iklan
Waktu terus berputar, beredar sesuai dengan sunnahnya. Tanpa terasa bulan Ramadhan tinggal menghitung jam untuk dapat kita tunaikan bersama. Bagi seorang muslim di bulan penuh dengan berkah dan pelipat gandaan kebaikan ini, makna puasa bukan hanya sekadar menahan diri dari makan dan minum tetapi mengandung makna tambahan ibadah, kesenangan batin dan spiritual hakiki sebagai manusia menuju penghampaan paripurna kepada Sang Pencipta.
Ramadhan tidak hanya memiliki agenda ritual pribadi semata, lebih dari sekedar ibadah mahdlah tetapi juga ghairumahdlah. Ramadhan menyimpan banyak tabir misteri mengenai keutamaan yang ada di dalamnya. Sehingga banyak kajian ilmu pengetahuan dari syariat hingga hakikat berupaya mengungkap makna yang tersembunyi di balik Ramadhan yang penuh berkah ini.

Bahkan tidak tertinggal juga disiplin ilmu ekonomi menempati ruang diskusi dan debat yang cenderung mengundang banyak ilmuan untuk berbicara tentang Ramadhan yang sudah pasti disandingkan dengan pendekatan teori dan matemtika ekonomi yang dianggap telah mapan dan layak turut serta berbicara mengenai keutamaan Ramadhan terutama gejala ekonomi di bulan Ramadhan.

Secara teori syariat dan makrifat Ramadhan hadir sebagai pengendali dan obat bagi jiwa yang telah lama dihiasi dengan kecenderungan hawa nafsu yang sesaat, konsumsi yang berlebihan, minimnya empati dan simpati terhadap sesama yang selama 11 bulan terdahulu menjadi hal yang biasa dan tidak bisa hilang karena ego yang membabi buta.

Dalam sebuah Hadits riwayat Ibnu Khuzimah Rasulullah pernah ditanya oleh Ali bin Abi Thalib, apa amalan terbaik di bulan Ramadhan, Rasulullah menjawab amal tersebut adalah mengendalikan diri. Jika dalam ilmu psikologi ada dikenal sebuah istilah Deferred gratification yaitu sebuah kemampuan seorang individu dalam proses pengendalian impuls emosi, yang secara ilmiah terbukti mampu memberikan efek positif dalam prestasi dan kesuksesan di masa mendatang bagi individunya, maka puasa adalah berkah yang diturunkan oleh Allah SWT khusus kepada umat pilihan ini, sebagai salah satu kewajiban yang dapat bermanfaat dalam proses menajamkan kemampuan Deferred Gratification, dan empati sosial seorang muslim. Artinya adalah melalui Ramadhan kita diajak kembali memasuki kuliah psikologi, kuliah sosiologi dan antropologi dimana semua kajiannya tidak bisa melepaskan diri dari objek social dan lingkungan yang ada di sekitar kita.

Prosesi pengendalian yang diungkapkan lewat puasa ini mewakili bentuk penguasaan ego sebagai usaha mengatasi kesenangan-kesenangan jasmani demi meraih keridhoan dan kecintaan Allah yang penuh berkat, kedekatan kepada-Nya yang didasarkan kepada sifat ikhlas dan kasih saying sehingga tujuan akhir dari nilai taqwa sebagaimana dalam firman-Nya Q.S. 2: 183 tercapai dan teraplikasi dalam kehidupan 11 bulan yang akan datang.

Tentunya berbagai keutamaan-keutamaan Ramadhan menjadi semacam trigger utama untuk mengoptimalkan peluang yang terbuka sangat luas dalam menyeka remah-remah kekhilafan dan dosa di bulan-bulan yang lalu, berbagai aktivitas ibadah selain kewajiban puasa, banyak ditunaikan oleh para muslim demi meraih keberkahan bulan Ramadhan ini. Namun ironisnya persepsi ini juga menjadi semacam fenomena paradoks bagi banyak umat muslim.

Sebab, seolah Ramadhan memberikan warna dan lingkup konsumsi yang berbeda secara nilai ekonomi dibandingkan dengan waktu yang lain di luar Ramadhan. Sehingga Ramadhan menjadi kambing hitam dalam menghalalkan daya konsumsi yang berlebihan dan tanpa ada sekat yang menghalang dan menghadang guna bersikap Qana’ah dalam mengkonsumsi makanan. Peningkatan pola konsumsi masyarakat di bulan ini dapat tercermin dari tren indikasi tingkat inflasi yang tercatat oleh BPS.
 
