iklan
Walaupun secara formil tidak ada masalah dalam menentukan rumusan tentang sah dan resmi itu, namun posisi politik islam berhasil mementahkan konsep pemikiran dari negara yang menghendaki sahnya apabila dilakukan secara resmi.

Begitu strategisnya posisi politik Islam dalam ketatanegaraan, pada tahun 1989 berhasil dilahirkan UU No. 9 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang memisahkan urusan yang berkaitan dengan perceraian dan harta warisan diselesaikan dalam pengadilan yang terpisah dari pengadilan Umum. Bahkan prestasi ini kemudian juga diikuti dengna lahirnya Kompilasi Hukum Islam dalam merumuskan persoalan yang berkaitan dengan urusan-urusan privat dalam umat Islam.

Setelah reformasi bergulir, kran politik telah dibuka, maka bermunculan partai-partai yang mengklaim sebagai partai Islam. Partai-partai itupun mengerucut dengan lahirnya partai seperti PKB yang dibidani oleh NU (walaupun NU juga melahirkan partai yang lain), PBB sebagai identitas kaum islam sosialis, PAN (walaupun kemudian menyatakan tidak bagian dari Muhammadiyah), dan berbagai aliran politik islam lainnya. Sehingga dari pesertai 48 partai peserta Pemilu 1999, 8 partai yang berlatar belakang Islam.

Dari partai-partai yang lahir yang berlatar belakang Islam, kemudian mewarnai politik di Indonesia yang juga mempengaruhi sistem hukum Indonesia.

Didaerah yang kemudian partai-partai menguasai parlemen atau berhasil memenangkan Pilkada, menyebabkan lahirnrya berbagai perda-perda syariah. Perda Syariah yang mengakomodasikan kepentingan islam dalam politik Indonesia kemdian menemukan bentuk yang kemudian mengikrarkan sebagai Islam yang Formal. Sehingga dalam berbagai daerah, mencampur-adukkan antara urusan Ibadah dengan menggunakan sistem hukum negara.
Maraknya perda-perda syariah kemudian menimbulkan perdebatan dalam kajian sistem hukum nasional dan sistem hukum di Indonesia. Perda Syariah kemudian melanggar asas kepastian hukum dan membuat sistem hukum menjadi rancu. Urusan ibadah yang semestinya adalah urusan manusia dengan penciptanya kemudian disalahgunakan menjadi urusan negara. Bahkan praktis, di berbagai daerah, rumusan itu juga bertentangan dengan berbagai konvensi internasional yang memberikan perlindungan HAM kepada warga negara.

Identitas Islam secara formal juga menjadi salah kaprah dengan memaknai jihad dengan melakukan teror-teror dalam melakukan kejahatan. Peristiwa Bom Bali I, dan berbagai bom yang terjadi di tanah air melahirkan UU No. 16 Tahun 2003 Tentang Terorisme. UU ini kemudian menjadi perdebatan panjang baik dilihat dari asas berlaku surut, asas kepastian hukum, asas pembuktian, kesalahan dan pertanggungjawaban, juga menimbulkan persoalan dalam lapangan hukum pidana. Sehingga peristiwa berbagai bom yang terjadi di tanah air mewarnai konsentrasi nasional dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi.

Namun yang menjadi catatan penting bagi penulis, disaat disahkannya UU Pornografi yang mempengaruhi sistem hukum di Indonesia. (Lihat RUU Pornografi dan Persepsi Kita tentang Porno, JE, 10 November 2008).

UU ini akan banyak mempengaruhi sistem hukum di Indonesia baik didalam pembuktian terpenuhi atau tidaknya unsur yang dituduhkan, teori kesalahan dan pertanggungjawaban pidana, asas kepastian hukum dan aspek keadilan didalam UU itu.

Berbagai rumusan yang telah penulis sampaikan, membuat UU ini menjadi salah satu UU yang paling menyita perhatian publik disamping UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, UU No. 14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas dan RUU PKB (Penanggulangan Keadaan Berbahaya).

UU ini kemudian memantik perdebatan panjang dan menimbulkan reaksi di berbagai kalangan. Partai-partai Islam lebih mementingkan kepada unsur-unsur didalam pasal RUU itu untuk dapat disahkan walaupun menurut penulis lebih tepat diletakkan dalam konteks norma agama. Sementara partai nasionalis lebih mengedepankan penghormatan kepada budaya yang memisahkan antara budaya yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat daripada persoalan pornografi. Sehingga gelombang penolakan dan menyetujui membuat dikotomi antara berbagai pihak menjadi menganga lebar. Dengan demikian, politik Islam di Indonesia berhasil meletakkan posisi politik Islam sebagai identitas islam yang formal dari ketatanegaraan dan sistem politik di Indonesia yang juga mempengaruhi sistem hukum di Indonesia.

