iklan
PADA zaman dahulu, tersebutlah  satu rombongan jama’ah haji yang hendak menunaikan ibadah haji. Dalam perjalanan, saat rombongan ini tiba di suatu tempat yang bernama Zatu Shifah salah seorang yang jamaahnya meninggal dunia.

Lantas ketua rombongan memerintahkan jama’ah yang lain untuk segera mengurus jenazah tersebut secepatnya mulai dari memandikan hingga menguburkannya. Beberapa orang jamaah yang lain pun ditugaskan untuk menggali kubur.

Setelah kubur itu digali dan sampai pada kedalaman yang cukup, tinggal liang lahat yang belum digali. Disaat menggali liang lahat, tiba-tiba bermunculan ular-ular besar memenuhi liang lahat tersebut.

Kontan, hal ini membuat para penggali kubur itu terkejut dan takut. Mereka pun naik ke atas lubang kubur lalu menimbun kembali lubang kuburan tersebut.

Setelah berembug, maka para penggali kubur pun menggali kubur kembali di tempat lain yang agak berjauhan. Namun ketika penggalian kubur yang kedua ini sudah selesai dan hanya tinggal menggali liang lahatnya saja, tiba-tiba setelah liang lahat selesai digali, kejadian seperti di lubang yang pertama kembali terulang. Sontak mereka pun segera menimbun kembali lubang kubur yang kedua ini. Lalu dengan perasaan was-was dan cemas para penggali kubur tersebut kembali mencoba menggali kubur yang ketiga. Namun lagu-lagi pada saat selesai menggali liang lahat, kejadian serupa kembali terjadi. Akhirnya mereka melaporkan kejadian tersebut kepada ketua rombongan.

Mendengar hal itu, sang ketua rombongan pun mengkonsultasi kan kejadian tersebut pada Sayyidina Ibnu Abbas Radhiallahu Anhu. Setelah mendengar cerita sang ketua rombongan tentang kejadian tersebut, Sayyidina Ibnu Abbas Radhiallahu Anhu pun berkata, “Kuburlah jenazah tersebut di salah satu lubang yang kalian gali. Masukan jenazahnya keliang lahat yang kalian gali, walau pun liang lahatnya penuh dengan ular-ular besar. Karena demi Allah Subhanahu Wa ta’ala, bumi yang mana saja dan dimana saja yang kalian akan gali selama jenazah yang akan memasukinya adalah jenazah orang tersebut, pasti semua liang lahatnya akan dipenuhi dengan ular-ular besar yang akan siap menyiksanya.”

Akhirnya setelah mendapatkan penjelasan dari Sayyidina Ibnu Abbas Radhaiallahu Anhu, mayat itupun akhirnya dikuburkan di liang lahat yang penuh dengan ular-ular besar –yang langsung menyiksanya. Setelah ibadah haji selesai, rombongan pulang ke rumah. Ketua rombongan pun mengembalikan barang bawaan almarhum kepada istri dan anaknya serta menceritakan tentang kejadian yang menimpa suaminya.

Dari sinilah, akhirnya diketahui bahwa kebiasaan buruk suaminya sebagai pedagang gandum.
Kebiasan itu adalah, dia selalu mengurangi timbangan barang dagangannya. Misalnya gandum yang dibungkus dengan karung ukuran 20 kilo umpanyanya, namun gandumnya hanya 19 kilo. Dimana untuk memenuhi timbangan –yang satu kilonya lagi— diisilah karung-karung gandum itu dengan batang-batang gandum hingga timbangannya mencapai para 20 kilo. Padahal isinya hanyalah 19 kilo. Inilah kisah fakta, ancaman bagi pedagang yang curang. Nauzubillahi min dzalik.
*

Kaum Madyan Binasa karena Mengurangi Timbangan
Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan jangan mengurangi takaran itu. Kehancuran dan musnahnya ummat-ummat terdahulu harusnya menjadi pelajaran bagi ummat manusia. Sebab, kehancuran ummat-ummat itu diakibatkan oleh perbuatan mereka sendiri yang tidak mau bersyukur atau mengimani akan kekuasaan Allah SWT.

Dalam Al-Qur’an, kehancuran ummat-ummat terdahulu itu dijelaskan dengan sangat perinci, mengenai perilaku dan sifat-sifatnya. Misalnya, ummat Nabi Luth (kaum Sodom) yang melakukan perkawinan dengan pasangan sesama jenis (homo seksual). Kaum Tsamud (ummat Nabi Saleh) yang tidak mempercayai Nabi Saleh AS sebagai seorang utusan Allah dan membunuh unta betina hingga mereka ditimpakan azab, berupa suara petir yang menggelegar dan menghancurkan rumah-rumah mereka. Hal yang sama juga ditimpakan pada umat Nabi Syu'aib (kaum Madyan dan Aikah) yang senantiasa melakukan penipuan atau kecurangan dalam perdagangan. Dalam melaksanakan bisnis perdagangan, mereka (Madyan dan Aikah) ini selalu mengurangi timbangan dan takaran dari semestinya. Kenyataan inipun banyak dijumpai pada zaman sekarang ini. Banyak pedagang yang mengurangi timbangan dan takaran dalam transaksi yang mereka lakukan dengan para pembeli.

Padahal Allah swt telah menegaskan kepada setiap pedagang tentang hal ini dalam Al Quran,
9. Dan Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu. (QS. Ar-Rahman : 9);

Dalam ayat lain, Allah menunjukkan perilaku dari para pedagang yang curang tersebut,
1. Celaka besarlah bagi orang-orang yang curang, 2. (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, 3. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. (QS. Al-Muthaffifin : 1-3);

Walaupun sudah diperingatkan berkali-kali untuk tidak melakukan perbuatan menipu dan kecurangan dalam perdagangan, kaum Madyan tetap pada pendiriannya.

Karena itulah, Allah SWT kemudian menurunkan azab kepada ummat yang membangkang ini melalui sebuah gempa dan hawa panas (berupa dentuman dahsyat yang menggelegar) hingga mereka jatuh bergelimpangan (mati) di dalam rumahnya masing-masing.
91. Kemudian mereka ditimpa gempa, Maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka, (Al-A'raaf : 91).

Itulah azab bagi orang-orang yang senantiasa melakukan kecurangan dalam perdagangan (bisnis). Kecurangan yang dilakukan kaum Madyan ini, menurut beberapa ahli tafsir, tidak hanya mengurangi takaran atau timbangan saja. Mereka juga senantiasa menimbun harta atau barang-barang yang diperjual-belikan. Bila harga barang murah, mereka membeli sangat banyak dan menumpuk (menimbunnya) di rumah-rumah mereka. Lalu, ketika harga-harga naik (tinggi), mereka menjualnya dengan harga yang sangat tinggi (mencekik) kepada para pembeli.

Penulis adalah Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Setda Provinsi Jambi

Berita Terkait