iklan

(Reformulasi Pengentasan Kemiskinan Perspektif Keuangan Syariah)

Badan Pusat Statistik (BPS) Jambi  mencatat jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di Provinsi Jambi pada bulan Maret 2012 sebesar 271,67 ribu jiwa (8,42 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada bulan Maret 2011 yang berjumlah 272,67 ribu jiwa (8,65 persen), berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar seribu jiwa.

Meski ada kecenderungan jumlah penduduk miskin menurun. Namun, garis Kemiskinan menunjukkan tren yang cenderung meningkat akibat pengaruh  peningkatan nilai pengeluaran penduduk. Garis Kemiskinan Maret 2011 sebesar Rp. 242.272/kapita/bulan meningkat menjadi Rp. 259.257/kapita/bulan pada Maret 2012. Peranan konsumsi kebutuhan dasar makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan konsumsi kebutuhan dasar bukan makanan. Pada bulan Maret 2012, sumbangan Garis Kemiskinan Makanan (GKM) terhadap Garis Kemiskinan (GK) di Jambi sebesar 77,43 persen. Pada periode yang sama (baca: Maret 2012) Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) menunjukkan kecenderungan meningkat dibandingkan dengan periode Maret 2011. Hal ini memberikan indikasi bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin menjauhi garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga semakin melebar. Tidak salah jika Provinsi Jambi, telah ditargetkan oleh pemerintah pusat agar dapat menurunkan angka kemiskinan dari 7,9% pada tahun 2011 menjadi 5% pada tahun 2015.

Namun, problem kemiskinan sebenarnya tidak hanya monopoli bangsa Indonesia, tetapi juga masalah besar yang sedang dihadapi oleh dunia. Lihat saja, krisis ekonomi global sejak 2008 setidaknya telah menjerembabkan 100 juta orang lagi penduduk dunia ke dalam kemiskinan. Sehingga menambah warga miskin global yang tadinya hanya 1,2 miliyar menjadi 1,3 milyar jiwa penduduk dunia yang masuk dalam garis kemiskinan.

Akibat dari angka kemiskinan di dunia yang terlalu tinggi ini pula menimbulkan berbagai macam gejolak sosial dan politik di berbagai belahan Negara di dunia (baca: Barat dan Islam). Kejahatan sosial (perampokan, pembunuhan, dsb), dilakukan dengan dalih desakan ekonomi pelaku kejahatan.

Realitas sosial ini, menimbulkan berbagai pertanyaan pada institusi yang telah memapankan tatanan ideologisnya, seperti institusi pendidikan, politik, negara, masyarakat bahkan agamapun tidak lepas dari tekanan akibat masalah yang dihadapi oleh dunia hari ini. Namun, Institusi ideologis yang benar-benar merasakan dampak dari semangat perubahan ini adalah agama (khususnya Islam).

Sedangkan agama selama ini masih berbicara pada level-level epistemologis-teologis-etis, sebab agama selalu terkait dengan ukuran normative dan melangit yang selama ini dijadikan acuan untuk meneropong realitas sosial, dilain pihak realitas itu sulit menyentuh level normative-teologis. Dari itu semua lahir pertanyaan, apa penyebab kemiskinan dan bagaimana solusinya?
 
Causalitas Kemiskinan

Mengutip pendapat Goenawan Sumodiningrat, terdapat tiga aspek penyebab kemiskinan, pertama kemiskinan natural, yaitu kemiskinan yang disebabkan faktor alamiah, seperti perbedaan usia, perbedaan kesehatan, letak geografis dsb, kedua kemiskinan kultural yaitu kemiskinan faktor adad istiadat, perbedaan etika kerja, nilai-nilai adat yang dianutnya dsb, ketiga kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, seperti kebijakan ekonomi yang diskriminatif, manipulatif, dan koruptif.

Bila kemiskinan ini terabaikan secara hierarkis akan berujung kepada kemiskinan emosional yaitu hilangnya empati, sehingga melahirkan kemiskinan moral (akhlak) sehingga hilang rasa menghargai, menghormati, dan sebagainya dan ini berujung kepada kemiskinan sosial. Yaitu ketidakpedulian kepada orang lain yang secara otomatis akan melahirkan kemiskinan struktural (baca: kemiskinan rasa memiliki, seperti rasa memiliki adat, budaya dan sebagainya), yang berujung kepada lahirnya kemiskinan intelektual yaitu kemiskinan kemampuan memberdayakan akal untuk menuju pembangunan manusia prima dalam berbagai bidang, seperti pembangunan sarana prasarana, pembangunan ekonomi, pengembangan masyarakat dan lainya.

Kemudian kemiskinan intlektual akan melahirkan sikap individua­listik nihil etika yang berakhir dengan kemiskinan technical yaitu kemiskinan teknologi yang mengakibatkan para sarjana alumnus perguruan tinggi menganggur tanpa mampu berkarya.  Semua ini akan berujung kepada kemiskinan harta. Jika demikian, bagaimana Islam memberikan solusi.
 
Teologi Pembebasan dan Konsep Keuangan Syariah

Islam, sebagai agama wahyu yang diturunkan oleh Allah swt, kepada Nabi Muhammad saw pada dasarnya adalah sebagai agama pembebasan terhadap bentuk-bentuk kezaliman dan penindasan atas dasar ekonomi politik dan sebagainya agar lebih manusiawi, bermoral dan berketuhanan.

Akibat  ketimpangan dan penindasan atas dasar status ekonomi yang tidak beradab ini, Islam menganjurkan umatnya untuk melakukan distribusi kekayaan dengan menunaikan zakat (QS at-Taubah:60).  Hal ini adalah sebuah upaya untuk menciptakan keadilan distributif pada semua lapisan masyarakat (baca: Islam) dan menihilkan sentralisasi ekonomi yang imperialis-neoliberalis, yang didasarkan atas ideologi kapitalisme.

Berdasarkan landasan normative-teologis-etis  yang tertera pada surat at-Taubah ayat 60 tentang kategori orang-orang yang berhak menerima zakat  (baca: antaranya fakir-miskin) kita bisa tahu bahwasanya zakat memang benar-benar dilakukan untuk membebaskan kaum-kaum yang ter-marginal-kan secara ekonomi. Konsepsi zakat perspektif kebijakan fiskal merupakan bagian dari konsep keuangan syariah yang memerlukan peran negara dalam mengimplementasikannya. Namun, akibat absennya spirit religiusitas dari tata Hukum Ekonomi dan Keuangan Indonesia dengan serta-merta mengadopsi sekuralisme dan materialisme menyebabkan Negara kian terjerembab dalam bursa masalah kemiskinan akibat materialisme-hedonis.

‘Ala kulli hal, sudah saatnya pemerintah mengembalikan spirit keagamaan dan memasukan Zakat dalam bagian statistic income negara dan lebih memberdayakan fungsi zakat sebagai salah satu kebijakan fiskal negara. Sehingga angka kemiskinan dapat ditekan dan perlahan dapat dihapuskan dari Propinsi Jambi dan secara umum negara Indonesia. Semoga….

*Penulis adalah Pendiri sekaligus Wakil Direktur dan Peneliti Ekonomi-Politik Forum for Studies of Islamic Thought and Civilization. Anggota PELANTA

Berita Terkait