kepala daerah tidak efektif dan memboroskan anggaran. Memang ada yang mengatakan demokrasi itu mahal harganya, tapi penulis menilai pemborosan anggaran untuk demokrasi adalah demokrasi yang kebablasan. Tentunya anggaran yang dialokasikan terbuang percuma jika posisinya hanya sebagai kacung atau pesaingnya kepala daerah. Lemahnya posisi kedudukan, fungsi dan tugas Wakil kepala daerah merupakan ketidak efektifan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Jika jabatan ini dihapuskan tentunya dapat mengemat trilinan rupiah   dan dana dapat dialokasikan untuk pembangunan daerah.  


Ketiga alasan historical yuridis bahwa sejarah peraturan perundang-undangan tentang pemerintah daerah selalu memposisikan wakil kepala daerah sebagai pelengkap. Wakil kepala daerah diposisikan dibawah kepala daerah. Kewenangan dan tugasnya hanya melaksanakan hal yang bersifat koordinasi, fasilitasi, pembinaan, dan pengawasan, monitoring serta tugas-tugas lain yang sebenarnya bisa dilaksanakan dan masuk tupoksi SKPD atau lembaga teknis daerah lainya. Posisi yang tidak setara ini memantikan persaingan yang tidak sehat antara wakil dan kepala daerah.   Sebenarnya pelaksanaan roda dan birokrasi pemerintah daerah sudah dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah bukan wakil kepala daerah..


Keempat menghindari konflik penyelengaraan pemerintah daerah. Pengalaman Pemilukada dalam lima tahun belakangan hanya 5,16% pasangan calon kepala daerah dan wakilnya yang tetap dalam satu paket maju kembali mencalonkan diri sedangkan 94,84% kepala daerah membentuk tim baru lagi dan saling berhadapan. Hubungan antara kepala daerah dan wakilnya menjadi runyam dikarenakan masing-masing ingin menyosialisasikan diri kepada calon pemilih sedini mungkin dengan berbagai cara.


Penulis adalah   Staff Hukum dan Analisis Kebijakan KKI Warsi

Berita Terkait



add images