Prilaku Konsumtif
Konsumsi yang berlebihan sepertinya sudah menjadi rahasia umum masyarakat muslim Indonesia tiap kali Ramadhan tiba dan menghampirinya. Ramadhan menjadi kambing hitam dalam mengkonsumsi secara berlebihan, Ramadhan dianggap bulan yang di dalamnya penuh keberkahan, termasuk berkah dalam konsumsi dan jual beli. Akhirnya perilaku konsumsi yang berlebihan ini dianggap hal yang lumrah dan wajar saja dan telah menjadi tradisi yang membudaya.

Ada beberapa indicator yang menyebabkan pola konsumsi masyarakat muslim kita meningkat dan berlebihan yang kemudian mengakibatkan inflasi menjadi menu ekonomi tahunan selama Ramadhan tiba menghampiri segenap Muslim dunia khususnya Muslim Indonesia. Diantaranya adalah Pertama, sudah menjadi kebiasaan (ritual) masyarakat Indonesia ketika menjelang ramadhan ataupun Lebaran akan saling mengunjungi sanak saudara dengan membawa sesuatu, berupa makanan, sebagai buah tangan yang bisa diberikan ke keluarganya, yang disebut dengan berbagai tradisi daerah masing-masing sanjoan, punjungan dan lain sebagainya.

Kedua, ada kecenderungan selama Ramadhan selalu menampilkan menu makanan yang berbeda dan berlebih dari menu di hari-hari yang biasa menjelang Buka Puasa dan Sahur. Ketiga, ada terbesit perasaan dan merasa kurang afdhol jika puasa tiba tanpa menyandingkan menu yang beragam di meja makan dan dapur keluarga.

Hal ini yang menjadi penyebab dari meningkatnya permintaan terhadap kebutuhan pokok, sehingga harga-harga kebutuhan pokok tersebut akan mengalami kenaikan.
 
Kelangkaan Barang
Seringkali terjadi pada saat menjelang ramadhan dan menjelang iedul fitri barang-barang, terutama untuk kebutuhan pokok, menghilang dari pasaran. Sehingga barang-barang sulit untuk di cari dan menjadi barang yang langka. Ketiadaan barang di pasaran akan menjadi penyebab dari naiknya harga barang tersebut, karena terjadi ketidakseimbangan antara permintaan barang dan supply barang.

Adakalanya kejadian seperti ini disebabkan oleh faktor alami dan ada pula terjadi karena faktor buatan. Faktor alami lebih disebabkan oleh besarnya permintaan di masyarakat terhadap suatu barang tertentu, namun tidak terimbangi oleh keberadaan barang tersebut di pasar oleh sebab kondisi yang sebenarnya terjadi. Masyarakat yang meningkat konsumsinya tidak dibarengi dengan peningkatan sirkulasi barang dipasaran.

Faktor manusia, merupakan kesengajaan yang dilakukan oleh para pelaku pasar untuk menaikkan harga-harga barang tersebut, dengan sengaja menghilangkan barang tersebut di pasar dengan cara melakukan penimbunan barang-barang yang dibutuhkan. Pada saat yang dianggap tepat para penimbun baru akan mengeluarkan barang tersebut dan menjualnya di pasar. Lain daripada itu sikap panic yang berlebihan akan kondisi pasar yang tidak stabil selama Ramadhan dan menjelang Idul Fitri menyebabkan masyarakat melakukan aksi borong barang-barang kebutuhan pokok di pasaran.

Sehingga konsumsi yang berlebihan secara sepihak menyebabkan kelangkan barang secara tidak normal juga mengakibatkan nilai jual barang menjadi sedikit meningkat dari harga pasaran yang normal.

Perilaku buruk para distributor dan produsen yang melakukan aksi penimbunan barang juga menjadi hal yang sangat menentukan kondisi dan status inflasi yang selalu menjadi tamu istimewa Ramadhan ini.

Problem Distribusi
Jalur distribusi barang dari daerah penghasil ke daerah pengguna (konsumen) berkaitan erat dengan sarana dan prasarana transportasi yang dilalui oleh distributor. Jauh-dekatnya jarak, kondisi jalan dapat berpengaruh atas penentuan harga barang. Tinggi-rendahnya retribusi jalan, harga Tol, dan harga BBM menjadi bagian yang menentukan harga barang. Hal tersebut kemudian mampu mempengaruhi lancar dan tidaknya distribusi barang tersebut dari satu daerah ke daerah lain yang akhirnya ongkos produksi menjadi naik, kondisi barang di pasaran tujuan cenderung tidak stabil, stok barang menipis yang kesemuanya menyebabkan harga barang menajdi naik.

