JAMBIUPDATE.CO, Peneliti dari Indonesian Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho menegaskan dalam konteks penanganan kasus korupsi tidak ada istilah yang namanya partai pro pemerintah. Oleh karena itu, siapapun yang disebut dan menjadi fakta dalam persidangan seharusnya ditelusuri.
Emerson menyatakan demikian, sebab dalam persidangan Kamis (22/3) lalu, terdakwa kasus tindak pidana korupsi e-KTP Setya Novanto menyebut dua nama politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yakni Puan Maharani dan Pramono Anung. Sebagaimana diketahui, PDIP adalah partai pemenang pemilu 2014, partai pendukung pemerintah.
Novanto sebut ada tiga banggar yang terima dan ada Rapimnas golkar juga yang terima, ungkapnya.
Dia menambahkan, KPK juga perlu melakukan pengejaran bukti-bukti lain, dan tidak sekadar berdasarkan kesaksian Novanto, ataupun bantahan dari pihak yang disebut oleh mantan Ketua DPR-RI itu.
Senada, Ketua Bidang Hukum DPP Partai Gerindra Habiburokhman mengatakan, KPK perlu menyusun potongan-potongan puzzle menjagi satu bentuk atau gambaran yang utuh.
Lazimnya obrolan Novanto bukan warkop (warung kopi), tapi resmi. Nggak bisa sesimpel itu. Jadi, perlu ada pembuktiaan dan gabungkan puzzle yang sudah di temukan, ujarnya.
Ketua Departemen Politik DPP Partai PKS, Pipin Sopian pun meminta agar KPK tidak tebang pilih dalam memproses nama-nama yang disebut dengan pertimbangan partai pendukung pemerintah, atau bukan.
Jangan pilih kasih. Biar orang nggak lihat KPK berpihak. Harus memelihara betul kepercayaan publik. 86 persen masyarakat Indonesia percaya pada KPK harus dijaga dengan baik, tutupnya.
Sebelumnya, terdakwa kasus dugaan korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP), Setya Novanto membeberkan keterlibatan nama-nama yang diduga menerima aliran dana korupsi e-KTP.
Dalam keterangannya di persidangan kemarin, Novanto menyebut ada aliran dana ke Puan Maharani dan Pramono Anung. Keduanya menerima masing-masing sebesar USD 500 ribu.
Selain itu, Novanto juga menyebut sejumlah anggota DPR lainnya. Mereka adalah Chairuman Harahap, Melchias Marcus Mekeng, Tamsil Linrung, dan Olly Dondokambey. Seluruhnya juga disebut menerima aliran dana korupsi e-KTP sebesar USD 500 ribu. (ipp/JPC)
Sumber: www.jawapos.com
