iklan
PALU Komisi Pemilihan Umum Kota Jambi memang belum diketok sebagai tanda disahkannya pemegang tampuk kekuasaan di Tanah Pilih Peseko Betuah ini sebagai hasil perhelatan Pemilu Kada Wako dan Wawakota periode 2013-2018. Namun dari hasil perhitungan cepat (quick count / real count) yang dilakukan berbagai pihak baik yang ‘indpendent’ maupun yang dilakukan oleh timses masing-masing kandidat sudah dapat gambaran sementara. Dari data yang beredar di tengah masyarakat saat ini (bersumber dari Pengolahan Data Elektronik Desk Pilkada Jambi) menunjukkan FAS 35.21%, Simpatik34,16%, FENA 19.1%, dan Bayer 11.54% (JE 30 Juni 2013). Beberapa lembaga lain juga menyampaikan data yang tidak jauh berbeda. Hanya saja sedang terjadi claim antara pasangan FAS dan Simpatik yang mengaku kemenangan masing-masing.

Tulisan ini tidak untuk memperdebatkan klaim-klaim tersebut karena keputusan KPU beberapa hari mendatang akan menjadi penentu klaim tersebut. Apa yang terpenting adalah apa pun keputusan KPU nantinya harus dihormati dan diterima dengan lapang dada. Itulah politik, tidak ubah sebuah pertandingan yang mengharuskan ‘kalah’ dan ‘menang’. Pemenang sejati adalah orang yang menghormati kekalahannya. Seharunyalah yang kalah legowo dan yang menang tidak sombong. Amanat rakyat harus dikedepankan.

Tulisan ini mengajak sidang pembaca semua untuk memetik hikmah dari perhelatan besar pesta demokrasi di Kota ‘Melayu’ ini khususnya memaknai kekalahan incumbent. Dari data di atas jelas bahwa Wali Kota aktif Bambang Priyanto berpasangan dengan politisi muda Yeri Muthalip (BAYER) menempati perolehan suara terendah dibanding dengan pasangan lainnya. Ini patut dicermati untuk kemudian dijadikan pelajaran ketika incumbent harus terjungkal di titik nadir. Pertanyaan besarnya adalah ‘mengapa ini terjadi?’. Paling tidak inilah beberapa alasan mendasar.

Pertama, masyarakat Jambi semakin dewasa dalam berpolitik. Di masa lalu para kandidat peserta pemilu selalu pesimis bila berhadapan dengan incumbent yang notabenenya masih memiliki kekuasaan saat diselenggarakannya pemilu. Sering kali kita mendengar ‘kekuasaan’ yang dimiliki oleh incumbent menjadi kekuatan yang luar biasa untuk mengumpulkan suara. Kekuasaan itu bisa berubah menjadi ancaraman, rayuan, iming-iming (jabatan) bagi PNS dan keluarganya, dan lain sebagainya. Agaknya hal ini sudah tidak berlaku lagi. Para pemilih, hususnya PNS yang berada di Kota Jambi tidak lagi bisa diancam atau di rayu sehingga mereka bebas menentukan hak politik mereka sendiri.

Kedua, Janji politik yang tidak ditepati. Ketika incumbent kembali mencalonkan diri untuk berkuasa yang kedua kalinya, masyarakat dengan sangat mudah menilai. Masyarakat dapat dengan langsung melihat, merasakan, dan membuktikan apa-apa yang telah menjadi janji politik saat kampanye. Agaknya ini juga yang menjadi biang penyebab kekalahan incumbent Bambang Priyanto. Ketika janji politik pada saat kampanye periode sebelumnya ‘menjual’ pengobatan gratis dan pendidikan gratis tidak sepenuhnya terbukti, maka masyarakat dengan gampang menentukan pilihan pada kandidat lain.

Intinya, kepemimpinan Bambang Priyanto selama lima tahun terakhir tidak mampu membuktikan kepada masyarakat Jambi terhadap apa yang telah dia ucapkan sebagai janji pilitiknya. Masyarakat Jambi tidak merasakan ada perubahan yang signifikan. Jambi Bernas 2013 tinggal slogan. Klaim wali kota terbaik se-Indonesia, perolehan Adipura, meningkatnya APBD 2013, dst tidak cukup mengobati luka rakyat akan sulitnya akses memperoleh berobat ‘gratis’ dan pendididkan ‘gratis’ yang dijanjikan. Bagi masyarakat, luka-luka ini kemudian menjadi alasan tepat untuk memilih pasangan lain sebagai balas ‘dendam’.

Ketiga, buruknya citra partai pengusung. Sama-sama diketahui bahwa salah satu partai pengusung incumbent Bambang Priyanto adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang saat ini secara nasional sedang dililit berbagai persoalan, dari masalah video porno hingga korupsi impor daging sapi. Diciduknya Presiden PKS oleh KPK karena kasus korupsi membuat partai ini sangat terpuruk. Harus diakui citra buruk partai ini juga memberikan kontribusi terhadap figure yang diusung. Masyarakat menjadi kehilangan kepercayaan dan khawatir tabiat-tabiat buruk partai akan ‘menjangkit’ terhadap kandidat yang diusung. Leih dari itu, tentunya yang juga perlu dipertanyakan sejauh mana kinerja partai dalam memperjuangkan kandidat yang diusungnya. Kesungguh-sungguhan untuk merebut hati rakyat juga sangat penting.

Terakhir, bagi masyarakat Jambi saat ini, yang penting  bukan siapa yang memimpin tetapi lebih kepada apa yang ia lakukan. Silakan saja siapa pun yang ingin mengendarai BH 1 AZ tersebut tetapi kepentingan rakyatlah yang harus menjadi pertimbangan utamanya. Rakyat saat ini sudah sangat cerdas, lebih-lebih rakyat perkotaan seperti di Kota Jambi ini. Mereka tidak lagi bisa diiming-imingi dengan janji-janji politik palsu. Pilihan mereka pasti. Siapa yang berbuat untuk rakyat pasti akan dipilih rakyat untuk memimpin mereka. Jika tidak, silakan minggir. Pelajaran berharganya adalah ‘kekuasaan incumbent tidak lagi bisa dijadikan senjata memenangkan pertarungan di pilkada’. Semoga menjadi pelajaran bagi siapa saja. Amin.

(Penulis adalah dosen IAIN STS Jambi dan Sekjen PELANTA)

Berita Terkait



add images