iklan
(Refleksi Muktamar Khilafah 2013)

DALAM Al-Quran ternyata ditemukan sembilan kali kata ummat yang digandengkan dengan kata wahidah, sebagai sifat umat. Tidak sekali pun Al-Quran menggunakan istilah Wahdat Al-Ummah atau Tauhid Al-Ummah (penyatuan umat). Karena itu, sungguh tepat analisis Mahmud Hamdi Zaqzuq, mantan Dekan Fakultas Ushuluddin Al-Azhar Mesir, yang disampaikan pada pertemuan Cendekiawan Muslim di Aljazair 1409 H/ 1988 M, bahwa Al-Quran menekankan sifat umat yang satu, dan bukan pada penyatuan umat, ini juga berarti bahwa yang pokok adalah persatuan, bukan penyatuan.

Perlu pula digarisbawahi, bahwa makna umat dalam konteks tersebut adalah pemeluk agama Islam. Sehingga ayat tersebut pada hakikatnya menyatakan bahwa agama umat Islam adalah agama yang satu dalam prinsip-prinsip (ushul)-nya. Tiada perbedaan dalam akidahnya, walaupun dapat berbeda-beda dalam  rincian (furu’) ajarannya. Artinya, al-Quran mengakui kebhinekaan dalam ketunggalan.
Ini juga sejalan dengan kehendak Ilahi, antara lain yang dinyatakan-Nya dalam Al-Quran surat Al-Maidah (5): 48:
“Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja)”.
Tetapi itu tidak dikehendaki-Nya. Sebagaimana terpahami dari perandaian kata lauw, yang oleh para ulama dinamai harf imtina’ limtina’, atau dengan kata lain, mengandung arti kemustahilan.

Kalau demikian, tidak dapat dibuktikan bahwa Al-Quran menuntut penyatuan umat Islam seluruh dunia pada satu wadah persatuan saja, dan menolak paham bahwa umat islam harus dalam satu kebangsaan. Jamaluddin Al-Afghani, yang dikenal sebagai penyeru persatuan Islam (Liga Islam atau Pan-Islamisme), menegaskan bahwa idenya itu bukan menuntut agar umat Islam berada di bawah satu kekuasaan, tetapi hendaknya mereka mengarah kepada satu tujuan, serta saling membantu untuk menjaga keberadaan masing-masing. Jamaluddin Al-Afghani mengupayakan persaudaraan yang berbasis pada solidaritas umat islam. Menurut al-Afghani solidaritas merupakan perekat yang dapat membingkai kebersamaan sosial umat islam.

Bagi al-Afghani islam tidak hanya berperan sebagai agama, lebih dari pada itu islam adalah agama peradaban. Untuk mewujudkan ketinggian islam dapat dilihat dari peradaban yang tinggi. Untuk mencapai peradaban yang tinggi islam harus tampil sebagai komunitas dengan beradaban yang tinggi pula. Jadi, tidak benar pendapat yang mengatakan bahwa konsep Jamaluddin adalah membangun sebuah khilafah dalah satu wadah kekuasaan.
Al-Quran mengakui perbedaan dalam kehidupan. Namun, al-Quran menuntun umat islam agar tidak berselisih dalam perbedaan tersebut, Sebagaimana ditegaskan Allah dalam surat Ali Imran (3): 105 :      
“Janganlah kamu menjadi seperti mereka yang berkelompok-kelompok dan berselisih, setelah datang penjelasan kepada mereka …” (QS Ali ‘Imran [3]: 105).
Kalimat “dan berselisih” digandengkan dengan “berkelompok” untuk mengisyaratkan bahwa yang dilarang adalah pengelompokan yang mengakibatkan perselisihan. Kesatuan umat Islam tidak berarti dileburnya segala perbedaan, atau ditolaknya segala ciri/sifat yang dimiliki oleh perorangan, kelompok, asal keturunan, atau bangsa. Akan tetapi hendaknya segala perbedaan, keunikan dan karakteristik tiap-tiap kelompok dan individu tersebut tidak menjadi sumber perselisihan dan perpecahan di antara mereka.

Dengan demikian, terjawablah pertanyaan yakni Al-Quran tidak mengharuskan penyatuan seluruh umat Islam ke dalam satu wadah kenegaraan. Sistem kekhalifahan –yang dikenal sampai masa kekhalifahan Utsmaniyah– hanya merupakan salah satu bentuk yang dapat dibenarkan, tetapi bukan satu-satunya bentuk baku yang ditetapkan. Oleh sebab itu, jika perkembangan pemikiran manusia atau kebutuhan masyarakat menuntut bentuk lain, hal itu dibenarkan pula oleh Islam, selama nilai-nilai yang diamanatkan maupun unsur-unsur perekatnya tidak bertentangan dengan Islam.


* Lulusan S1 Univ. Al-Azhar, Mesir dan Magister UIN Syarif Hidayatullah-Jakarta. Kini sebagai Tenaga Pendidik dan Kependidikan di STAI SMQ Bangkodan IAIN STS Jambi


Berita Terkait