Solusi Antisipatif
Ramadhan hadir sejatinya menjadi Madrasah bagi kita untuk mengekang hawa nafsu, Ramadhan hadir juga menjadi Praktikum terhadap materi Kuliah Agama yang selama ini kita konsumsi di bangku sekolah, mimbar masjid dan ceramah agama lainnya. Sehingga tidaklah etis jika Ramadhan menjadikan nilai konsumsi naik dan bahkan di atas rata-rata konsumsi di bulan lain. Oleh karena itu perlu ada sikap yang arif dan bijaksana dalam mensikapi Ramadhan kali ini.

Sehingga laju inflasi dapat ditekan, nilai ekonomi tidak jeuh melambung. Sehingga penulis menawarkan beberapa solusi agar Ramadhan tidak dimaknai secara konsumtif belaka dan laju Inflasi dapat ditekan secara normal yang mengakibatkan ekonomi cenderung stabil.
Solusi tersebut yang dimaksud adalah pertama, menghadirkan pola konsumsi yang biasa dihadirkan di hari-hari sebelum Ramadhan. Sebab, pesan Ramadhan bukan menampilkan pola konsumsi yang berlebih tetapi lebih kepada Hakikat Puasa itu sendiri, yakni mengekang hawa nafsu dalam mengkonsumsi dan berperilaku ekonomi.

Kedua, diharapkan kepada masyarakat Muslim tanah air agar tidak panik dalam menghadapi Ramadhan dan Idul Fitri terhadap kondisi barang yang ada dipasaran. Sehingga aksi borong sembako, dan penimbunan secara individu bagi consumer tidak perlu terjadi. Khsusunya kepada Distributor, sudah menjadi gejala yang memiliki taraf kebiasaan, jika menjelang Ramadhan dan Idul Fitri tiba cenderung melakukan aksi timbun barang yang menyebabkan abrang langka di pasarang sehingga harga barang naik secara drastis.

Keempat, menjadi fenomena tersendiri pada bulan ramadhan selalu dibarengi dengan kondisi transportasi yang tersendat-sendat, terutama menjelang hari raya idul fitri, seluruh sarana transportasi akan terpenuhi oleh perpindahan orang dari kota ke daerah. Sehingga kesibukan di dunia transportasi meningkat lebih dari 100%, dan inipun khusus untuk transportasi yang mengangkut orang.

Oleh karena fokus transportasi tersebut, sehingga menyebabkan transportasi yang digunakan untuk mengangkut barang kebutuhan masyarakat akan tersendat dan terlambat. Situasi jalan raya akan mengalami kemacetan dan tidak lancar hingga sedemikian rupa. Sehingga hal ini akan menjadi penyebab utama dari kelangkaan suatu barang pada salah satu daerah, dan akan menjadikan permintaan tidak terpenuhi. Yang terjadi kemudian harga-harga akan mengalami kenaikan secara signifikan. Jika semua ini bisa dikendalikan dan diatasi, Inflasi yang kerap menajdi tamu Ramdhan kita akan bisa tergerus dan kondisi ekonomi dengan sendirinya bisa normal.

Solusi yang ditawarkan tersebut di atas tidaklah memiliki makna jika kita sendiri tidak dapat memaknai puasa itu sebagaimana mestinya dan sebagaimana yang dipesankan oleh Al-Quran dan Sunnah Rasul saw. Oleh karenanya tadarrus al-Quran saat ini tidak hanya membaca secara tartil semata, akan tetapi berupaya memaknainya secara aplikatif dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga  Ritual Ramadhan kali ini lebih bermakna dan penuh dengan pesan suci dari Ilahi Rabb yang Maha Suci. Akhirnya, Penulis mengucapkan selamat Menjalankan Puasa Ramadhan 1434 H semoga Puasa kita kali ini memeperoleh Ridlo dari Allah swt dan memperoleh Taqwa setelah menyelesaikan perkuliahan Ramadhan ini. Semoga..

(Suwardi, SE. Sy adalah Pendiri sekaligus Wakil Direktur dan Peneliti Ekonomi-Politik Forum for Studies of Islamic Thought and Civilization. Pendiri dan Ketua Ikatan Alumni Ekonomi Syariah IAIN STS Jambi. Anggota PELANTA )

Berita Terkait