iklan
Mencermati tema Peringantan Hari Lingkungan Hidup yang disampaikan Pemerintah Propinsi Jambi melalui Kepala Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Jambi,yaitu ubah perilaku dan pola konsumsi untuk selamatkan lingkungan.(JE 20 Juni 2013 hal 3,kolom 4).Barangkali tidak cukup hanya dengan mengubah perilaku dan pola kunsumsi saja. Mungkin di perdalam lagi,pesan apa saja dari tema tersebut yang perlu kita pahami. Bagaimana sikap kita terhadap lingkungan hidup,terutama terhadap lingkungan hidup Indonesia yang di anugerahkan Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia. Memperhatikan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi,lautan bahkan angkasa wilayah Indonesia,yang dikatakan zamrud di khatulistiwa,bahkan ada yang mengatakan Indonesia bagai sepotong surga yang terlempar ke dunia.  Tanah Air Indonesia merupakan karunia dan rahmat NYA yang wajib di lestarikan dan di kembangkan kemampuannya agar dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup  lainnya demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri. (penjelasan pasal 1 UU RI No.23 1997 Tentang Penglolaan Lingkungan Hidup). Pertanyaanya, perilaku siapa saja yang harus jadi perhatian. Penulis paling tidak ingin mempertajam kandungan pesan yang ada didalamnya. Semua pihak,termasuk pihak pemerintah sendiri yang berperan sebagai pelaksana pembangunan. Dimana pembangunan dilaksanakan pada umumnya berorientasi pertumbuhan ekonomi untuk mendukung peningkatan kesejahteraan.

Tidak jarang terjadi dalam memacu pertumbuhan ekonomi,seringkali terjadi dampak yang tidak terduga terhadap lingkungan alam dan lingkungan sosial. Pembangunan yang dilakukan dengan menggali dan meng ekspolarasi sumber daya alam seringkali tanpa memperdulikan lingkungan dan menimbulkan berbagai masalah.Pengelolaan pembangunan yang diperkirakan mempunyai dampak terhadap lingkungan, dipersyaratkan untuk memperhatikan lingkungan hidup. Dalam perkembangannya,maka setiap aktifitas pembangunan yang bersentuhan dengan lingkungan hidup, memerlukan suatu standar mengenai Baku Mutu Lingkungan Hidup,yaitu ukuran batas atau kadar mahcluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau yang harus ada dan/atau unsur pencemar lingkungan yang ditenggang keberadaannya dalam suaru sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.


Apabila terjadi kesalahan dalam pelaksanaan pembangunan tanpa memperhatikan planologi kota/daerah, tidak menutup kemungkinan terjadi kerusakan lingkungan. Misalnya penurunnan kualitas lingkungan, kerusakan ekosistem lingkungan,pencemaran terhadap media lingkungan, menghilangkan daerah tangkapan air, dan berkurangnya daerah resapan air dan pada akhirnya akan merugikan masyarakat sekitarnya. Pertanyaannya; Apa bila terjadi kesalahan dalam pembangunan dan mengakibatkan dampak seperti dimaksud diatas, apakah Merupakan Tindakan Pidana dan Bagaimana Penegakan Hukum Pidana dalam hal seperti tersebut diatas ?


Ada dua macam tindakan pidana yang diperkenalkan dalam UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu ; Delik Materil dan Delik Formil. Delik Materil merupakan perbuatan melawan hukum yang menyebabkan pencemaran dan pengrusakan lingkungan. Perbuatan melawan hukum seperti ini tidak harus bergantung ada atau tidaknya pelanggaran hukum Adminstrasi, sehingga delik materil ini disebut juga Administrative Independent Crime. Sedangkan delik formil diartikan sebagai perbuatan melaggar aturan hukum administrasi, seperti Izin dan/atau Dokumen Pemantauan dan Pengelolaan Lingkungan (DPPL). Oleh karena itu Delik Formil juga di kenal dengan Administrative Dependent Crime.


