iklan
(Refleksi Muktamar Khilafah 2013)

PADA abad ke-19 terdapat seorang muslim berpindah tempat dari satu negara ke negara lain. Dia menyebarkan pembaruan pemikiran Islam, ialah Jamaluddin al-Afgani. Ia membawa sebuah seruan yang disebut Pan-Islamisme.

Jamaluddin tidak dikenal sebagai ulama, (gelarnya bukan ustadz atau syeikh tetapi digelari dengan Sayyid). Hingga saat ini, pemikiran Sayyid Jamaluddin al-Afgani (sebagian yang lain menyebut Jamaluddin al-Asadabadi) masih menjadi view politik umat Islam di berbagai Negara mayoritas muslim. Sebagian umat islam menafsirkan (pemikiran Jamaluddin al-Afgani tersebut) bahwa umat Islam mesti disatukan dalam sebuah Negara khusus untuk mengurusi kepentingan dan eksistensi umat Islam dalam sebuah wadah bernama Khilafah.

Beberapa hari kemarin, sebuah partai berbasis Islam namun berbeda aliran yaitu Partai keadilan Sejahtera (PKS) dengan aliran parlemen dan Hizbul Tahrir Indonesia (HTI) dengan aliran non-parlemen, berkumpul di Senayan mengadakan muktamar Khilafah. Muktamar ini mendapat komentar beragam dari kalangan Islam Indonesia. Maarif Institute misalnya mempertanyakan efektifitas muktamar ini ditengah jatuhnya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja politisi PKS yang tidak sesuai atau bahkan kontra dengan nilai-nilai Islam. Apapun alasannya, kita patut membahas tentang konsep khilafah yang diperjuangkan oleh dua partai ini berdasarkan sumber ajaran agama islam; Al-Quran dan Hadits.
Memahami Konsep “Ummah Islamiyah”

Dalam al-Quran terdapat beberapa kata bersinonim yang bermakna persatuan, yaitu sya’b, qaum dan ummah. Walaupun bersinonim, setiap kata-kata tersebut memiliki arti dan makna. Oleh sebab itu, diperlukan analisis dari ketiga kata tersebut.

Kata qaum dan qaumiyah sering dipahami dengan arti suku dan kelompok. Sedangkan kata sya’b diterjemahkan sebagai “bangsa”. Wahbah Zuhaili dalam tafsirnya tafsir al-Wasith mendefenisikan bahwa kata ‘sya’b’ berarti sekelompok manusia yang berasal dari satu nasab (keturunan). Kata sya’b muncul dalam surat al-Hujarat: 13:
“Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telahi menciptakan kamu dari seorang lelaki dan seorang perempuan, dan Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Dalam ayat ini, Allah menyeru kepada seluruh manusia secara umum. Hal ini menandakan bahwa kata sya’b berarti sekumpulan manusia secara umum, dan bukan penamaan yang khusus menaungi orang-orang Islam. Oleh sebab itu, konsep sya’b ini tidak cocok digunakan sebagai konsep pemersatu bagi orang-orang islam. Sya’b lebih identik dengan kata nasionalisme.

Kata ‘ummah’ dikhususkan dalam penyebutan bagi orang-orang islam. Tidak hanya itu, al-Quran juga menyebutkan keutamaan-keutamaan umat islam dibangdingkan dengan umat-umat lainnya. Sebagaimana ditegaskan Allah dalam surat Ali Imran: 110.  
“Kalian adalah sebaik-baik umat yang menyuruh pada kebaikan dan mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah, apabila para ahli kitab beriman tentulah baik bagi mereka, tetapi sedikit dari mereka yang beriman sedangkan banyak dari mereka adalah orang-orang yang fasik”.  

Ayat ini menjelaskan bahwa umat islam adalah umat terbaik di dunia. Karena, umat islam adalah umat yang menyuruh kebajikan dan mencegah kemungkaran dan landasan perbuatan mereka adalah karena keimanan kepada Allah. Dalam al-Qur’an, ayat-ayat yang memerintahkan atau membicarakan tentang persatuan umat islam selalu menggunakan kata ‘ummah’.

Tidak dapat disangkal bahwa Al-Quran memerintahkan persatuan dan kesatuan. Sebagaimana secara jelas pula Kitab suci ini menyatakan bahwa “Sesungguhnya umatmu ini adalah umat yang satu” (QS Al-Anbiya’ [2l]: 92, dan Al-Mu’minun [23]: 52).
Pertanyaan yang dapat saja muncul berkaitan dengan ayat ini adalah: Apakah ayat ini dan semacamnya mengharuskan penyatuan seluruh umat Islam dalam satu wadah kenegaraan? Pertama kali yang mesti dipahami adalah pengertian dan penggunaan Al-Quran terhadap kata umat. Kata ini terulang 51 kali dalam Al-Quran, dengan makna yang berbeda-beda. Ar-Raghib Al-Isfahani menjelaskan bahwa ummat adalah “kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, baik persamaan agama, waktu, atau tempat, baik pengelompokan itu secara terpaksa maupun atas kehendak sendiri.” Memang, tidak hanya manusia yang berkelompok dinamakan umat, bahkan binatang pun demikian.

“Dan tiadalah binatang-binatang melata yang ada yang dibumi, tiada juga burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, kecuali umat-umat seperti kamu … (QS Al-An’am [6]: 38)”
Jumlah anggota suatu umat tidak dijelaskan oleh Al-Quran. Ada yang berpendapat minimal empat puluh atau seratus orang. Tetapi, sekali lagi Al-Quran pun menggunakan kata umat bahkan untuk seseorang yang memiliki sekian banyak keistimewaan atau jasa, yang biasanya hanya dimiliki oleh banyak orang. Nabi Ibrahim a.s. misalnya disebut sebagai umat oleh Al-Quran surat An-Nahl (16): 20 karena alasan itu.
“Sesungguhnya Ibrahim adalah umat (tokoh yang dapat dijadikan teladan) lagi patuh kepada Allah, hanif dan tidak pernah termasuk orang yang mempersekutukan (Tuhan) (QS An-Nahl [16]: 120)” jikalau demikian, dapat dikatakan bahwa makna kata umat dalam Al-Quran sangat lentur, fleksibel dan mudah menyesuaikan diri. Tidak ada batas minimal atau maksimal untuk suatu persatuan. Batasannya hanyalah bahasa. Dapat disimpulkan bahwa dalam al-Quran konsep persatuan umat islam tidak menyebutkan adanya persatuan tunggal.

(Penulis adalah alumni Universitas Al Azhar dan tenaga Pendidik dan Kependidikan di STAI SMQ Bangko dan IAIN STS Jambi.)

Berita Terkait