Selain itu dalam penelitiannya mengenai hubungan dan peran konstitusi terhadap kebebasan menjalankan agama, Tad Stahnke dan Robert C. Blitt (2005) membagi negara-negara berpenduduk mayoritas muslim di dunia menjadi empat kategori. Keempat kategori negara tersebut yaitu: (1) negara yang mendeklarasikan dirinya sebagai negara Islam, misalnya Afganistan, Iran, dan Saudi Arabia; (2) negara yang menyatakan Islam sebagai agama resmi negara, misalnya Irak, Malaysia, dan Mesir; (3) negara yang mendeklarasikannya dirinya sebagai negara sekuler, misalnya Senegal, Tajikistan, dan Tuki; serta (4) mereka yang tidak memiliki deklarasi apapun di dalam Konstitusinya, seperti Indonesia, Sudan, dan Siria.
Jika Indonesia dimasukan dalam kategori negara yang tidak mendeklarasikan bentuk apapun dalam hal hubungan antara negara dengan agama di dalam Konstitusinya, maka menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah konsep yang sebenarnya diusung oleh para founding people negara kita? Untuk menjawab pertanyaan ini, Mahfud M.D mencoba menjelaskannya melalui konsepsi prismatik dengan meminjam istilah dari Fred W. Riggs.

Indonesia merupakan negara Pancasila, artinya bukan sebagai negara agama karena negara agama hanya mendasarkan diri pada satu agama tertentu, tetapi negara Pancasila juga tidak dapat dikatakan sebagai negara sekuler karena negara sekuler sama sekali tidak mau terlibat dalam urusan agama.

Menurutnya, negara Pancasila adalah sebuah religious nation state yakni sebuah negara kebangsaan yang religius yang melindungi dan memfasilitasi berkembangnya semua agama yang dipeluk oleh rakyatnya tanpa membedakan besarnya jumlah pemeluk masing-masing (Mahfud M.D., 2007).

Dari paparan yang telah penulis sampaikan, ada beberapa pemikiran yang dapat ditarik sebagai pembelajaran kita selanjutnya. Pertama. Pergeseran identitas Islam yang nasionalis menjadi pergeseran identitas Islam berbentuk formal dalam sistem politik Indonesia merupakan kemunduran dalam melihat berbangsa dan bertanah air yang berhasil dirumuskan dalam Sumpah Pemuda Tahun 1928 dan dalam Konstitusi. Sudah saatnya rumusan persoalan pengelolaan yang berkaitan dengan sistem perkawinan, perceraian dan harta warisan kembali diletakkan dalam wilayah Pengadilan Umum. Sehingga Pengadilan Agama merupakan subsistem dari pengadilan Umum. Dapat disamakan seperti Pengadilan ad hock Perburuhan, Pengadilan Anak, Pengadilan ad korupsi, Pengadilan Niaga dan sebagainya. Sehingga rumusan Peradilan di Indonesia cukup 3 saja yaitu Peradilan Umum (yang meliputi seperti yang telah diuraikan), Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer.

Kedua. Harus diberi porsi yang cukup juga terhadap sebagian kalangan umat islam yang plural. Yang meletakkan islam sebagai identitas agama tanpa masuk kedalam wilayah publik.
Ketiga. Adanya rumusan yang berkaitan dengan hukum tidak dapat berangkat dari norma agama. Selain tidak memenuhi asas kepastian hukum. Norma agama masih menjadi perdebatan dan yang pasti norma agama hanya dapat diberlakukan kepada umat agama itu sehingga dapat menjadi tirani mayoritas.

Keempat, tidak menggunakan simbol-simbol agama dalam menyelesaikan persoalan yang berkaitan dengan hukum. Peristiwa pernikahan Syech Puji dengan perempuan yang berumur 12 tahun haruslah diselesaikan dengan hukum tidak berangkat dari tafsiran agama yang sempit yang hanya melihat dari sudut pandang saja. Kelima. Sudah saatnya umat islam yang menjadi mayoritas di Indonesia menjadi rahmatanlil alamin. Menjadi rahmat bagi berbagai umat manusia. Sudah saatnya, tafsiran-tafsiran yang berkaitan dengan agama haruslah dilihat dari konteknya dan tidak melakukan tafsiran-tafsiran teks yang sempit. Sehingga justru merugikan pandangan terhadap umat islam.

Penulis yakin dengan tawaran pemikiran yang telah disampaikan, karena penulis berangkat setelah melihat dari perjalanan sejarah politik islam dalam sistem ketatanegaraan dan sistem politik yang mempengaruhi sistem politik di Indonesia.

Berangkat dari konsepsi tersebut, maka adalah suatu keniscayaan bahwa negara mempunyai kewajiban konstitusional (constitutional obligation) untuk melindungi kebebasan beragama bagi setiap warga negaranya. Mengutip asosiasi yang digunakan oleh Jimly Asshiddiqie, ketika Konstitusi berada di salah satu tangan kita, maka kitab suci agama selalu berada di satu tangan lainya. Artinya, kedua hal tersebut haruslah berjalan secara harmonis dan tidak dapat dipertentangkan satu sama lainnya.

Nah, dari paparan yang telah penulis sampaikan, baik dilihat dari rumusan UUD 1945 yang dilihat daria sejarah hukum di Indonesia, sistem hukum dan berbagai argumentasi yang telah penulis sampaikan, maka sudah sepantasnya, Apakah hukum Islam masih menarik untuk dibahas ?.

Musri Nauli adalah pengacara dan tinggal di Jambi

Berita Terkait



add images