Tindak pidana atau delik yang diatur dalam pasal 41 dan pasal 42 U.U No.23 TH 1997,  diklasifikasikan sebagai delik Materil. Ancaman hukuman bagi pelaku pencemaran yang dikategorikan delik materil ini adalah Pidana Penjara paling lama 10 tahun dan denda setinggi - tingginya   Rp. 500.000.000,- jika dilakukan dengan kesengajaan. Sedangkan perbuatan tersebut menimbulkan kematian, ancaman hukumannya   adalah 15 tahun    penjara  dan denda sebesar Rp. 750.000.000,- Delik materil yang dilakukan karena kealpaan diancam hukuman 3 tahun penjara dan denda setinggi-tingginya Rp. 100.000.000,-, dan bila perbuatan tersebut menimbulkan kematian, pelakuannya dapat diancam penjara selama lamanya 5 tahun penjara dan denda setinggi-tingginya Rp. 150.000.000,-


Untuk membuktikan kesalahan pelaku dalam delik materil, polisi harus membuktikan adanya perbuatan melawan hukum atau delik yang mengakibatkan timbulnya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Selanjutnya, untuk membuktikan telah terjadi pencemaran harus dibuktikan pula bahwa zat pencemar yang ada dalam air, udara, tanah, telah melewati nilai ambang batas yang telah ditentukan.Dalam konteks ini, pembuktian delik materil memang sulit karena memerlukan pembuktian ilmiah (scientific evidence) seperti kadar pencemaran, hubungan effluent dengan penyakit yang diderita korban dan lain-lain. Kesulitan seperti ini memang kerap kali memjadi kendala dalam penegak Hukum Lingkungan.


Berhubung polisi tidak dipersiapkan secara khusus untuk mempersiapkan pembuktian ilmiah, menurut UU No.23 Tahun 1997, dimungkinkan polisi meminta bantuan PPNS bidang Lingkungan Hidup sebagai penyidik pembantu,guna menandingi bukti yang diajukan pelaku pencemaran. Ini sangat mungkin dilakukan karena PPNS bidang Lingkungan Hidup yang mempunyai keahlian di bidang limbah dan polutan.


Kalau Polisi dan PPNS tidak bisa bersaing dengan sipelaku pencemaran dalam pembuktian ilmiah, UU No.23 Tahun 1997 mengantisipasinya dengan memperkenalkan Delik Formil. Ketentuan ini memberikan kemudahan kepada penegak hukum dalam pembuktian. Dalam hal ini penegak hukum tidak perlu mempersiapkan bukti ilmiah, karena yang dimaksud dengan delik formil adalah perbuatan melawan ketentuan perundang undangan yang berlaku tentang perbuatan melanggar izin dan/atau Dokumen Pemantauan dan Pengelola Lingkungan (DPPL).


Delik Formil diatur dalam pasal 43 dan pasal 44 UU No.23 Tahun 1997, unsure atau elemen delik formil secara eksplisit dapat dilihat pada pasal 43 ayat (1) sebagai berikut ;

“Barang siapa yang dengan melanggar ketentuan perundang undangan  yang berlaku, sengaja melepas atau membuang zat,energi dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk diatas atau kedalam tanah, kedalam udara, atau kedalam air permukaan, melakukan impor, eksport, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan tersebut menjalankan instalansi berbahaya, pada hal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan keselamatan umum atau nyawa orang lain, diancam dengan pidanapenjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,-  (tiga ratus juta rupiah)”

Dari uraian diatas jelas bahwa kegiatan pembangunan yang menurunkan kwalitas lingkungan adalah merupakan Tindak Pidana Lingkungan. Penulis berpendapat tema dari peringatan hari lingkungan hidup seperti diatas perlu di pertajam lagi,tidak sekedar merubah perilaku,dan tidak sebatasnya suksesnya acara peringatan hari lingkungan hidup. Yang penting bagaimana kedepannya perhatian kita  terhadap kelestarian lingkungan hidup kita.  Penegakan Hukum Pidana Lingkungan harus menjadi Komitmen kita bersama. Demi lingkungan hidup yang di Anugerahkan Tuhan Yang Maha Esa,dan merupakan titipan dari anak cucu kita.


(* Penulis adalah Pemerhati Lingkungan Hidup/Ketua STIE Muhammadiyah Jambi/Komunitas PELANTA Jambi.


Berita Terkait